PENGARUH CARA PENGOLAHAN TERHADAP KADAR KOLESTEROL PADA DAGING AYAM BROILER
ABSTRAK
Banyak masyarakat mengkonsumsi makanan tanpa mempertimbangkan senyawa yang terkandung di dalamnya, salah satunya adanya kolesterol. Saat ini masyarakat banyak yang tertarik mengkonsumsi daging ayam broiler sebagai lauk-pauk setiap harinya, selain harganya murah, rasanya gurih, dagingnya empuk, lunak, dan padat. Namun demikian pengkonsumsian kolesterol yang berlebihan dapat menyebabkan meningkatnya kadar kolesterol (hiperkolesterolemia) dalam darah yang akhirnya dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, sehingga perlu diwaspadai.
Pada umumnya sebelum mengkonsumsi, daging ayam diolah terlebih dahulu. Cara pengolahan dapat mempengaruhi kadar kolesterol yang terkandung di dalamnya. Menurut Lawrie (1995) kolesterol pada daging, termasuk daging ayam broiler, dapat mengalami oksidasi pada suhu tinggi sehingga mengalami kerusakan struktur kolesterolnya dan menghasilkan senyawa baru yang tidak termetabolisme dalam tubuh dan langsung dikeluarkan dari dalam tubuh.
Berdasarkan prinsip Lawrie tersebut, yaitu semakin tinggi suhu yang digunakan untuk mengolah daging, semakin banyak struktur kolesterol yang rusak, maka dapat disimpulkan urut-urutan cara pengolahan daging ayam broiler mulai dari yang sedikit sampai yang terbanyak dapat mengurangi kadar kolesterolnya adalah dibakar, direbus, dikukus, digoreng, dan dioven. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka minimal kita sudah mencoba pola hidup sehat, khususnya dalam menjamin kesehatan diri kita sendiri dari penyakit jantung koroner dan lain-lain penyakit yang disebabkan tingginya kadar kolesterol darah.
Kata kunci : cara pengolahan, kolesterol, daging ayam broiler
PENDAHULUAN
Saat ini permintaan daging di pasaran meningkat, karena meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap kesehatan (nutrisi) dan meningkatnya penghasilan. Namun demikian kebutuhan protein hewani di Indonesia belum sepenuhnya tercukupi. Ternak sapi dan kerbau sebagai penghasil daging, membutuhkan waktu panen yang lama dan tempat pemeliharaan yang luas. Oleh karena itu usaha untuk mensubstitusi daging sapi dan kerbau adalah dengan mengembangkan usaha ternak ayam broiler.
Selain daging ayam broiler, pemenuhan kebutuhan daging juga dipenuhi oleh ayam kampung. Daging ayam broiler maupun ayam kampung di pasar biasa dijual dalam bentuk potongan-potongan berupa cakar, paha, tepong (paha bagian atas), dada, sayap, kepala, hati dan rempela. Harga ayam broiler tiap kilo jauh lebih murah dibandingkan ayam kampung. Oleh karena itu masyarakat lebih banyak mengkonsumsi ayam broiler daripada ayam kampung.
Banyak masyarakat mengkonsumsi makanan tanpa mempertimbangkan komponen / senyawa yang terkandung di dalamnya. Salah satu komponen yang dimaksud adalah kolesterol. Kolesterol berfungsi membentuk membran sel dan merupakan penyusun utama batu empedu. Selain itu, kolesterol juga berfungsi sebagai prekursor berbagai macam hormon steroid, seperti testosteron, progesteron, estrogen, endogen, kortikosterol, dan aldosterol, dan sebagai prekursor dalam pembentukan asam folat serta berperan penting untuk pertumbuhan embrio (Nastri, 1997). Namun demikian pengkonsumsian kolesterol yang berlebihan dapat menyebabkan meningkatnya kadar kolesterol (hiper-kolesterolemia) dalam darah yang akhirnya dapat menyebabkan penyakit jantung koroner (Montgomery, et. al., 1983 : 718 - 720).
Pada umumnya sebelum mengkonsumsi ayam kita mengolahnya terlebih dahulu, baik dengan cara digoreng, dibakar (disate), dioven, direbus maupun dikukus. Mengingat kandungan kolesterol pada ayam broiler cukup tinggi, maka perlu diteliti apakah setelah melalui berbagai cara pengolahan, kadar kolesterolnya akan menurun ? Untuk mengetahui hal tersebut, maka akan dikaji bagaimana perubahan kadar kolesterol yang terjadi ketika daging ayam broiler mengalami berbagai cara pengolahan.
