Thursday, December 25, 2014

Penjelasan Anatomi Dasar Gigi terdiri atas Mahkota dan Akar

Anatomi dasar gigi terdiri atas mahkota dan akar. Bagian mahkota terlihat di dalam mulut, sedangkan bagian akar terbenam di dalam tulang rahang dan gusi. Bagian terluar dari mahkota gigi adalah enamel, suatu bagian yang sangat keras. Lapisan di bawah enamel adalah dentin, dan bagian terdalam adalah pulpa, suatu jaringan lunak yang berisi pembuluh darah dan pembuluh saraf.1

2.    Definisi

Karies gigi merupakan kerusakan jaringan keras gigi yang disebabkan oleh asam yang ada dalam karbohidrat melalui perantaraan mikroorganisme yang terdapat dalam saliva.2

3.    Etiologi

Komponen yang menyebabkan karies gigi:

a.    Komponen dari gigi dan saliva, meliputi: komposisi gigi, morfologi gigi, posisi gigi, PH saliva, kuantitas saliva, kekentalan saliva.1,2,3

b.    Komponen mikroorganisme yang terdapat dalam mulut: Streptococcus sp, Lactobacillus sp, Staphylococcus sp.1,2,3

c.    Komponen makanan, terutama yang mengandung karbohidrat, misalnya sukrosa dan glukosa yang dapat diragikan oleh bakteri dan membentuk asam.1,2,3

d.    Komponen waktu. Kemampuan saliva untuk memineralisasi selama proses karies, menandakan bahwa proses tersebut terdiri atas periode perusakan dan perbaikan yang silih berganti, sehingga bila saliva berada di dalam linkungan gigi, maka karies tidak akan menghancurkan gigi dalam hitungan hari atau minggu, melainkan dalam bulan atau tahun.4

4.    Patofisiologi

Terdapat teori mengenai terjadinya karies, yaitu teori asidogenik (teori kemoparasiter Miller), teori proteolitik, dan teori proteolisis kelasi.4

a.    Teori Asidogenik

Miller (1882) menyatakan bahwa kerusakan gigi adalah proses kemoparasiter yang terdiri atas dua tahap, yaitu dekalsifikasi email sehingga terjadi kerusakan total email dan dekalsifikasi dentin pada tahap awal diikuti oleh pelarutan residunya yang telah melunak. Asam yang dihasilkan oleh bakteri asidogenik dalam proses fermentasi karbohidrat dapat mendekalsifikasi dentin, menurut teori ini, karbohidrat, mikroorganisme, asam, dan plak gigi berperan dalam proses pembentukan karies.

b.    Teori Proteolitik

Gottlieb (1944) mempostulasikan bahwa karies merupakan suatu proses proteolisis bahan organik dalam jaringan keras gigi dan produk bakteri. Mikroorganisme menginvasi jalan organik seperti lamela email dan sarung batang email, serta merusak bagian-bagian organik ini. Proteolisis juga disertai pembentukan asam.

c.    Teori Proteolisis Kelasi

Teori ini diformulasikan oleh Schatz (1955). Kelasi adalah suatu pembentukan kompleks logam melalui ikatan kovalen koordinat yang menghasilkan suatu kelat. Teori ini menyatakan bahwa serangan bakteri pada email dimulai oleh mikroorganisme yang keratinolitik dan terdiri atas perusakan protein serta komponen organik email lainnya, terutama keratin. Ini menyebabkan pembentukan zat-zat yang dapat membentuk kelat dan larut dengan komponen mineral gigi sehingga terjadi dekalsifikasi email pada PH netral atau basa.

5.    Klasifikasi

Berdasarkan kedalamannya karies gigi dibagi atas 1,3:

a.    Karies superfisialis yaitu karies yang hanya mengenai email



Gambar 2. Karies superfisialis3

b.    Karies media yaitu karies yang mengenai email dan telah mencapai dentin

Gambar 3. Karies media3

c.    Karies profunda yaitu karies yang telah mendekati atau telah mencapai pulpa

Gambar 4. Karies profunda3

6. Diagnosis dan Penatalaksanaan

Diagnosis dan penatalaksanaan dari karies gigi dapat dilihat pada  tabel dibawah ini 2:

No.
Anamnesis
Pemeriksaan Objektif
Kedalaman
Terapi

1.
Terdapat bintik putih pada gigi
Ekstra Oral: tidak ada kelainan

Intra O
ral: terdapat lesi putih, tidak ada kavitas
Karies superfisialis
Pembersihan gigi, diulas dengan flour, edukasi cara menyikat gigi yang benar

2.
Gigi terasa ngilu
Ekstra Oral: tidak ada kelainan
Intra Oral: Karies telah mengenai dentin
Karies Media
Penambalan

3.
Gigi terasa nyeri
Lihat Pulpitis
Karies Profunda
Read More

Penjelasan Pencegahan dan Gejala Penyakit Malaria

Analis Kesehatan Akan mejelaskan tentang Malaria adalah salah satu dari jenis penyakit menular dan disebabkan oleh parasit ( plasmodium ) yang ditularkan oleh sejenis nyamuk malaria ( Anopheles ) dan menginfeksi sel-sel darah merah. Demikian yang dimaksud dengan pengertian penyakit malaria tersebut.

Malaria adalah suatu infeksi pada bagian dari sel darah
yaitu infeksi pada sel darah merah. Penyakit Malaria ini ditularkan oleh nyamuk yang membawa parasit yang menyebabkan malaria. Apabila nyamuk pembawa parasit ini menggigit anda, parasit dapat masuk ke dalam darah. Selanjutnya parasit tersebut bertelur, yang kemudian akan berkembang, melakukan replikasi sehingga menjadi banyak, dan parasit tersebut hidup dari sel darah anda sampai anda menjadi sakit. Jika tidak dilakukan pengobatan malaria dengan benar dan tepat, maka malaria dapat sangat fatal sehingga berakibat pada kematian seseorang.

Pencegahan Malaria


Kita dapat mengenali akan penyakit malaria ini dari gejala-gejala yang nampak dan dirasakan oleh penderitanya. Dari gejala yang ringan sampai dengan gejala yang berat. Tanda gejala malaria ini perlu kita ketahui bersama agar penanganan dan pengobatan malaria bisa lebih cepat diberikan dan tertangani dengan baik pula. Gejala malaria dalam taraf ringan ini ditandai dengan :

    Demam menggigil secara berkala dan biasanya disertai sakit kepala.
    Terkadang di mulai dengan badan terasa lemah, mual / muntah tidak nafsu makan.
    Pucat. Hal ini disebabkan karena kurang darah. Dan ini termasuk dalam tanda penyakit malaria.
    Pada anak, gejala spesifik daerah biasanya ditandai dengan diare.

Gejala tanda malaria yang masuk dalam kategori berat penyakit malaria ini ditandai dengan :


  1.     Kehilangan kesadaran.
  2.     Demam tinggi.
  3.     Kejang-kejang.
  4.     Nafas cepat.
  5.     Muntah terus.
  6.     Kuning pada mata.
  7.     Kencing berwarna teh tua.
  8.     Pingsan sampai koma.

Ada beberapa cara dalam mencegah penyakit malaria ini. 

Berikut beberapa caranya yaitu dengan :
  1. Menghindari gigitan nyamuk, tidur memakai kelambu, menggunakan obat nyamuk, memakai obat oles anti nyamuk, pasang kawat kasa pada ventilasi, menjauhkan kandang ternak dari rumah, mengurangi berada di luar rumah pada malam hari.
  2. Pengobatan pencegahan, 2 hari sebelum berangkat ke daerah malaria, dengan pemberian obat yaitu minum obat doksisilin 1 x 1 kapsul / hari sampai 2 minggu setelah keluar dari lokasi endemis malaria.
  3. Membersihkan lingkungan, menimbun genangan air, membersihkan lumut, gotong royong membersihkan lingkungan sekitar, mencegahnya dengan kentongan.
  4. Menebarkan pemakan jentik, menekan kepadatan nyamuk dengan menebarkan ikan pemakan jentik. Seperti ikan kepala timah, nila merah, gupi, mujair.
Read More

Saturday, December 20, 2014

Bagaimana Cara Menambah Berat Badan Tubuh? Berikut 12 tips

Bagaimana Cara Menambah Berat Badan Tubuh? Berikut 12 tips. Tubuh yang terlalu kurus terlihat kurang menarik. Menambah berat badan dapat dimulai dengan mencukupi kebutuhan kalori dalam tubuh dan dalam jumlah yang lebih dari kebutuhan, seperti mengkonsumsi makanan untuk menambah berat badan dalam konsumsi yang banyak. Anda dapat mencoba cara menambah berat badan berikut ini.
Cara Menambah Berat Badan

Tingkatkan porsi makan atau makan lebih sering

Cara menambah berat badan dengan meningkatkan porsi makan atau makan lebih sering
Cara yang satu ini sudah tidak asing lagi untuk menambah berat badan. Dengan meningkatkan porsi makan, maka tubuh akan mendapatkan lebih banyak asupan untuk membentuk tubuh yang berisi. Anda juga dapat untuk makan lebih sering, misal sebelumnya makan hanya 3 kali sehari dan dalam porsi yang kecil, maka Anda bisa ditingkatkan lagi menjadi 4-5 kali.

Perbanyak minum air putih

Cara menambah berat badan dengan perbanyak minum air putih

Hal yang mungkin dianggap sepele seperti minum air. Banyak orang yang tidak mementingkan minum air putih dan mereka biasanya lebih memilih untuk minum minuman yang bersoda seperti minuman suplement tubuh dan sebagainya. Padahal mengkonsumsi minuman bersoda secara tidak langsung tubuh akan rusak karena di dalam minuman bersoda terdapat zat kimia yang mungkin dapat berbahaya bagi tubuh. Mulai dari sekarang, biasakanlah untuk minum air putih terutama pada saat pagi hari. Semakin banyak mengkonsumsi air putih maka tubuh akan semakin sehat dan pada akhirnya proses pencernaan dalam tubuh pun membaik sehingga dapat lebih menyerap gizi makanan secara sempurna. Disarankan untuk tidak terlalu berlebih dalam mengkonsumsi air putih, cukup 8 gelas per hari untuk mencegah dehidrasi.

Perbanyak konsumsi karbohidrat

Cara menambah berat badan dengan perbanyak konsumsi karbohidrat
Berbagai makanan yang mengandung karbohidrat, seperti : buah-buahan, sayuran, nasi merah dan makanan yang berbahan dasar dari gandum seperti sereal dan roti. Makanan berbahan dasar gandum merupakan makanan yang kaya akan kandungan serat dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.

Mencukupi kebutuhan protein

Cara menambah berat badan dengan mencukupi kebutuhan protein
Ilustrasi (c) Valusblog
Sumber protein yang sehat dapat berasal dari daging ayam, ikan, dan kacang-kacangan yang dapat untuk mencukupi kebutuhan protein yang diperlukan oleh tubuh.

Kunyah makanan sampai halus

Cara menambah berat badan dengan kunyah makanan sampai halus
Mengunyah makanan sampai halus mungkin terlihat sepele. Tapi, mengunyah makanan sampai halus dapat membantu penambahan berat badan, hal ini karena dapat mempermudah tubuh dalam mencerna makanan. Apalagi makanan yang dimakan agak keras, sehingga akan sulit untuk dicerna oleh tubuh.

Mencukupi kebutuhan mineral

Cara menambah berat badan dengan mencukupi kebutuhan mineral
Sumber mineral dapat diperoleh dari buah-buahan, susu, keju, sayuran, daging merah, serta kacang-kacangan untuk mencukupi kebutuhan mineral yang diperlukan oleh tubuh.

Mencukupi kebutuhan vitamin

Cara menambah berat badan dengan mencukupi kebutuhan vitamin

Sumber vitamin dapat diperoleh dari berbagai aneka buah-buahan, seperti : stroberi yang mengandung vitamin C atau pisang yang kaya akan kandungan vitamin E.