PEMBAHASAN
Ayam broiler merupakan jenis ayam ras yang dimuliakan dan dibibitkan serta dikembangbiakkan untuk menghasilkan daging dengan cepat (Abdul Haris, 1997 : 22). Masa panen ayam broiler singkat. Untuk pertumbuhan yang baik dibutuhkan pakan yang baik, pemeliharaan dan pencegahan penyakit yang baik. Ayam broiler sepanjang hidupnya terkurung sehingga segala kebutuhannya dipenuhi oleh manusia (Muhammad Rasyaf, 1985 : 72).
Ditinjau dari segi mutu, ayam broiler memiliki nilai gizi yang tinggi dibanding daging ternak lainnya. Dagingnya lembut, berwarna merah terang dan menarik, memiliki asam amino lengkap serta mudah diolah (Aak, 1987 : 91). Adapun sifat-sifat yang dimiliki ayam broiler diantaranya : (1) daging empuk, kulit licin, lunak, tulang rawan dada belum membentuk tulang yang keras, (2) ukuran badan besar dengan bentuk dada yang lebar, padat, dan berisi, (3) efisiensi terhadap makanan cukup dan sebagian besar makanan diubah menjadi daging, (4) pertumbuhan dan pertambahan berat badan sangat cepat. Umur 7-8 minggu dapat mencapai bobot kurang lebih 2 kg (Aak,1987 : 12).
Sebagai bahan makanan, ayam broiler saat ini merajai pemasarannya. Selain murah, dagingnya yang lebih empuk dibandingkan ayam kampung, menyebabkan masyarakat kita lebih cenderung memilih daging ayam broiler. Namun demikian, ternyata ayam broiler memiliki kadar kolesterol yang relatif tinggi dibandingkan ayam kampung. Menurut DepKes RI (1995 : 41) bagian dada ayam merupakan bagian luar ayam yang terbanyak mengandung kolesterol. Hal ini disebabkan dada merupakan tempat timbunan lipid, terutama pada bagian kulitnya yang berminyak.
Kolesterol merupakan produk khas hasil metabolisme hewan. Dengan demikian semua makanan yang berasal dari hewan, seperti kuning telur, daging, hati, dan otak sudah jelas mengandung kolesterol (Murray, et. al., 1996 : 248). Biosintesis kolesterol terbanyak berlangsung dalam jaringan hati, kulit, kelenjar lemak ginjal, kelenjar kelamin.
Kolesterol dapat larut dalam pelarut organik, misalnya eter, kloroform, benzene, karbon disulfida, aseton, dan alkohol panas, tetapi tidak larut dalam air, asam atau basa. Pada konsentrasi tinggi, kolesterol mengkristal dalam bentuk kristal tak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, dan memiliki titik lebur 150oC – 151oC (Anna Poedjiadi, 1994 : 147 - 150). Di udara terbuka atau terkena sinar matahari langsung, kolesterol akan teroksidasi secara lambat menjadi senyawa yang memiliki titik lebur lebih rendah dan akan berubah sifat reaksinya (Otto, 1982 : 213 - 216). Reaksi yang terjadi dapat ditunjukkan sebagai berikut :
Keberadaan kolesterol dalam suatu bahan makanan dapat diisolasi dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut organik. Sedangkan secara kualitatif dapat diidentifikasi dengan menggunakan Uji Salkowski atau Uji Liebermann – Burchard. Ko-lesterol mengalami reaksi adisi pada ikatan rangkapnya. Adisi dengan hidrogen membentuk dihidrokolesterol, dan dengan halogen membentuk kolesterol dihalida. Adapun reaksi adisi tersebut sebagai berikut :
Pada proses pemasakan / pengolahan daging ayam broiler, terutama pada pengu-kusan, yaitu pengolahan makanan dengan uap air mendidih, dapat mempengaruhi keadaan daging yang dimasak yang berarti mempengaruhi kandungan zat-zat makanan yang terkandung di dalamnya. Menurut Lawrie (1995 : 261 - 264), suhu yang tinggi pada pengukusan akan melelehkan lemak dan cenderung merusak struktur yang ada di dalamnya, salah satunya adalah struktur kolesterol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Efrison (2004) dimana pada organ tubuh ayam broiler yang meliputi sayap, dada, dan paha mengalami penurunan kadar kolesterol ketika dikukus selama 20, 40, dan 60 menit. Secara jelas hasil penelitian Efrison dapat ditunjukkan pada tabel berikut ini :
Berdasarkan tabel tersebut nampak bahwa organ dada memiliki kadar kolesterol tertinggi dibandingkan dengan organ sayap dan paha. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan DepKes RI (1995 : 41) bahwa bagian dada ayam merupakan bagian luar ayam yang terbanyak mengandung kolesterol, karena dada merupakan tempat timbunan lipid, terutama pada bagian kulitnya yang berminyak. Sedangkan pada organ tubuh ayam bagian paha lebih rendah daripada organ dada, hal ini karena organ paha paling banyak melakukan gerak (berjalan) sehingga lebih banyak memerlukan energi. Dengan demikian meskipun kadar kolesterolnya relatif cukup banyak, sebagian besar diubah menjadi energi yang digunakan untuk bergerak. Organ sayap memiliki kadar kolesterol terendah diban- dingkan kedua organ lainnya, karena meskipun dalam sayap terdapat timbunan lipid tetapi tidak sebanyak pada organ dada dan paha. Selain itu organ sayap pada ayam broiler meskipun dapat digunakan untuk terbang, tetapi ayam jarang sekali beraktivitas terbang.
Menurut Lawrie (1995 : 261 - 264) kolesterol yang diolah / dimasak dengan menggunakan suhu yang tinggi kemungkinan mengalami oksidasi, sehingga struktur molekul kolesterol-nya mengalami kerusakan dan ketika direaksikan dengan reagen Liebermann-Burchard maka kolesterol yang telah rusak tersebut tidak dapat bereaksi menghasilkan warna hijau. Kemungkinan kerusakan lainnya dikemukakan oleh Otto (1982 : 213 – 216)) yang menyatakan bahwa meskipun kolesterol titik leburnya 150oC – 151oC, tetapi titik lebur tersebut dapat turun akibat pemberian panas karena terjadinya oksidasi yang dapat menghasilkan senyawa yang sifat reaksinya tidak sama ketika dalam bentuk kolesterol. Senyawa baru tersebut bila masuk ke dalam sistem pencernaan kita tidak terkenali, sehingga tidak masuk dalam metabolisme dan akhirnya ke luar kembali. Reaksi pembentukan warna hijau antara kolesterol dengan reagen Liebermann-Burchard adalah :
Penelitian yang lainnya tentang kolesterol dilakukan Kritchevsky dan Tepper (1969) yang dikutip oleh Lawrie (1995 : 264), memberikan hasil bahwa kadar kolesterol dalam daging sapi yang dimasak dengan cara dioven lebih rendah dibandingkan bila tidak dimasak. Mengingat kolesterol yang terdapat dalam daging sapi sama dengan yang terdapat dalam ayam broiler, maka bila daging ayam broiler dimasak dengan cara dioven akan mengalami penurunan kadar kolesterol juga. Pengolahan daging dengan dioven artinya daging tersebut dimatangkan dengan temperatur dan suhu yang tinggi, sehingga tulangnyapun menjadi lunak. Oleh karena itu daging yang diolah melalui cara oven sangat baik dalam menurunkan kadar kolesterol, sebab semakin tinggi suhunya semakin cepat oksidasi terjadi, sehingga semakin banyak struktur kolesterol yang rusak.
Pengolahan daging lainnya adalah dengan cara direbus. Perebusan berbeda dengan pengukusan, sebab dalam perebusan daging dari awal pemanasan sudah kontak air yang semakin tinggi suhunya, sedangkan pada pengukusan daging mengalami kontak dengan air ketika sudah berubah menjadi uap air. Daging yang direbus secara perlahan-lahan telah menjadi empuk seiring dengan pertambahan suhu air, sehingga ketika mendidih waktu yang diperlukan untuk mematangkan tidak terlalu lama. Oleh karena kolesterol hanya mengalami kerusakan ketika suhu tinggi, maka ini berarti perebusan relatif tidak banyak memberikan penurunan kadar kolesterol pada daging. Berbeda halnya bila daging tersebut dikukus, karena daging mengalami pematangan hanya ketika air telah mendidih dan menghasilkan uap air. Oleh karena kontak antara daging dan uap air baru terjadi setelah air mendidih, maka waktu pematanganpun menjadi lebih lama, sehingga kerusakan kolesterolnyapun akan lebih banyak.
Pengolahan daging dengan cara dibakar (disate) merupakan cara yang kurang tepat bila kita menginginkan kadar kolesterol dalam daging tersebut berkurang. Hal ini karena pada pembakaran daging (pembuatan sate) biasanya suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi dimana daging langsung kontak dengan sumber api, sehingga suhu pembakaran tidak cukup untuk membuat kerusakan struktur kolesterol. Oleh karena itu, bagi seseorang yang kadar kolesterol darahnya tinggi sangat disarankan untuk tidak mengkonsumsi sate, terutama sate kambing yang memang kadar kolesterolnya tinggi.