Mencukupi kebutuhan lemak

Cara menambah berat badan dengan mencukupi kebutuhan lemak
Ilustrasi (c) Timeslive
Sumber lemak sehat seperti asam lemak tak jenuh ganda, omega-3, dan omega-6. Sumber lemak omega-3 dapat diperoleh dari ikan dan kacang kenari. Sedangkan sumber lemak omega-6 dapat diperoleh dari minyak sayur seperti kelapa, minyak biji matahari, jagung.

Hindari minum sebelum makan

Cara menambah berat badan dengan menghindari minum sebelum makan
Minum air putih sebelum makan dianjurkan bagi yang sedang menjalani program diet, namun tidak di anjurkan untuk menambah berat badannya. Minum air sebelum makan dapat membuat perut merasa kenyang terlebih dahulu sehingga porsi makanan pun berkurang karena telah terisi oleh minuman yang diminum sebelum makan tersebut.

Hindari begadang

Cara menambah berat badan dengan menghindari begadang
Apabila berniat untuk menambah berat badan, maka diharuskan untuk menghilangkan kebiasaan begadang, kecuali ada hal yang penting yang harus dilakukan. Tubuh memerlukan istirahat yang cukup terutama pada malam hari. Pada malam hari adalah saat tubuh beristirahat setelah beraktivitas seharian. Dengan beristirahat pada malam hari, tubuh akan memulihkan kondisi dan memperbaiki fungsi organnya.

Hindari kafein

Cara menambah berat badan dengan menghindari kafein
Anda harus berpikir ulang untuk mengkonsumsi kafein dalam menjalankan program untuk menambah berat badan. Hal ini karena kafein yang terkandung dalam kopi bertindak sebagai penahan nafsu makan. Kandungan asam dalam kopi dapat meningkatkan asam lambung yang pada ada akhirnya meningkatkan resiko terjadinya sakit maag yang semakin dapat membuat tubuh mengalami kesulitan untuk makan.

Berhenti merokok

Cara menambah berat badan dengan berhenti merokok
Ilustrasi (c) Dokita
Bagi para perokok aktif, mungkin tubuh kurus disebabkan karena kebiasaan merokok. Hal ini karena rokok sama halnya dengan kafein yang membuat menjadi kurang nafsu makan dan merusak fungsi organ-organ lainnya dalam tubuh. Alangkah baiknya untuk segera menghentikan kebiasaan merokok. Selain dapat membahayakan diri sendiri, merokok juga dapat membahayakan orang-orang di sekitar bila asapnya terhirup dapat mengakibatkan asma.

Perbanyak camilan

Cara menambah berat badan dengan perbanyak camilan
Camilan juga dapat berdampak baik dalam proses penambahan berat badan, terutama bagi yang kurang memiliki nafsu makan. Camilan dapat mencukupi kebutukan kalori yang dibutuhkan oleh tubuh.

Minum susu secara rutin

Cara menambah berat badan dengan minum susu secara rutin
Biasakanlah minum susu walaupun sudah beranjak dewasa. Hal ini karena susu selain sehat juga dapat menambah berat badan. Disarankan untuk minum susu 2 kali sehari. Susu termasuk penting yang harus kita konsumsi, karena termasuk kedalam kelompok makanan 4 sehat 5 sempurna.

Olahraga

Cara menambah berat badan dengan olahraga
Walaupun mengkonsumsi banyak makanan sehat dan melakukan semua cara untuk menambah berat badan, namun jarang berolahraga, maka usaha yang telah dilakukan pun bisa terbilang sia- sia. Semua cara menambah berat badan harus perlu diimbangi dengan aktivitas olahraga secara teratur. Anda dapat melakukan olahraga ringan seperti bersepeda ataupun push up.

Penyakit tertentu

Cara menambah berat badan dengan mengatasi penyakit tertentu
Penyakit tertentu seperti : TBC, asma, diabetes, gangguan hormon tiroid, penyakit pada saluran pencernaan, kanker, dan sebagainya dapat mengakibatkan penderitanya mengalami kesulitan dalam meningkatkan berat badan bahkan pada kondisi tertentu justru berat badan akan semakin itu. Oleh karena itu, perlunya koordinasi antara dokter dengan pasien untuk mengatasi penyebab penyakit yang mendasari ini dan sangat penting untuk dilakukan.

Jika cara diatas sudah Anda coba namun tidak ada hasil yang positif, maka teruslah berusaha dan syukuri apa yang ada dalam diri Anda. Tubuh kurus bukan berarti tidak bagus, masih ada banyak potensi lain dalam diri yang dapat di gali sehingga dapat menunjukkan betapa istimewanya Anda kepada orang lain. Sumber Terpercaya
Read More

Thursday, December 18, 2014

Apakah MIOPIA rabun jauh miopia simpleks dan miopia patologis Makalah

Miopia (minus) dapat diklasifikasikan sebagai miopia simpleks dan miopia patologis. Miopia simpleks biasanya ringan dan miopia patalogis hampir selalu progresif. Keadaan ini biasanya diturunkan orang tua pada anaknya. Miopia tinggi adalah salah satu penyebab kebutaan pada usia dibawah 40 tahun. Miopia tinggi adalah miopia dengan ukuran 6 dioptri atau lebih. Penderita dengan minus diatas 6 dioptri mempunyai risiko 3-4 kali lebih besar untuk terjadinya komplikasi pada mata.1

Sekitar lima juta penduduk Inggris menderita rabun dekat dan 200.00 diantaranya menderita miopia tinggi. Pada beberapa orang, miopia tinggi dapat menyebabkan kerusakan retina atau ablasio. Miopia tinggi juga berkaitan dengan katarak dan glaukoma. Miopia tinggi atau miopia degeneratif kronik dapat terjadi dalam suatu keluarga (bersifat familial). Sebuah penelitian yang dilakukan pada 15 keluarga di Hongkong yang kemungkinan genetik menderita miopia tinggi pada 2 generasi terakhir didapatkan hasil bahwa lokus autosomal dominan yang berkaitan dengan miopia tinggi adalah kromosom 18p.2,3

Operasi laser untuk mengoreksi masalah penglihatan sudah dimulai sejak awal tahun 1990an. Photorefractive Keratotomy (PRK) adalah salah satu tindakan yang dilakukan untuk mengoreksi miopia ringan sampai sedang. Untuk miopia tinggi digunakan metode Laser in-situ keratomileusis (LASIK). Sebuah penelitian yang yang dilakukan oleh Miquel H dan Ankara University dan dipublikasikan pada bulan Januari 2008 oleh American Journal of Ophthalmology menemukan bahwa operasi LASIK yang dilakukan pada pasien miopia >10 dioptri aman dan efektif untuk jangka lama. Penelitian yang dilakukan oleh Lindstrom, Hardten dan Chu tentang LASIK untuk penanganan miopia ringan, sedang dan tinggi mendapatkan hasil awal bahwa LASIK untuk penanganan miopia ringan, sedang dan tinggi dengan atau tanpa astigmatisme memberikan hasil yang memjanjikan, meskipun memerlukan follow yang lama.4,5 Oleh karena kelainan refraksi adalah kelainan pada mata yang sering dijumpai, maka penulis tertarik menulis referat tentang kelaianan refraksi khususnya tentang miopia tinggi.

2.1 Miopia Tinggi

2.1.1 Definisi

Miopia merupakan kelainan refraksi dimana berkas sinar sejajar yang memasuki mata tanpa akomodasi, jatuh pada fokus yang berada di depan retina. Dalam keadaan ini objek yang jauh tidak dapat dilihat secara teliti karena sinar yang datang saling bersilangan pada badan kaca, ketika sinar tersebut sampai di retina sinar-sinar ini menjadi divergen,membentuk lingkaran yang difus dengan akibat bayangan yang kabur. Miopia tinggi adalah miopia dengan ukuran 6 dioptri atau lebih.1,6,7

Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kaca mata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Bila pasien dikoreksi dengan -3,0 memberikan tajam penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi -3.25, maka sebaiknya diberikan lensa koreksi -3,0 agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik sesudah dikoreksi.8
 
Tipe Miopia 7,9

Miopia aksial

Bertambah panjangnya diameter anteroposterior bola mata dari normal. Pada orang dewasa panjang axial bola mata 22,6 mm. Perubahan diameter anteroposterior bola mata 1 mm akan menimbulkan perubahan refraksi sebesar 3 dioptri.

Miopia kurfatura

Kurfatura dari kornea bertambah kelengkungannya, misalnya pada keratokonus dan kelainan kongenital. Kenaikan kelengkungan lensa bisa juga menyebabkan miopia kurvatura, misalnya pada stadium intumesen dari katarak. Perubahan kelengkungan kornea sebesar 1 mm akan menimbulkan perubahan refraksi sebesar 6 dioptri.

Miopia indeks refraksi

Peningkatan indeks bias media refraksi sering terjadi pada penderita diabetes melitus yang kadar gula darahnya tidak terkontrol.

Perubahan posisi lensa

Perubahan posisi lensa kearah anterior setelah tindakan bedah terutama glaukoma berhubungan dengan terjadinya miopia.

Berdasarkan tingginya dioptri, miopia dibagi dalam:6

Miopia sangat ringan, dimana miopia sampai dengan 1 dioptri
Miopia ringan, dimana miopia antara1-3 dioptri
Miopia sedang, dimana miopia antara 3-6 dioptri
Miopia tinggi, dimana miopia 6-10 dioptri
Miopia sangat tinggi, dimana miopia >10 dioptri

Pemanjangan bola mata yang biasa terjadi pada penderita miopia terbatas pada kutub posterior, sedang setengah bagian depan bola mata relatif normal. Bola mata membesar secara nyata dan menonjol kebagian posterior, segmen posterior sklera menipis dan pada keadaan ekstrim dapat menjadi seperempat dari ketebalan normal.7

Hubungan antara miopia dan kenaikan tekanan bola mata telah banyak menjadi bahan publikasi. Tekanan intraokuli mempunyai peranan penting pada pertumbuhan dan perkembangan bola mata. Mata mempunyai respon terhadap peningkatan tekanan intraokuli dengan cara bertambahnya ukuran bola mata terutama diameter aksial dengan akibat berkembangnya suatu miopia.Tekanan bola mata rata-rata pada penderita miopia secara nyata mempunyai tendensi lebih tinggi dari mata emetrop dan hipermetrop. Prevalensi miopia diantara penderita glaukoma bervariasi, Gorin G menyatakan 38%, Huet Jf 25%, tetapi Davenport melaporkan 7,4% diantara 1500 penderita glaukoma. Miopia tinggi dapat menjadi predisposisi terhadap glaukoma sudut terbuka.7

Pada mata dengan miopia tinggi akan terdapat kelainan pada fundus okuli seperti miopik kresen yaitu bercak atrofi koroid yang berbentuk bulan sabit pada bagian temporal yang berwarna putih keabu-abuan kadang-kadang bercak atrofi ini mengelilingi papil yang disebut annular patch. Dijumpai degenerasi dari retina berupa kelompok pigmen yang tidak merata menyerupai kulit harimau yang disebut fundus tigroid, degenerasi makula, degenerasi retina bagian perifer (degenerasi latis).7,8

Degenerasi latis adalah degenerasi vitreoretina herediter yang paling sering dijumpai, berupa penipisan retina berbentuk bundar, oval atau linear, disertai pigmentasi, garis putih bercabang-cabang dan bintik-bintik kuning keputihan (Gambar 1). Perkiraan insiden sebesar 7% dari populasi umum. Degenerasi latis lebih sering dijumpai pada mata miopia dan sering disertai ablasio retina, yang terjadi hampir 1/3 pasien dengan ablasio retina. Tanda utama penyakit adalah retina yang tipis yang ditandai oleh batas tegas dengan perlekatan erat vitreoretina di tepinya.10,11

Gambar 1. Degenerasi Latis

(Dikutip dari: kepustakaan 11)

Patogenesis degenerasi latis tidak sepenuhnya dimengerti, meskipun beberapa teori telah dikemukakan. Tidak adanya pertumbuhan regional membran limitan interna retina ditambah dengan adanya tarikan abnormal dari vitreoretinal merupakan teori yang banyak digunakan saat ini. 12

Adanya degenerasi latis semata-mata tidak cukup memberi alasan untuk memberikan terapi profilaksis. Riwayat ablasio retina pada keluarga, ablasio retina di mata yang lain, miopia tinggi dan afakia adalah faktor-faktor risiko terjadinya ablasio retina pada mata dengan degenerasi latis, dan mungkin diindikasikan terapi profilaksis dengan bedah beku atau fotokoagulasi laser. 10

Miopia maligna adalah miopia yang berjalan progresif yang dapat mengakibatkan ablasio retina dan kebutaan. Miopia maligna biasanya bila mopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina.8

Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina. Dapat juga ditemukan bercak Fuch erupa hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atrofi lapis sensoris retina luar, dan lebih lanjut akan terjadi degenerasi papil saaraf optik. Miopia maligna dapat ditemukan pada semua umur dan terjadi sejak lahir. Pada anak-anak diagnosis sudah dapat dibuat jika terdapat peningkatan beratnya miopia dalam waktu yang relatif pendek.6,8

Etiologi dari miopia maligna sampai saat ini belum jelas. Biasanya faktor utama untuk menentukan tipe miopia adalah kelemahan dan ketidakmampuan sklera untuk mempertahankan tekanan intraokular tanpa kontraksi dan relaksasi. Umumnya perubahan fundus disebabkan oleh kontraksi tetapi perubahan ini lebih dipengaruhi oleh kelainan perkembangan genetik yang mempengaruhi seluruh segmen posterior mata. Perubahan yang terjadi tidak begitu berbeda dengan miopia simpleks. Miopia maligna berhubungan dengan penyakit sistemik seperti Marfan’s syndrome, prematur retinopati, Ehler’s-Danlos sindrom dan albinisme.11

Patogenesis dari miopia maligna masih belum jelas. Sebelumnya pernah diidentifikasi adanya lokus autosomal dominan miopia maligna pada gen 18p11.31. pada penemuan selanjutnya, ditemukan adanya gen heterogen miopia maligna yang terkait dengan lokus kedua dari gen 12q2123.8

Miopia maligna terdiri dari dua stadium:6

Stadium developmen

Kerusakan pada stadium ini disebabkan pemanjangan dari aksis diikuti dengan kerusakan vaskular. Pemanjangan dari aksis bola mata, yang disebut staphyloma posterior, timbul akibat penipisan sklera. Ekstasia sklera yang progresif terbentuk pada kutub posterior (diskus nervus optikus dan makula), bagian inferior, nasal, atau dalam bentuk multipel. Kerusakan pada membran Bruch disertai dengan atropi khoroid membentuk lesi yang disebut Lackuer cracks. Hal ini berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya neovaskularisasi pada khoroid.

Stadium degenerasi

Stadium ini merupakan tahap akhir dari stadium developmen.

2.1.3 Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dan patogenesis pada miopia tidak diketahui secara pasti dan banyak faktor memegang peranan penting dari waktu kewaktu misalnya konvergen yang berlebihan, akomodasi yang berlebihan, lapisan okuler kongestif, kelainan pertumbuhan okuler, avitaminosis dan disfungsi endokrin. Teori miopia menurut sudut pandang biologi menyatakan bahwa miopia ditentukan secara genetik.13

Pengaruh faktor herediter telah diteliti secara luas. Macam-macam faktor lingkungan prenatal, perinatal dan postnatal telah didapatkan untuk operasi penyebab miopia. 13

2.1.4 Gejala Klinis

Gejala subjektif miopia antara lain: 8

Kabur bila melihat jauh
Membaca atau melihat benda kecil harus dari jarak dekat
Lekas lelah bila membaca ( karena konvergensi yang tidak sesuai dengan akomodasi )
Astenovergens

Gejala objektif miopia antara lain: 8

1. Miopia simpleks :

a) Pada segmen anterior ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil yang relatif lebar. Kadang-kadang ditemukan bola mata yang agak menonjol

b) Pada segmen posterior biasanya terdapat gambaran yang normal atau dapat disertai kresen miopia (myopic cresent) yang ringan di sekitar papil saraf optik.

2. Miopia patologik : 8,11

a) Gambaran pada segmen anterior serupa dengan miopia simpleks

b) Gambaran yang ditemukan pada segmen posterior berupa kelainan-kelainan pada

Badan kaca : dapat ditemukan kekeruhan berupa pendarahan atau degenerasi yang terlihat sebagai floaters, atau benda-benda yang mengapung dalam badan kaca. Kadang-kadang ditemukan ablasi badan kaca yang dianggap belum jelas hubungannya dengan keadaan miopia
Papil saraf optik : terlihat pigmentasi peripapil, kresen miopia, papil terlihat lebih pucat yang meluas terutama ke bagian temporal. Kresen miopia dapat ke seluruh lingkaran papil sehingga seluruh papil dikelilingi oleh daerah koroid yang atrofi dan pigmentasi yang tidak teratur

Gambar 2. Myopic cresent

(Dikutip dari: kepustakaan 11)

Makula : berupa pigmentasi di daerah retina, kadang-kadang ditemukan perdarahan subretina pada daerah makula.
Retina bagian perifer : berupa degenersi kista retina bagian perifer
Seluruh lapisan fundus yang tersebar luas berupa penipisan koroid dan retina. Akibat penipisan ini maka bayangan koroid tampak lebih jelas dan disebut sebagai fundus tigroid.

(47 K)

Gambar 3. Fundus Tigroid

(Dikutip dari: kepustakaan 11)

Kesalahan pada saat pemeriksaan refraksi biasa mendominasi gejala klinik yang terjadi pada miop tinggi. Hilangnya penglihatan secara tiba-tiba mungkin disebabkan karena perdarahan makular pada bagian fovea dimana membrana Bruch mengalami dekompensasi. Kehilangan penglihatan secara bertahap dan metamorpopsia terjadi oleh karena rusaknya membrana Bruch.14

Dikatakan miop tinggi apabila melebihi -8.00 dioptri dan dapat labih tinggi lagi hingga mencapai -35.00 dioptri. Tingginya dioptri pada miopia ini berhubungan dengan panjangnya aksial mIopia, suatu kondisi dimana belakang mata lebih panjang daripada normal, sehingga membuat mata memiliki pandangan yang sangat dekat.15

2.1.5 Koreksi Miopia Tinggi

a. Koreksi Miopia Tinggi dengan Penggunaan Kacamata

Penggunaan kacamata untuk pasien miopia tinggi masih sangat penting. Meskipun banyak pasien miopia tinggi menggunakan lensa kontak, kacamata masih dibutuhkan. Pembuatan kacamata untuk miopia tinggi membutuhkan keahlian khusus. Bingkai kacamata haruslah cocok dengan ukuran mata. Bingkainya juga harus memiliki ukuran lensa yang kecil untuk mengakomodasi resep kacamata yang tinggi. pengguanaan indeks material lensa yang tinggi akan mengurangi ketebalan lensa. Semakin tinggi indeks lensa, semakin tipis lensa. Pelapis antisilau pada lensa akan meningkatkan pengiriman cahaya melalui material lensa dengan indeks yang tinggi ini sehingga membuat resolusi yang lebih tinggi.15

b. Koreksi Miopia Tinggi dengan Menggunakan Lensa Kontak

Cara yang disukai untuk mengoreksi kelainan miopia tinggi adalah lensa kontak. Banyak jenis lensa kontak yang tersedia meliputi lensa kontak sekali pakai yang sekarang telah tersedia lebih dari -16.00 dioptri.15

Lensa kontak ada dua macam yaitu lensa kontak lunak (soft lens) serta lensa kontak keras (hard lens). Pengelompokan ini didasarkan pada bahan penyusunnya. Lensa kontak lunak disusun oleh hydrogels, HEMA (hydroksimethylmetacrylate) dan vinyl copolymer sedangkan lensa kontak keras disusun dari PMMA (polymethylmetacrylate).16

Keuntungan lensa kontak lunak adalah nyaman, singkat masa adaptasi pemakaiannya, mudah memakainya, dislokasi lensa yang minimal, dapat dipakai untuk sementara waktu. Kerugian lensa kontak lunak adalah memberikan ketajaman penglihatan yang tidak maksimal, risiko terjadinya komplikasi, tidak mampu mengoreksi astigmatisme, kurang awet serta perawatannya sulit.16

Kontak lensa keras mempunyai keuntungan yaitu memberikan koreksi visus yang baik, bisa dipakai dalam jangka waktu yang lama (awet), serta mampu mengoreksi astigmatisme kurang dari 2 dioptri. Kerugiannya adalah memerlukan fitting yang lama, serta memberikan rasa yang kurang nyaman.16

Pemakaian lensa kontak harus sangat hati-hati karena memberikan komplikasi pada kornea, tetapi komplikasi ini dikurangi dengan pemilihan bahan yang mampu dilewati gas O2.Hal ini disebut Dk (gas Diffusion Coefficient), semakin tinggi Dk-nya semakin besar bisa mengalirkan oksigen, sehingga semakin baik bahan tersebut. 16

Lensa Kontak Ditinjau dari Segi Klinis

1. Lapang Pandangan

Karena letak lensa kontak yang dekat sekali dengan pupil serta tidak memerlukan bingkai dalam pemakaiannya, lensa kontak memberikan lapang pandangan yang terkoreksi lebih luas dibandingkan kacamata. Lensa kontak hanya sedikit menimbulkan distorsi pada bagian perifer.16

2. Ukuran Bayangan di Retina

Ukuran bayangan di retina sangat tergantung dari vertex distance (jarak verteks) lensa koreksi. Jika dibandingkan dengan pemakaian kacamata, dengan koreksi lensa kontak, penderita miopia memiliki bayangan yang lebih besar di retina, sedangkan pada penderita hipermetropia bayangan menjadi lebih kecil.16

3. Akomodasi

Dibandingkan dengan kacamata, lensa kontak meningkatkan kebutuhan akomodasi pada penderita miopia dan menurunkan kebutuhan akomodasi pada penderita hipermetropia sesuai dengan derajat anomali refraksinya.16

Pemilihan Lensa Kontak

Tabel 2.1 Perbandingan Indikasi Pemakaian Lensa Kontak Lunak dan Keras (Dikutip dari: kepustakaan 16)

Lensa Kontak Lunak


Lensa Kontak Keras

Pemakaian lensa kontak pertama kali


Gagal dengan lensa kontak lunak

Pemakaian sementara


Iregularitas kornea

Bayi dan anak-anak


Alergi dengan bahan lensa kontak lunak

Orang tua


Dry eye

Terapi terhadap kelainan kornea (sebagai bandage)


Astigmatisme



Keratokonus



Pasien dengan overwearing problem

c. Koreksi Miopia Tinggi dengan LASIK

LASIK adalah suatu tindakan koreksi kelainan refraksi mata yang menggunakan teknologi laser dingin (cold/non thermal laser) dengan cara merubah atau mengkoreksi kelengkungan kornea. Setelah dilakukan tindakan LASIK, penderita kelainan refraksi dapat terbebas dari kacamata atau lensa kontak, sehingga secara permanen menyembuhkan rabun jauh (miopia), rabun dekat (hipermetropia), serta mata silinder (astigmatisme).17

Untuk dapat menjalani prosedur LASIK perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu:17

Ingin terbebas dari kacamata dan lensa kontak
Kelainan refraksi:

Miopia sampai -1.00 sampai dengan - 13.00 dioptri.
Hipermetropia + 1.00 sampai dengan + 4.00 dioptri.
Astigmatisme 1.00 sampai dengan 5.00 dioptri

Usia minimal 18 tahun
Tidak sedang hamil atau menyusui
Tidak mempunyai riwayat penyakit autoimun
Mempunyai ukuran kacamata/ lensa kontak yang stabil selama paling tidak 6 (enam) bulan
Tidak ada kelainan mata, yaitu infeksi, kelainan retina saraf mata, katarak, glaukoma dan ambliopia
Telah melepas lensa kontak (Soft contact lens) selama 14 hari atau 2 (dua) minggu dan 30 (tiga puluh) hari untuk lensa kontak (hard contact lens)

Adapun kontraindikasi dari tindakan LASIK antara lain:17

a. Usia < 18 tahun / usia dibawah 18 tahun dikarenakan refraksi belum stabil.