Menggoreng daging adalah cara yang wajar dilakukan masyarakat kita ketika akan mengkonsumsinya. Bahan utama dalam menggoreng adalah minyak goreng yang berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan (Winarno, 2002 : 95). Kualitas minyak goreng ditentukan oleh titik asap, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Semakin tinggi titik asapnya semakin baik kualitas minyak goreng, karena titik asap yang tinggi relatif sulit untuk dicapai. Hal ini berarti bila kita ingin menggoreng daging, sebaiknya tidak sampai mencapai titik asapnya agar tidak terbentuk akrolein.
Minyak yang telah digunakan untuk menggoreng, titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu untuk menekan terjadinya hidroli-sis, pemanasan minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari yang seharusnya. Pada umumnya suhu penggorengan berkisar antara 177oC – 211oC, sedangkan suhu perebusan atau pengukusan hanya 100oC yang merupakan titik didih air. Ketika kita menggoreng daging pada suhu penggorengan tersebut, berarti suhunya lebih tinggi dari suhu dimana air mendidih (titik didih air), sehingga sudah pasti kolesterol yang rusak lebih banyak. Namun hilangnya kolesterol dari daging yang digoreng seringkali mendapat ganti dari kolesterol yang terkandung dalam minyak goreng. Dengan demikian kolesterol dalam daging yang digoreng masih tetap tinggi. Kenyataan inilah yang mendorong para produsen minyak goreng untuk mengeluarkan produk minyak goreng non kolesterol, agar tidak menyebabkan pertambahan kolesterol pada makanan apapun yang diolah dengan menggunakan minyak sebagai bahan baku menggoreng.
Kelima cara pengolahan daging sebelum dikonsumsi yang diuraikan di atas merupakan informasi penting bagi masyarakat kita, terutama bagi yang menderita jantung koroner dan lain-lain penyakit yang disebabkan oleh tingginya kadar kolesterol darah. Dengan mempertimbangkan hal di atas, maka minimal kita sudah mencoba pola hidup sehat, khususnya menjamin kesehatan diri kita sendiri.
PENUTUP
Berdasarkan pendapat Lawrie (1995) bahwa kolesterol pada daging, termasuk daging ayam broiler, dapat mengalami oksidasi pada suhu tinggi sehingga mengalami kerusakan struktur kolesterolnya dan menghasilkan senyawa baru yang tidak termetabolis-me dalam tubuh dan langsung dikeluarkan dari dalam tubuh, maka dapat diperkirakan cara pengolahan mana yang memungkinkan kadar kolesterolnya turun paling banyak dari kelima cara pengolahan daging ayam broiler yang lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia, yaitu dikukus, dioven, direbus, dibakar (disate), dan digoreng.
Dengan memahami prinsip Lawrie tersebut, yaitu semakin tinggi suhu yang digunakan untuk mengolah daging, semakin banyak struktur kolesterol yang rusak, maka dapat disimpulkan urut-urutan cara pengolahan daging ayam broiler mulai dari yang sedikit sampai yang terbanyak dapat mengurangi kadar kolesterolnya adalah dibakar, direbus, dikukus, digoreng, dan dioven.
DAFTAR PUSTAKA
Aak. (1987). Beternak Ayam Pedaging. Yogyakarta : Kanisius.
Abdul Haris (1997). Beternak Ayam Broiler. Pekalongan : Gunung Mas.
Anna Poedjiadi. (1994). Dasar-dasar Biokimia. Yogyakarta : UGM Press.
DepKes RI. (1995). Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Jakarta : Depkes RI.
Efrison. (2004). Pengaruh Pengukusan terhadap Kadar Kolesterol pada berbagai Organ Ayam Broiler. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Yogyakarta.
Lawrie, R. A. (1995). Ilmu Daging. Edisi 5. Jakarta : UI Press
Montgomery Rex, Dryer Robert, L, Lonway Thomas Ward Specton Arthur, A. (1983). Biokimia : Suatu Pendekatan Berorientasi Khusus. Jilid 2. Yogyakarta ; Gadjah Mada University Press.
Muhammad Rasyaf. (1985). Beternak Ayam Pedaging. Jakarta : Penerbit Swadaya.
Murray, Mayes, Peter, A., Robert, K., Daryl, K., Granner, Victor, W., Rodwel. (1996). Biokimia Harper. Edisi 24. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Nastri, Rr, E. W. (1997). Studi Pengaruh Perebusan terhadap Kadar Kolesterol Berbagai Jenis Telur. Yogyakarta : Laporan Penelitian.
Otto, M. W. K. (1982). Human Biochemistry. London : Morty Company London.
Winarno, F. G. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.untuk versi original dari makalah kolesterol diatas, silakan sobat AMBIL, filetype:doc (klik disini)
itulah tadi posting tentang Contoh Makalah Kesehatan. terimakasih atas kunjungannya n jangan bosan-bosan ataupun jenuh untuk berkunjung kembali