Sedang hamil atau menyusui.
Kelainan kornea atau kornea terlalu tipis.
Riwayat penyakit glaukoma.
Penderita diabetes mellitus.
Mata kering
Penyakit : autoimun, kolagen
Pasien Monokular
Kelainan retina atau katarak

Sebelum menjalani prosedur LASIK, ada baiknya pasien melakukan konsultasi atau pemeriksaan dengan dokter spesialis mata untuk dapat mengetahui dengan pasti mengenai prosedur / tindakan LASIK baik dari manfaat, ataupun kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi. Setelah melakukan konsultasi / pemeriksaan oleh dokter spesialis mata, kemudian mata anda akan diperiksa secara seksama dan teliti dengan menggunakan peralatan yang berteknologi tinggi (computerized) dan mutakhir sehingga dapat diketahui apakah seseorang layak untuk menjalankan tindakan LASIK.17

Persiapan calon pasien LASIK:17

a. Pemeriksaan refraksi, slit lamp, tekanan bola mata dan finduskopi

b. Pemeriksan topografi kornea / keratometri / pakhimetri Orbscan

c. Analisa aberometer Zy Wave, mengukur aberasi kornea sehingga bisa dilakukan Custumize LASIK

d. Menilai kelayakan tindakan untuk menghindari komplikasi

Sebagian besar pasien yang telah melakukan prosedur atau tindakan LASIK menunjukan hasil yang sangat memuaskan, akan tetapi sebagaimana seperti pada semua prosedur atau tindakan medis lainnya, kemungkinan adanya resiko akibat dari prosedur atau tindakan LASIK dapat terjadi oleh sebagian kecil dari beberapa pasien antara lain:12

a. Kelebihan / Kekurangan Koreksi (Over / under correction). Diketahui setelah pasca tindakan LASIK akibat dari kurang atau berlebihan tindakan koreksi, hal ini dapat diperbaiki dengan melakukan LASIK ulang / Re-LASIK (enhancement) setelah kondisi mata stabil dalam kurun waktu lebih kurang 3 bulan setelah tindakan.

b. Akibat dari menekan bola mata yang terlalu kuat sehingga flap kornea bisa bergeser (Free flap, button hole, decentration flap). Flap ini akan melekat cukup kuat kira-kira seminggu setelah tindakan.

c. Biasanya akan terjadi gejala mata kering. Hal ini akan terjadi selama seminggu setelah tindakan dan akan hilang dengan sendirinya. Pada sebagian kasus mungkin diperlukan semacam lubrikan tetes mata.

d. Silau saat melihat pada malam hari. Hal ini umum bagi pasien dengan pupil mata yang besar dan pasien dengan miopia yang tinggi. Gangguan ini akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Komplikasi sangat jarang terjadi, dan keluhan sering membaik setelah 1-3 bulan.

Kelebihan Bedah Refraksi LASIK antara lain:17

a. Anestesi topikal (tetes mata)

b. Pemulihan yang cepat (Magic Surgery)

c. Tanpa rasa nyeri (Painless)

d. Tanpa jahitan (Sutureless & Bloodless)

e. Tingkat ketepatan yang tinggi (Accuracy)

f. Komplikasi yang rendah

g. Prosedur dapat diulang (Enhancement)

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi lain dari miopia sering terdapat pada miopia tinggi berupa ablasio retina, perdarahan vitreous, katarak, perdarahan koroid dan juling esotropia atau juling ke dalam biasanya mengakibatkan mata berkonvergensi terus-menerus. Bila terdapat juling ke luar mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia.7,8

DAFTAR PUSTAKA

Bandung Eye Centre. Minus Tinggi dan Komplikasi Mata. http://www.bandung-eyecentre.com/index.php [diakses tanggal 26 Januari 2009].

Royal National Institute of Blind People. High Degree Miopia. http://www.rinb.org.uk [diakses tanggal 26 Januari 2009].

Dennis SC, Lam, Pancy OS et al. Familial High Miopia Linkage to Chromosome 18p. Hongkong: Department of Ophthalmology and Visual Sciences Chinese University of Hongkong, China Ophthalmologica 2003;217:115-118.

Elsevier's Health Sciences. Study of high miopia patients ten years after LASIK surgery. http://www.elvesierhealth.com. [diakses tanggal 26 Januari 2009].

Linstrom RL, Hardten DR, Chu YR. Laser In Situ Keratomileusis (LASIK) for the Treatment of Low, Moderate and High Miopia. http://biblioteca.universia.net/irARecurso. [diakses tanggal 26 Januari 2009].
Ilyas S, Tanzil M, Salamun dkk. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2003:5.
Tanjung H. Perbedaan Rata-rata Rigiditas Okuler pada Miopia dan Hipermetropia di RSUP H. Adam Malik Medan. Medan: USU Digital Library, 2003:2-3.
Ilyas, HS. 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata, Cetakan I. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Gondhowiardjo TJ, Simanjuntak GWS. Panduan Manajemen Klinis Perdami. Jakarta: PP Perdami, 2006:9.
Hardy RA. Retina dan Tumor Intraokuler dalam: oftalmologi umum ed 14. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR (eds). Jakarta: Widya Medika, 2000;210.
Sowka JW, Gurwood AS, Kabat AG. Handbooks of Ocular Disease Management. New York: Johson Publishing LLC, 2001.
Sarraf D, Saulny SM. Lattice Degeneration. http://www.emedicine.medscape.com. [diakses tanggal 27 Januari 2009].
Jain IS, Jain S, Mohan K. The Epidemiology of High Miopia-Chanding Trends. http://www.ijo.in-jain. [diakses tanggal 26 Januari 2009].
Detman AF, Hoyng CB. Retina. 3rd ed. Singapore: Mosby Inc, 2001:1244-1246.
Pachul C. High Miopia-Nearsighted Vision. http:// www.lensdesign.com. [diakses tanggal 26 januari 2009].
Hartono, Yudono RH, Utomo PT, Hernowo AS. Refraksi dalam: Ilmu Penyakit Mata. Suhardjo, Hartono (eds). Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM,2007;185-7.
Semarang Eye Centre. Tindakan Bedah LASIK. http://www.semarang-eye-centre.com. [diakses tanggal 15 Januari 2009].
Read More

Wednesday, December 17, 2014

Makalah Endometriosis penyakit ginekologik terlengkap

Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologik yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli dinegara-negara maju maupun dinegara berkembang, telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap endometriosis, namun hingga kini penyebab dan patogenesisnya belum diketahui juga secara pasti. Namun dalam satu hal para ahli sepakat, bahwa pertumbuhan endometriosis sangat dipengaruhi oleh hormon steroid, terutama estrogen. Sebagian ahli sepakat bahwa nyeri pelvik, nyeri haid ataupun infertilitas erat kaitannya dengan endometriosis. Pada infertilitas primer kejadianya sebesar 25%, sedangkan pada infertilitas sekunder kejadianya sebanyak 15%. Pada wanita yang infertilitas yang disertai dengan nyeri pelvik, nyeri haid, dijumpai endometriosis sebanyak 80% 1.
Hampir setiap dokter pernah mendengar tentang Endometriosis, namun masih banyak dokter yang belum mengetahui secara pasti apakah sebenarnya endometriosis itu, oleh karena endometriosis sampai saat ini masih merupakan suatu hal yang misterius baik dari aspek teori, klinik, dan pengobatannya 8.

Menurut Badziad dan Jacob, banyak para ahli membicarakan tentang endometriosis, namun masih banyak yang masih belum mengetahui secara pasti apakah sebenarnya endometriosis itu 7.
Diagnosis pada Endometriosis pada umumnya sulit ditentukan bila hanya didasarkan pada riwayat penyakit atau gejalanya saja. Disamping itu juga belum ada satupun uji laboratorik yang dapat menetapkan diagnosis Endometriosis secara pasti 7.

Endometriosis dapat merusak organ dalam dan organ genitalia interna, sebagai akibat dari proliferasi progestif endometrium ektopik. Dan untuk mengatasi masalah ini telah banyak cara pengobatan yang telah dilakukan, namun sampai saat ini masih saja merupakan kontroversi. Beberapa penulis mengatakan bahwa pengobatan operatif lebih baik dari pada pengobatan medisional maupun pengobatan dengan obat hormonal, atau sebaliknya 8. Namun di dalam suatu hal para ahli percaya bahwa endometriosis didalam pertumbuhannya dipicu oleh hormon estrogen, sehingga di dalam pengobatannya pun selalu diberikan hormon anti estrogen. Banyak juga para ahli yang mempunyai pendapat lain yaitu pengobatan hormonal dengan pembedahan lebih baik lagi, terutama dalam hal peningkatan angka kehamilan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa endometriosis minimal dan ringan tidak perlu diberikan apapun, oleh karena akan hilang dengan sendirinya 2.

Penyebab infertilitas endometriosis adalah multifaktorial, disebabkan: gangguan ovulasi, konsepsi, nidasi dan gangguan tumbuh kembang. Hal ini didukung dari data-data yang ada bahwa infertilitas pada endometriosis tidak tergantung dari stadium endometriosis. Data menunjukkan bahwa pada stadium ringan bisa terjadi infertilitas dan pada stadium lanjut dapat terjadi kehamilan 5.
 

A.Epidemiologi

Endometriosis paling sering terjadi pada usia reproduksi. Insidensi yang pasti belum diketahui, namun prevalensinya pada kelompok tertentu cukup tinggi. Misalnya, pada wanita yang dilakukan laparaskopi diagnostik, ditemukan endometriosis sebanyak 0-53%; pada kelompok wanita dengan infertilitas yang belum diketahui penyebabnya ditemukan endometriosis sebanyak 70-80%; sedangkan pada wanita dengan infertilitas sekunder ditemukan endometriosis sebanyak 25%. Diperkirakan prevalensi endometriosis akan terus meningkat dari tahun ketahun. Meskipun endometriosis dikatakan penyakit wanita usia reproduksi, namun telah ditemukan pula endometriosis pada usia remaja dan pasca menopause. Oleh karena itu, untuk setiap nyeri haid baik pada usia remaja, maupun pada usia menopause perlu dipikirkan adanya endometriosis 1.

Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5-15% dapat ditemukan di semua operasi pelvik. Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang negro, dan lebih sering didapatkan pada wanita-wanita yang berasal dari golongan sosio-ekonomi yang kuat. Yang menarik perhatian adalah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang tidak kawin pada umur muda, dan yang tidak mempunyai banyak anak. Ternyata fungsi ovarium secara siklis yang terus menerus tanpa diselingi kehamilan, memegang peranan penting di dalam terjadinya endometriosis 2.
Angka kejadian endometriosis yang terjadi pada infertilitas menurut Ali Badziad, 1992, adalah sebesar antara 20-60 %. Pada infertilitas primer angka kejadian endometriosis yang terjadi sebesar 25%, sedangkan pada infertilitas sekunder angka kejadiannya sebesar 15%. Sedangkan angka kejadian endometriosis yang dilaporkan oleh Speroff adalah 3-10% terjadi pada wanita usia produktif, dan antara 25-35 terjadi pada wanita infertil. Sedangkan di Indonesia endometriosis ditemukan kurang lebih 30% pada wanita infertil. Menurut William dan Pratt kejadian Endometriosis pada seluruh laparatomi dari berbagai indikasi ditemukan sebesar 11,87% 7.
 

A.Definisi  

Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang memiliki susunan histologik/kelenjar, stroma endometrium, atau kedua-duanya dengan atau tanpa makrofag yang termuati hemosiderin dan fungsinya mirip dengan endometrium karena berhubungan dengan haid dan bersifat jinak, tetapi dapat menyebar ke organ-organ dan susunan lainnya 5.
Endometriosis merupakan suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat diluar endometrium kavum uteri, baik itu kelenjar maupun stromanya. Sebagian besar susunan endometriosis terdapat dipelvis yaitu ovarium, peritoneum, ligamentum utero sakral, kavum douglasi dan septum rekto vaginal 4,9.
Lokasi yang paling sering adalah para organ dalam pelvik dan peritoneum. Dimana endometriosis dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron yang secara periodik mengalami perdarahan dan jaringan sekitarnya mengalami inflamasi dan pelekatan. Endometriosis sering ditemukan pada wanita usia produktif, namun terdapat juga pada remaja dan wanita pasca menopause yang mendapat terapi hormonal 6.
Menurut Moeloek; 1992, endometriosis merupakan jaringan endometrium yang terdapat diluar cavum uteri, bersifat jinak, dan infiltratif terhadap jaringan sekitarnya, dan dipengaruhi oleh hormon ovarium. Pada endometriosis jaringan endometrium dapat ditemukan di luar cavum uteri dan diluar miometrium, menurut urutan yang paling tersering endometriosis dapat ditemukan pada tempat-tempat sebagai berikut:
1.Ovarium.
2.Peritonium dan ligamentum sakrouterium, cavum Douglasi; dinding belakang uterus, tuba falopii, plika vesiko uterina, lidamentum rotundum, dan sigmoid.
3.Septo retro vaginal.
4.Kanalis inguinalis.
5.Appendiks.
6.Umbilikus.
7.Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum.
8.Parut laparotomi.
9.Kelenjar limfe, dan
10.Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan, paha, pleura, dan perikardium 8.
 

B.Etiologi

Sampai saat ini belum ada yang dapat memastikan penyebab endometriosis. Secara umum, endometriosis adalah munculnya jaringan endometrium pada tempat-tempat diluar habitatnya, dikavum uteri. Sayangnya penyakit yang kerap hinggap pada wanita infertil belum jelas sebab musababnya. Para ahli masih mengemukakan beberapa postulat, mulai dari yang sederhana hingga yang komplek sebagai berikut; jaringan endometrium bermigrasi dari uterus hingga ketuba uterina. Namun teori ini terbantahkan lantaran tidak bisa menjelaskan kejadian yang muncul paska hosterektomiatau pada tuba yang diikat. Teori lain mengatakan, abnormalitas pada sistem imun membuat sel endometrium mampu melekat pada jaringan selain diuterus dan berkembang pesat. Ada pula yang mengungkapkan akibat inflamasi yang berulangpun diprediksikan membuat jaringan-jaringan abdomen akhirnya berubah menjadi jaringan endometrium (sangat spekulatif). Pendapat lain mengatakan jaringan endometrium menyebar dari uterus menuju rongga abdomen menuju kesistem limfe atau aliran darah dan muncul kecurigaan genetis. Penderita endometriosis akut 61% berasal dari ibu atau sepupunya yang juga mengalami hal yang serupa. Hanya 23% yang berasal dari keluaga biasa-biasa saja 12.
Ada beberapa teori yang menerangkan terjadinya endometriosis, seperti ;
1.Teori implantasi, yaitu implantasi sel endometrium akibat regurgitasi trans tuba pada saat menstruasi.
2.Teori metaplasi, yaitu metaplasi sel multipotensial menjadi endometrium, namun teori ini tidak didukung bukti klinis maupun eksperimen.
3.Teori induksi, yaitu kelanjutan dari teori metaplasi, dimana faktor biokimia endogen menginduksi perkembangan sel peritonal yang tidak berdiferensiasi menjadi jaringan endometrium 6.
Selain itu masih ada teori-teori lain dari para ahli yang menerangkan tentang etiologi endometriosis tetapi masih belum dapat menerangkan tentang etiologi endometriosis tetapi masih belum dapat menerangkan kejadian endometriosis secara memuaskan, antara lain teori-teori tersebut, antara lain adalah:
1. Teori Implantasi dan Regurgitasi Sampson
Teori ini mengemukakan bahwa regurgitasi darah dan partikel endometrium melalui tuba pada saat haid dapat berimplantasi dan tumbuh di mana saja. Teori ini disokong oleh adanya regurgitasi darah haid melalui tuba, percobaan kemampuan endometrium untuk tumbuh, dan seringnya endometriosis didapat pada wanita dengan bendungan darah haid pada kelainan alat genital. Teori ini tidak dapat menerangkan kejadian endometriosis diluar pelvik, misalnya endometriosis di paru, umbilikus, pleura, dan tempat lain. teori ini pernah dibantah oleh Rosenfeld dan Lecher dengan alasan mereka pernah menemukan adnaya endometriosis pada para penderita yang mengidap sindroma Rokitansky-Kuster-Hauster. Greenbalt dan Dipahioglu (1976) pernah pula mencatat adanya berbagai perubahan yang menyerupai desidua pada serosa apendiks wanita hamil, dan pada permukaan ovarium setelah pemberian gonadtropin.
2. Teori Metaplasia Meyer
Teori ini mengemukakan bahwa timbulnya endometriosis sebagai akibat perubahan abnormal sel yang berasal dari epitel, “coelom” pada tingkat embrional. Hal ini meliputi priteoneum, pelvik, epitel germinal ovarium dan seluruh sistem mulleri (tuba, uterus, dan bagian proksimal vagina), yang oleh suatu sebab, seperti radang atau pengaruh hormon akan bermetaplasi dengan akibat epitel “coelom” berubah menjadi endometrium.
Teori ini dapat menerangkan kejadian endometriosis yang dekat, termasuk endometriosis diseptum rekto-vaginal dan bagian-bagiannya, tetapi tidak mampu menerangkan kejadian endometriosis diumbilikalis dan ditempat lain yang jauh letaknya.
3. Teori Genitoblas De Snoo
Teori ini mengemukakan bahwa sel genitoblas mempunyai potensi untuk berubah menjadi jaringan lain diantaranya menjadi endometrium.
4. Teori Penyebaran Secara Limfogen (Halban)
Teori ini menerangkan bahwa pertumbuhan metastastik yang berasal dari endometrium dapat menuju ke suatu tempat melalui sistem limfe. Hal ini dapat menerangkan adanya endometriosis di tempat yang letaknya jauh dari pelvik. Novak menyangkal adanya teori ini, karena belum ada publikasi klinik mengenai adanya endometriosis di kelenjar limfe panggul, meskipun secara kebetulan pernah ditemukan adanya adenokantoma di kelenjar limfe.
5. Teori Penyebaran Secara Hematogen.
Teori ini menerangkan adanya endometriosis di berbagai tempat yang terletak jauh dan sukar diterangkan oleh teori yang lain.
6. Teori Iatrogenik
Teori ini mengemukakan bahwa endometriosis dapat terjadi akibat tindakan dokter seperti operasi, kuretasi, atau pada pemeriksaan bimanual terutama pada saat haid. Sewaktu tindakan kuretase endometriosis dapat masuk ke vena-vena sehingga terjadi emboli yang dapat mencapai paru-paru, dan apabila ada kelainan sirkulasi emboli tersebut akan dapat mencapai daerah lain dan tumbuh menjadi endometriosis.

C. Klasifikasi Endometriosis
Menurut topografinya endometriosis dapat digolongkan, yaitu sebagai berikut :
1. Pembagian Atas 2 Golongan
a)Endometriosis Interna
Endometriosis didalam miometrium, lazim disebut dengan adenomiosis.
b)Endometriosis Eksterna
Endometriosis di luar uterus, lazim disebut dengan “true endometriosis”
2. Pembagian Atas 3 Golongan
a)Endometriosis Genetalia Interna
i.Letaknya di dalam uterus dan disebut adenomiosis
ii.Letaknya didalam tuba seperti adenomiosis ismika nodosa, hematosalping.
b)Endometriosis Eksterna
Letaknya di dinding belakang uterus, dibagian luar tuba dan di ovarium.
c)Endometriosis Eksterna Genitalis
Letaknya di pelvio-peritonium dan di cavum Douglasi, rekto-sigmoid, kandung kencing, umbilikus sampai pada kulit dan paru paru-paru.
Kelainan endometriosis paling sering ditemukan atau di jumpai di ovarium, ligamenta uterus (rotundum, sakrouterina, dan lantum), septum rekto-vaginal, peritoneum pelvis yang meliputi uterus, tuba, rektum, sigmoid, dan kandung kencing, yang semuanya ini disebut endometriosis pelvis 8.
Sedangkan menurut Acosta klasifikasi endometriosis dapat dibagi-bagi menurut berat ringan endometriosis, yaitu antara lain :
1.Ringan
Yaitu endometriosis yang menyebar tanpa perlekatan pada anterior atau posterium cavum douglasi, peritonium pelvik, atau permukaan ovarium.
2.Sedang
a.Endometriosis pada satu atau dua ovarium dengan parut dan retraksi atau endometrium kecil.
b.Perlekatan minimal sekitar ovarium dengan ovarium yang mengalami endometriosis.
c.Endometriosis pada anterior atau posterior cavum Douglasi dengan parut dan retraksi tanpa menyerang sigmoid.
3.Berat
a.Endometriosis pada satu atau dua ovarium dengan ukuran lebih dari 2 x 2 cm2.
b.Perlekatan satu atau dua ovarium, tuba, atau cavum Douglasi karena endometriosis.
c.Keterlibatan usus dan traktus urinarius yang nyata.

Selain itu ada pula klasifikasi lain yang dibuat oleh Acosta dkk yang kemudian dimodifikasi oleh Hammond dan Hanney. Klasifikasi ini lebih mudah, sederhana, cukup lengkap, dan spesifik (lihat tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi derajat endometriosis menurut Acosta dkk yang dimodifikasi oleh Hammond dan Hanney.
Ringan
Sedang
Berat
Apabila bintik-bintik en dometriosis yang terse-bar tanpa menghinggapi uterus, tuba atau ova-rium; tidak ada jaringan parut atau ada bintik-bintik endometriosis pa-da permukaan ovarium yang sangat ringan se-kali; atau tidak tampak bintik-bintik endome-triosis, akan tetapi rigai pada proses endometri-osis
Apabila satu atau kedua ovarium dihinggapi oleh proses endometriosis; atau ada endometrioma dengan ukuran kurang dari 2 cm; atau ada perlekatan perituba atau peri ovarium ringan; atau proses menyebar membuat jaringan parut pada organ lain
Apabila endometrioma lebih dari 2 cm; atau ada perlekatan tuba, dan ovarium cukup lu-as; atau ada okulasi tu-ba; atau ada kerusakan parah pada cavum Do-uglasi, ligamentum sa-krouterina dan atau u-sus, serta kandung ken-cing ikut dihinggapi proses endometriosis

Ada pula klasifikasi yang terbaru dan yang sering dipakai pada saat ini, yaitu teori tentang endometriosis yang dibuat oleh “The American Fertility Society” (AFS), dimana endometriosis dapat dibagi-bagi menjadi empat kelompok, yaitu antara lain sebagai berikut : 1.Stadium I (minimal) : 1 – 5
2.Stadium II (ringan) : 6 – 15
3.Stadium III (sedang) : 16 – 40
4.Stadium IV (berat) : > 40

Penentuan klasifikasi endometriosis merupakan syarat mutlak untuk membandingkan berbagai hasil dalam pengobatan kelainan ini. Tanpa adanya sistem klasifikasi yang baik, efektivitas pengobatan sulit ditentukan. Sayangnya, meskipun telah berbagai ragam klasifikasi diajukan, namun belum ada yang dapat digunakan secara universal 8.

D. Patofisiologi
Teori histogenesis dari endometriosis yang paling banyak penganutnya adalah teori Sampson. Menurut teori ini, endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis 2.
Teori lain mengenai histogenesis endometriosis dilontarkan oleh Robert Meyer. Pada teori dikemukakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium. Teori dari Robert Meyer ini semakin banyak penantangnya. Disamping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometriosis dengan jalan penyebaran melalui jalan darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium pada saat operasi.
Gambaran mikroskopik dari endometriosis sangat variabel. Lokasi yang sering terdapat ialah pada ovarium, dan pada biasanya disini didapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai kista besar (kadang-kadang sebesar tinju) berisi darah tua menyerupai coklat (kista coklat atau endometrioma).
Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista, dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang mengalir dalam jumlah banyak kedalam rongga peritonium karena robekan dinding kista, dan menyebabkan abdomen. Tuba pada endometriosis biasanya normal. Pada salah satu atau kedua ligamentum sakrouterium, pada cavum douglasi, dan pada permukaan uterus sebelah belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan. Juga pada permukaan sigmoid atau rektum seingkali ditemukan benjolan yang berwarna kebiru-biruan ini. Sebagai akibat dari timbulnya perdarahan pada waktu haid dari jaringan endometriosis, mudah sekali timbul perlekatan antara alat-alat disekitar cavum Douglasi itu.
Pada pemeriksaan mikroskopi ditemukan ciri-ciri khas bagi endometriosis, yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin, dan sel-sel makrofag berisi hemosiderin. Disekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikut sebagai reaksi dari jaringan normal disekelilingnya (jaringan endometrium). Jaringan endometriosis seperti juga jaringan endometrium didalam uterus, dapat dipengaruhi oleh hormon progensteron dan estrogen. Akan tetapi besarnya pengaruh tidak selalu sama, dan tergantun dari beberapa faktor, antara lain dari komposisi endometriosis yang bersangkutan (apakah jaringan kelenjar atau stroma yang lebih banyak), dari reaksi jaringan normal disekitarnya, dan sebagainya. Sebagai akibat dari pengaruh hormon-hormon tersebut, sebagian besar sarang-sarang endometriosis berdarah secara periodik. Dan perdarahan yang periodik ini menyebabkan reaksi jaringan sekelilingnya berupa radang dan perlekatan.

E. Manifestasi Klinik
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada endometriosis antara lain sebagai berikut :
a.Nyeri perut bagian bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada saat dan selama haid (dismenorea).
b.Dispareunia
c.Nyeri pada waktu defekasi, khususnya pada waktu haid.
d.Poli-dan hipermenorea
e.Infertilitas
Dismenorea pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri pada waktu haid yang semakin lama semakin meningkat. Sebab dari dismenorea ini tidak diketahui sebabnya, tetapi mungkin ada hubungannya dengan vaskularisari dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid.
Dispareunia merupakan gejala yang sering dijumpai, disebabkan oleh karena adanya endometriosis pada cavum Douglasi. Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada masa haid, disebabkan oleh adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid. Kadang-kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar tersebut.
Namun bisa juga bersifat asimptomatik. Kecurigaan dapat bertambah bila timbul dismenore padahal biasanya selama beberapa tahun menstruasi tidak disertai nyeri. Bisa terjadi gejala lokal akibat keterlibatan rektum, ureter, atau kandung kemih. Derajat nyeri tidak berhubungan dengan tingkat keparahan dari endometriosis. Mekanisme yang mungkin adalah inflamasi peritoneum lokal, infiltrasi dalam dengan kerusakan jaringan, perlekatan, penebalan, dan pengumpulan darah menstruasi pada jaringan endometrium, yang menyebabkan nyeri pada peregangan dalam menggerakkan fisiologis jaringan 6.
Gejala-gejala endometriosis datangnya berkala dan bervariasi sesuai datangnya masa haid tetapi bisa juga menetap. Banyak pasien menderita endometriosis tidak bergejala, dan terdapat sedikit korelasi antara hebatnya gejala dengan beratnya penyakit 10.
Gejala dan tanda dari endometriosis sangat bervariasi, penderita dengan kelainan yang luas mungkin tanpa gejala, sedangkan lesi yang minimal mungkin juga menimbulkan keluhan yang berat. Sehingga besarnya lesi tidak ada hubungannya dengan berat ringannya gejala, yang penting adalah letak kelainan dan kepekaan untuk dipengaruhi oleh hormon. Perdarahan lewat anus dengan atau tanpa rasa sakit pada saat buang air besar atau kencing bercampur darah merupakan tanda-tanda endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing 8.
Dismenore pada endometriosis dirasakan oleh pasien beberapa hari sebelum haid tiba, bertambah intensitasnya atau menetap selama haid dan kadang-kadang terus menerus selama beberapa hari diluar haid. Dismenore ini disebabkan oleh adanya darah atau deskuamasi jaringan endometrium dirongga pelvis.
Kemungkinan lain disebabkan hormon prostaglandin yang dibentuk berlebihan oleh jaringan endometriosis. Keluhan dismenore dapat terjadi pada 25-80% pasien yang mengidap endometriosis.
Hubungan antara endometriosis dengan infertilitas tetap merupakan suatu kontroversial. Berdasarkan penelitian retrospektif dan cross sectional, didapatkan subfertilitas jika endometriosis yang terjadi cukup parah. Resiko aborsi spontan meningkat sebesar 40% dibandingkan orang normal (15 – 25%).
Menurut Kistner terdapat hubungan yang jelas antara endometriosis dan infertilitias. Dimana kejadian infertilitas yang disebabkan oleh endometriosis berkisar antara 30-40 %. Penyebab terjadinya infertilitas pada endometriosis masih belum diketahui secara jelas. Menurut Kistner ada hubungan antara endometriosis dan motilitas tuba serta ovarium. Apabila hubungan ini tidak adekuat akibat fibrosis dan jaringan parut karena sekuele maka endometriosis merupakan penyebab infertilitas.
Endometriosis dapat menyebabkan infertilitas melalui beberapa mekanisme, yaitu :
1.Produksi prostaglandin sehingga mempengaruhi motilitas tuba atau folikulogenesis dan fungsi korpus luteum. Pada pasien dengan endometriosis didapatkan peningkatan cairan peritonium dan peningkatan konsentrasi tromboxan B2 dan 6-keto-prostaglandin, N-keto-13, 14-dihydroprostaglandin.
2.Melalui makrofag peritonium, ditemukan peningkatan aktifitas makrofag yang akan memfagosist sperma. Disamping itu makrofag memproduksi interleukin-1 yang bersifat toksik terhadap embrio tikus. Selain itu makrofag menyebabkan reaksi radang.
3.Endometriosis sebagai salahsatu faktor yang menyebabkan kelainan petumbuhan foliker, disfungsi ovarium dan kegagalan perkembangan embrio Luteinized unruptured follicle syndrome adalah keadaan dimana oosit tidak dapat dilepaskan pada saat folikel pecah yang menyebabkan infertilitas.
Selain hal tersebut diatas endometriosis dapat menyebabkan perlekatan genetalia interna sehingga menyebabkan okulasi tuba 5.
Soules dkk, menemukan 17 % pasien endometriosis dengan siklus haid yang tidak berovulasi. Riva, Moeloek, dan Jacob menemukan beberapa perubahan struktur organ genetalia interna, yaitu antara lain :
a.Di ovarium terjadi degenerasi dan kelemahan folikek untuk membentuk ovum matang. Perlekatan mengakibatkan ovum terjebak didalam jala-jala perlekatan.
b.Dituba terjadi pendekatan fimbriae atau perisalping, distorsi, aklusi sebagian atau seluruh lumen tuba dengan akibat transfortasi ovum terhambat.
c.Terejadi perubahan cairan interaperitoneal yang akan menghalagi perjalanan ovum menuju tuba. Ovum akan terjerat didalam daerah lembab atau perdarahan dan akan berdegenerasi sebelum dibuahi.
d.Pada uterus akan terjadi retroposisis karena obliterasi “cul-desac”, prolaps atau perlekatan ovarium, dan serviks akan lebih kedepan sehingga inseminasi terhambat.

F. Diagnosis
Bila berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda-tanda serta pemeriksaan bimanual saja, diagnosis endometriosis sukar dibuat. Hal ini disebabkan karena endometriosis sering menyerupai penyakit lain seperti dismenorea primer, radang pelvis, perlekatan pelvis, uterus miomatus, sindroma kongesti pelvis, salfingitis ismika nodosa, penyakit gastro intestinal, penyakit traktus urinarius dan neoplasma.
Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesa dan pemeriksaan fisik, dan dipastikan dengan pemeriksaan laparaskopi. Kuldoskopi kurang bermanfaat terutama jika cavum Douglasi ikut serta dalam endometriosis. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vaginae post perineum, parut laparatomi, dan sebagainya, biopsis dapat memberi kepastian mengenai diagnosis.
Untuk membuat diagnosis yang akurat diperlukan pemeriksaan langsung ke dalam rongga abdomen (endoskopi), laparoskopi. Moeloek, 1983, mengemukakan bahwa pemeriksaan laparaskopi memungkinkan untuk menghindari diagnosis yang salah dan dapat digunakan sebagai evaluasi pengobatan. Pemeriksaan laparaskopi diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial seperti radang pelvis, keganasan didaerahh pelvis. Cohen pernah melakukan laparoskopi pada 1380 penderita dan mendapatkan diantaranya 320 (23%) penderita dengan endometriosis, 240 penderita diantaranya menderita endometriosis derajat ringan tanpa gejala. Corson dan Garcia, dkk dalam kesempatan yang berbeda, memastikan diagnosis endometriosis dengan laparoskopi yaitu sebesar 61% dan 77% dari penderita yang dicurigai dengan pemeriksaan dalam, ternyata dengan laparoskopi kekeliruan diagnosisnya adalah 54%. Sedangkan terhadap penderita yang dicurigai adanya endometriosis, kesesuaian diagnosis dengan pemeriksaan laparoskopi adalah 70,8%. Pemeriksaan laparoskopi yang paling baik dikerjakan, yaitu pada siklus haid hari ke-15 sampai dengan hari ke 21 dari siklus yang teratur, atau setiap saat pada pasien dengan siklus haid yang tidak teratur.
Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid, dapat menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau pada kandung kencing. Sigmoidoskopi dan sitoskopi dapat memperlihatkan tempat perdarahan pada waktu haid.

Differensial diagnosis
Adenomiosis uteri, radang pelvis dengan tumor adneksa dapat menimbulkan kesukaran dalam mendiagnosis. Kombinasi adenomiosis uteri atau mioma uteri dengan endometriosis, kista ovarium, karsinoma 2.

G. Penatalaksanaan
Pengobatan pada endometriosis pada dasarnya hanyalah untuk mengurangi atau menghilangkan dampak klinik yang ada, hanya secara simptomatis. Pada dasarnya ada tiga macam pengobatan endometriosis. Pembedahan yang bertujuan menghilangkan atau mengurangi jaringan endometriosis yang tampak/ terdiagnosis. Kedua adalah medikamentosa dengan obat anti estrogen, karena diyakini bahwa pertumbuhan jaringan endomertriosis ini dipacu oleh hormon estrogen. Pada umumnya pengobatan mediksamentosa ini tidak bisa berdiri sendiri. Ketiga adalah kombinasi dari keduanaya, pembedahan dan medikamentosa; pengobatan kombinasi ini merupoakan pengobatan yang paling sering dilakukan.
Pengobatan yang bersifat simptomatis inilah yang menyebabkan endometriosis mempunyai angka kekambuhan yang tinggi. Pengobatan endometriosis belum bias tuntas menghilangkan penyebabnya, ditambah lagi belum tentu jaringan atau sel endometriosis dapat diketahui keberadaan secara visual 11.
1. Pengobatan bedah
Untuk pengobatan endometriosis saja tanpa memikirkan masalah fertilitas tindakan pembedahan dengan melakukan histerektomi totalis dan salfingooforektomi bilateralis, merupakan pengobatan pilihan. Pengobatan bedah dengan mempertahankan fungsi reproduksi terhadap kelainan ini disebut pengobatan bedah konservatif. Pengobatan bedah konservatif ini, termasuk tindakan eksisi atau fulgarisi jaringan endometriosis, reseksi organ pelvis yang terserang dengan mempertahankan uterus dan minimal satu tuba dan ovarium untuk reproduksi.
Betts dan Buttram mengumpulkan hasil pengobatan bedah konservatif sejak tahun 1929 sampai tahun 1959 tanpa melihat klasifikasinya. Hasil tingkat kehamilan yang didapat bervariasi yaitu antara 12,6 % - 94,4 %. Dengan menggunakan klasifikasi Acosta dkk, mereka mendapatkan tingkat kehamilan yang berbeda-beda dari hasil operasi konservatif sejak tahun 1973-1979. Hasil tingkat kehamilannya pada derajat ringan antara 66-75 %, dan pada derajat berat antara 0-45 %. Ternyata walaupun menggunakan klasifikasi yang sama, hasil kehamilan pada penderita endometriosis yang diobati dengan bedah konservatif masih bervariasi 3.
Mengenai kambuhnya penyakit pada pasca bedah konservatif, Scheken dan Malinak menyebutkan 24 % kambuh kembali atau tetap infertil, dan 40,6 % diantaranya memerlukan operasi ulang. Setelah operasi yang kedua tingkat kehamilannya 12 %.
2. Pengobatan Hormonal
a. Dasar Pengobatan
Berdasarkan teori bahwa endometriosis adalah endometrium ektopik, dan dipengaruhi oleh siklus hormon endogen seperti halnya endometrium normal, maka penyakit ini dapat diobati tanpa tindakan bedah. Pengobatan ini akan mempengaruhi endometriosis sesuai dengan regresi endometrium normal selama supresi ovarium, baik oleh kehamilan ataupun keadaan menopause. Sebagai dasar pengobatan hormonal endometriosis, seperti jaringan endometrium yang normal, dikontrol oleh hormon-hormon steroid. Hal ini didukung oleh data klinik maupun laboratorium.
Data klinik tersebut adalah:
1.Endometriosis sangat jarang timbul sebelum menarche.
2.Menopause, baik alami maupun pembedahan, biasanya menyebab-kan kesembuhan.
3.Sangat jarang sekali terjadi kasus endometriosis baru setelah menopause kecuali ada pemberian estrogen eksogen.
Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis pada umumnya mengandung resptor estrogen, progesteron, dan androgen. Pada percobaan yang dilakukan pada tikus dan kelinci, estrogen merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atropi, sedangkan pengaruh progesteron kontroversial, namun progesteron sendiri mungkin merangsang pertumbuhan endometriosis, namun progesteron sintetik yang umumnya mempunyai efek androgen tampaknya menghambat pertumbuhan endometriosis 3.
Atas dasar tersebut diatas, prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik Kadar estrogen yang rendah menyebabkan atropi jaringan endometriosis. Keadaan yang siklik mencegah terjadinya haid, yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis 3.
Prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi progesteron (progesteron sintetik) yang secara langsung menyebabkan atropi pada jaringan endometriosis 3.
b. Pengobatan estrogen
Dengan pemberian estrogen dosis besar terus menerus akan menekan ovulasi sehingga daerah endometrium menjadi lunak, timbul hiperplasi dalam sarang endometriosis dan akhirnya jaringan endometriosis terlepas. Pada penelitian terdahulu dilaporkan bahwa pengobatan ini memberi hasil yang baik terhadap gejala endometriosis, namun setelah pemberian jangka lama efek yang timbul tidak sebaik yang diduga 3.
Laporan lain menyatakan terjadinya hiperplasi adenomatus dan kistik, serta perdarahan yang berakibat kematian. Beberapa efek samping lain yang serius adalah edema perifer, nausea, mastodinia, perdarahan lewat vagina yang hebat, tromboflebitis, sehingga pengobatan endometriosis dengan cara ini tidak disukai lagi 3,11.
c. Pengobatan progesteron.
Progesteron atau progestin adalah nama umum semua senyawa progesteron sintetik. Progesteron dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu : (i) Pregnan; (ii) Estran; (iii) Gonan
Tabel 2. Kelompok progesteron
Progesteron
Estrogenik
Progestonik
Androgenik
1.Pregnan

MPA (provera)
-
++
-
Didrogesteron (duphaston)
-
++
-
2.Estran
Linestrenol (endometril
+
++
+
Norelisteron (primolut N)
-
++
+
3.Gonan :
Norgestrel
-
+++
++
Desogestrel
-
+++
- (?)

Mekanisme progesteron adalah pada poros hipofisis ovarium, dengan cara menekan pelepasan gonadotropin dan steroidogenesis ovarium, dengan akibat atropi endometrium. Komplikasi yang dikhawatirkan pada pengobatan ini adalah abdomen akut sebagai akibat pecahnya jaringan endometriosis sehingga terjadi hemoperitoneum.
Pemberian progesteron yang terus menerus dapat mengakibatkan kadar estrogen yang rendah sekali dengan akibat sering terjadi “breakthrough bleeding” sehingga diperlukan pemberian preparat estrogen dosis rendah.
Keberhasilan terapi sulit untuk dinyatakan, sebab tidak semua laporan para penelitia menyebutkan ciri-ciri subyek yang diteliti, misalnya : berat ringannya endometriosisnya, dan adanya faktor penyebab infertilitas lainnya. Menurut hasil ringkasan laporan beberapa peneliti, kehamilan setelah terapi dengan progesteron rata-rata sebesar 26 % atau berkisar dari 5 – 73 % 3,11.
d. Pengobaan kombinasi estrogen-progesteron.
Pemberian progesteron ditambah estrogen dosis rendah yang menyerupai profil hormon pada wanita hamil (pseudo pregnancy) dapat mengakibatkan perubahan sel endometriosis menjadi desidua yang kemudian menjadi nekrotik dan akhirnya menjadi jaringan ikat.
Untuk pengobatan ini sering digunakan kontrasepsi oral dengan pemakaian terus menerus. Dosis dapat dinaikkan sampai 2-3 kali lipat setelah beberapa minggu, untuk selanjutnya tambahan dosis tergantung dari kepentingan mengontrol perdarahan. “Breakthrough bleeding” yang kadang-kadang terjadi karena atropi dapat diperbaiki dengan sediaan estrogen untuk stabilisasi endometrium dalam mencegah perdarahan berikutnya. Wilkinson dan Matting menyatakan bahwa pengobatan campuran estrogen progesteron ini menurunkan keluhan sekitar 46,6 – 93 % dan tingkat kehamilan yang terjadi 5 – 72 %. Hammond dan Hanney mendapatkan tingkat kehamilan pada pengobatan ini bervariasi 0 – 47 %. Perbedaan ini disebabkan oleh jenis obat yang dipakai, lamanya pengawaan lanjutan, penggabungan dengan pengobatan yang lain, dan seleksi pasien sebelum diobati.
Pengobatan ini sering digunakan sebelum dilaksanakan tindakan bedah untuk mempermudah operasi, dan biasanya diberikan 2 bulan sebelum operasi. Andrew melaporkan bahwa dengan menggunakan cara ini saja tingkat kehamilannya adalah 43 %, dengan bedah konservatif saja 59 %, sedangkan dengan kombinasi bedah konservatif dan cara ini memberikan hasil 21 %.
e. Pengobatan androgen
Mekanisme kerja hormon androgen ini pada endometriosis masih belum diketahui secara pasti, namun banyak yang beranggapan bahwa hormon ini menghambat langsung pertumbuhan endrometriuosis. Hammond dkk melaporkan hilangnya keluhan endometriosis dengan pengobatan hormon androgen ini sebesar 60 %. Keuntungan lain adalah ovulasi tidak dihambat sehingga kehamilan masih dapat terjadi selama pengobatan, haid masih teratur, pemakaian sederhana dan murah. Kerugiannya adalah penyakit sering kambuh dalam beberapa bulan saja setelah pengobatan dihentikan dan tingkat kehamilan rendah. Hammond dkk melaporkan tingkat kehamilan pada pemakai sediaan ini sebesar 12%, sedangkan Katayama dkk mendapatkan tingkat kehamilan sebesar 19 %.
f. Pengobatan danazol
Danazol adalah turunan isoksazol dari 17 alfa etiniltestoteron. Danazol menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi dan estrogen rendah. Pada binatang percobaan dapat diketahui bahwa danazol mempunyai beberapa efek biologi yang menarik, yang terpenting adalah efek antigonadotropin. Efek ini terjadi dengan cara menekan FSH dan LH, dengan akibat dihambatnya steroidogenesis ovarium. Efek danazol menyerupai efek kastrasi dan menopause, sehingga terjadi amenorea dan atropi endometrium sehingga disebut juga pseudomenopause.
Pemberian obat ini mengakibatkan jaringan endometriosis menjadi atropi diikuti dengan aktivitas penyembuhan dan resorpsi penyakit 3,11.
g. Pengobatan dengan laser
Pengobatan ini dapat dilakukan sebelum pengobatan medisional atau operatif dan dilakukan pada saat pemeriksaan laparoskopi diagnostik. Dengan cara ini maka dosis pengobatan medisinal dapat dikurangi dan menghindari pelekatan pada tindakan bedah 3.
h. Pengobatan dengan GnRH
Sediaan ini hampir sama dengan antigonadotropin, yang cara kerjanya mengikat reseptor dikelenjar hipofisis. Dengan “kastrasi medisinal yang mana diharapkan lesi dari endometriosis akan mengecil.
Efek samping dari pengobatan ini adalah dapat terjadi perdarahan (75%), “Hot flushes” (68 %), psikis (38 %), sakit kepala (33%), vagina kering (28 %), berat badan naik (25 %), cepat lelah (25 %), rasa tidak enak di mammae (18 %), dan perubahan pada kulit. Selain itu pengobatan dengan GnRH juga dapat mengurangi nyeri pelvis, dispareunia, dismenorea, dan rasa tidak enak di pelvis. Pengobatan ini yang bertujuan menghentikan fungsi ovarium tidak dilakukan lagi, kecuali ada kontraindikasi pembedahan 3,11.

DAFTAR PUSTAKA

1.Badziad Ali., 2003. Endometriosis; Endokrinologi Ginekologi, edisi kedua, hal: 1-25, Media Aesculapius, FK UI, Jakarta.

2.Badziad Ali., 1999. Endometriosis; Ilmu Kandungan, edisi kedua, cetakan ketiga, hal: 316-326, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

3.Badziad Ali., 1992. Kontroversi Dalam Pengobatan Endometriosis; Majalah Kedokteran Indonesia, vol. 42 no. 7, edisi Juli, hal: 409-410, Jakarta.

4.David L. Olive, Pritts EA, Treatment of Endometriosis, NEJM, vol: 345, no.4 July 2001.

5.Firmansyah. F., 1997. Hubungan antara Skor AFS dengan Keberhasilan Hamil; Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia, vol. 21, no. 4, edisi oktober, hal: 234-236, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo, Jakarta.

6.Mansjoer Arief, et. all., 2001, Endometriosis; Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, hal: 381-382, Media Aesculapius, FK UI, Jakarta.

7.Mendrova. C dan Sutoto., 1997. Endometriosis yang Ditemukan Pada Sediaan Bedah Ginekolog;, Majalah Ginekologi dan Obstetri Indonesia, vol. 21, no. 2, edisi april, hal : 102-103, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

8.Moeloek. F. A., 1992. Teori, Aspek Klinik, dan Pengobatannya Endometriosis; Majalah Kedokteran Indonesia, vol. 42, no. 7, Hal: 379-388, Jakarta.

9.Prentice A., Endometriosis, Reguler Review,BMJvol: 323, 2001.

10.Rayburn. W. F and Cristopher. J., 2001. Endometriosis; Obstetri dan Ginekologi, hal: 278-282, Jakarta.

11.Samsul H., 2004. Evaluasi Standar Pengobatan Endometriosis; Seksi Fertilitas dan endokrinologi Reproduksi, UNAIR, Surabaya.

12.Wibowo N., 2004. Waspada Mandul Akibat Endometriosis; Majalah Farmacia, vol. III, no. 11, edisi Juni, halaman 8-12, Jakarta.
Read More

Tuesday, December 16, 2014

Apa Penyebab Hidung Berbau Lihat Artikelnya (FOETOR EX NASI) OZAENA

Indera penghidu yang merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, erat hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena keduanya bekerja bersama-sama. Stimulusnya berupa rangsangan kimiawi. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius di bagian hidung sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju ke bulbus olfaktorius di dasar fossa kranii posterior.1

Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik nafas dengan kuat atau partikel tersebut larut dalam lendir yang selalu ada di permukaan mukosa daerah olfaktorius. Berdasarkan survei data di Amerika Serikat tahun 1994 sekitar 2,7 juta orang mempunyai masalah dengan penciuman, salah satu diantaranya adalah hidung berbau (foetor ex nasi).  Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Dalam kepustakaan disebut sebagai offensive odor, fetid odor, stinkende afscheiding, a stench. Ini merupakan suatu gejala (simptom), bukan diagnosis. Sebagai simptom, foetor ex nasi sering disertai gejala hidung lainnya, misalnya hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, kadang disertai dengan darah. Penelitian yang dilakukan di RS dr. Kariadi Semarang tahun 1975-1976 tentang jenis penyakit yang paling banyak menimbulkan gejala foetor ex nasi di poliklinik Telinga Hidung Tenggorok adalah korpus alienum dan sinusitis.1,2,3

Dalam kenyataannya, masih sering dijumpai penderita datang ke dokter dengan keluhan hidung berbau, yang penting diperhatikan adalah bagaimana menentukan diagnosis secara praktis, apalagi bagi seorang dokter yang tidak mempunyai alat yang lengkap untuk memeriksa keadaan dalam hidung. Untuk keperluan ini maka penulis tertarik untuk menulis referat tentang “Hidung Berbau” (foetor ex nasi) bagaimana patogenesis, anamnesis, cara pemeriksaan secara klinis yang sederhana dan pedoman diagnostik berdasarkan diagnosis banding dari kelainan atau beberapa penyakit yang dapat memberikan gejala foetor ex nasi.

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

2.1 Hidung Luar

    Hidung luar berbentuk piramida dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago septum nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta prosesus frontal os maksila.4,5

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar (dikutip dari: kepustakaan 5)

Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura piriformis. Tepi laterosuperior dibentuk oleh kedua os nasal dan prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis anterior.4

2.2 Hidung Dalam

Struktur hidung dalam membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Pada dinding lateral hidung terdapat konka dengan rongga udara yaitu meatus superior, media dan inferior.5,6

Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius dan dengan demikian dapat mengganggu penciuman.6

Gambar 2. Anatomi hidung dan cavum nasi (dikutip dari: kepustakaan 5)

2.3    Fisiologi Hidung

    Fungsi hidung antara lain untuk jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses bicara dan reflek nasal.4,7,8

a.    Sebagai jalan nafas

Saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media kemudian turun kearah nasofaring, sehingga udara berbentuk lengkungan atau arkus. Saat ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti saat inspirasi, di bagian depan aliran udara memecah sebagian melalui nares anterior dan sebagian lagi ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran udara nasofaring.8

b.    Pengatur kondisi udara

Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan  mengatur suhu.

c.    Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir dan enzim yang dapat menghancurkan beberapa bakteri yang disebut lisozim.8

d.    Indera penghidu

Hidung bekerja sebagai indera penghidu karena adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum nasi. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.4,7

Epitel olfaktorius adalah epitel berlapis semu berwarna kecoklatan dan terdiri dari tiga macam sel-sel saraf  yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Lamina propia di daerah olfaktorius mengandung kelenjar olfaktorius Bowman. Sel penunjang dan kelenjar Bowman (Graziadei) yang menghasilkan mukus cair.4,7

Diantara sel-sel penunjang terdapat sel olfaktorius yang bipolar, sedangkan di bagian puncak sel terdapat dendrit yang telah berubah bentuk dan melanjutkan diri ke permukaan epitel, kemudian membentuk bulatan disebut vesikel olfaktorius. Menurut teori stereokimia untuk penghidu setiap bau dari ketujuh bau-bauan kimia atau dasar, indera penciuman mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat elektrofilik atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptor-reseptor yang bentuk dan dimensinya tertentu sehingga satu molekul bau yang spesifik membutuhkan partikel reseptor tersendiri. Bau-bauan primer seperti bau-bauan eterial, kamper, “musky”, wangi bunga, bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan termasuk bau amandel, merupakan kombinasi yang ditimbulkan oleh pertautan molekul-molekul dengan dua atau lebih reseptor primer.4

Teori lain berpendapat bahwa kualitas molekul yang dianggap sebagai bau adalah  interaksi antara vibrasi dengan organ reseptor. Kemungkinan besar, permulaan perjalanan impuls pada nervus olfaktorius adalah rangsangan pada batang olfaktorius atau silia, mungkin oleh larutan partikel bau-bauan dalam lendir. Pada perangsangan sel reseptor, akan timbul perubahan potensial listrik yang menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus olfaktorius untuk merangsang sel mitral. Bulbus olfaktorius mempunyai aktivitas listrik yang menetap dan terus-menerus.4

Ujung proksimal sel olfaktorius menipis sampai hanya berbentuk filamen setebal 1 mikrometer, yakni akson. Bersama-sama akson lainnya berkumpul membentuk gabungan 20 filamen disebut fila olfaktoria, yang berjalan melalui lubang pada lamina kribrosa dan memasuki bulbus olfaktorius di otak. Fila ini tidak bermielin.4

Di dalam bulbus olfaktorius akson dari nervus olfaktorius akan berhubungan dengan sel-sel mitral dan akson ini meninggalkan bulbus untuk membentuk traktus olfaktorius yang berjalan sepanjang dasar lobus frontalis untuk kemudian masuk ke korteks piriformis, komisura anterior, nukleus kaudatus, tuberkulus olfaktorius dan limbus anterior kapsula interna dengan hubungan sekunder.4

Gambar 3. Hubungan langsung dari mukosa olfaktorius ke bulbus olfaktorius di Central Nervus System. (dikutip dari: kepustakaan 4)

e.    Resonansi suara

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).8

f.    Proses bicara

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.8

g.    Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.8

3.    HIDUNG BERBAU (FOETOR EX NASI)

3.1 Definisi

Hidung berbau (foetor ex nasi) berarti bau busuk dari dalam hidung. Dalam kepustakaan disebut sebagai offensive odor, fetid odor, stinkende afscheiding, a stench. Ini merupakan suatu gejala (simptom), bukan diagnosis. Sebagai simptom, foetor ex nasi sering disertai gejala hidung lainnya, misalnya hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, yang kadang-kadang disertai dengan darah.3,9

3.2    Etiologi

Ada beberapa penyakit yang memberikan gejala foetor ex nasi  antara lain: 3

a.    Korpus alienum

b.    Rinolit

c.    Difteri hidung

d.    Sinusitis

e.    Rinitis atrofi (Ozaena)

f.    Nasofaringitis kronis

g.    Rinitis kaseosa

3.3    Patogenesis

Menurut BOIES adanya foetor dalam hidung berarti terjadinya nekrosis dari mukosa dan adanya organisme saprofit. Pus yang kronis dan berbau dalam sinus maksilaris mungkin juga berasal dari gigi. Menurut BOYD, nekrosis dapat disebabkan oleh: (1) berkurangnya aliran darah (blood supply), (2) toksin bakteri, dan (3) iritasi secara fisik maupun kimiawi. Dikatakan pula bahwa sel-sel yang mati akan mengalami pembusukan oleh organisme saprofit.3

Berdasar pendapat tersebut di atas, maka foetor ex nasi dapat disebabkan oleh:3

1. Pembusukan sel-sel mati (benda-benda organik) atau korpus alienum oleh kuman saprofit.

2. Pembusukan sel-sel jaringan yang nekrotis, sebagai akibat dari :

a.    Trauma, mengakibatkan kerusakan jaringan sampai matinya jaringan karena tidak mendapat suplai darah. Terjadilah nekrosis dan infeksi sekunder sehingga timbul foetor.

b.    Radang oleh iritasi fisik atau kimiawi.

c.    Toksin bakteri.

d.    Neoplasma maligna dengan bagian-bagian yang nekrotik.

3.4    Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti sangat membantu untuk menentukan diagnosis etiologi dari foetor ex nasi, karena banyak penyakit yang memberikan gejala foetor ex nasi. Meskipun hidung adalah organ pembau, apabila dalam rongga hidung terjadi bau busuk, bau ini mungkin tidak disadari oleh penderita. Apabila penderita dapat membau, kita beri tanda (+), dan bila tidak membau kita beri tanda (-), maka kemungkinan yang dapat terjadi pada pasien adalah: 3

1. Penderita sendiri (+), orang lain (+)

2. Penderita sendiri (+), orang lain (-)

3. Penderita sendiri (-), orang lain (+)

Bila penderita sendiri tidak dapat membau, berarti ia mengalami anosmia. Bila orang lain tidak membau, berarti bau tersebut subjektif.  Keluhan bau busuk dari hidung anak sering dikeluhkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Gejala nasal discharge dengan foetor dapat bersifat unilateral atau bilateral. Hal ini perlu sekali ditanyakan dalam anamnesis oleh karena anamnesis yang teliti dan terarah akan sangat membantu kita dalam mencari kemungkinan diagnosis.3

Anamnesis perlu disesuaikan dengan pemeriksaan, salah satu pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah discharge purulent atau sanguinous, dan apakah discharge sangat banyak (profuse). Berdasarkan adanya macam-macam kelainan/penyakit yang dapat menimbulkan gejala foetor, dapatlah disusun diagnosis banding sebagai berikut :

1.    Korpus alienum

2.    Rinolit

3.    Difteri hidung

4.    Sinusitis

5.    Rinitis atrofi (Ozaena)

6.    Nasofaringitis kronis

7.    Rinitis kaseosa

8.    Radang kronis spesifik : sifilis tertier, tuberkulosis

9.    Neoplasma maligna

1.    Korpus alienum

Kebanyakan benda-benda kecil misalnya biji buah, manik-manik, kancing, karet penghapus, kelereng, kacang polong, batu dan kacang tanah. Kebanyakan ditemukan pada anak-anak dan biasanya unilateral. Bila benda tersebut belum lama dimasukkan, maka tidak atau hanya sedikit mengganggu, kecuali bila benda yang dimasukkan tajam atau sangat besar. Gejala yang muncul antara lain obstruksi yang bersifat unilateral dan sekret yang berbau. Benda asing umumnya ditemukan pada bagian anterior vestibulum atau pada meatus inferior sepanjang dasar hidung. Karena penderita kebanyakan adalah anak-anak, apakah penderita sendiri dapat membau atau tidak hal ini tidak jelas.3,6,10

   

Gambar 4. Korpus alienum pada hidung (dikutip dari: kepustakaan 10)

2.    Rinolit

Rinolit juga dianggap sebagai benda asing tipe khusus yang biasanya terdapat pada orang dewasa. Garam-garam tak larut dalam sekret hidung membentuk suatu masa berkapur sebesar benda asing yang tertahan lama atau bekuan darah. Warna sedikit abu-abu, agak coklat atau hitam kehijau-hijauan. Konsistensi dapat lunak sampai keras dan rapuh atau porus. Seperti halnya dengan korpus alienum, biasanya terdapat unilateral. Sekret sinus kronik dapat mengawali terbentuknya masa seperti itu di dalam hidung.3,6,10

Gambar 5. Rinolit (dikutip dari: kepustakaan 10)

3.    Difteri hidung

    Ada 2 tipe difteri hidung yaitu: (1) primer: terbatas dalam hidung, bersifat benigna, ±2%, (2) sekunder: berasal atau bersama-sama dengan difteri faring, bersifat maligna karena biasanya disertai gejala konstitusional. Discharge biasanya bilateral, sanguinous, sering disertai ekskoriasi vestibulum nasi. Berdasarkan adanya difteri hidung benigna dan maligna, maka jangan lupa memeriksa keadaan faring. Bila masih ragu, sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap sekret hidung dan tenggorok.3

4.    Sinusitis

     Dapat terjadi pada anak-anak ataupun dewasa, dapat unilateral, atau bilateral. Pada anak-anak, discharge yang banyak sering disertai infeksi pada adenoid dan alergi hidung. Pada anak-anak gejala yang sering ditemukan ialah: nasal obstruction, persistent mucopurulent discharge, frequent colds. Berdasarkan adanya infeksi adenoid dan alergi hidung, maka pada anak-anak gejala discharge tentunya lebih sering bilateral. Pada anak-anak diragukan apakah penderita sendiri membau atau tidak, jadi penderita sendiri (±), orang lain (+). Penderita dewasa sering menyadari adanya bau yang tidak enak dalam hidungnya, tetapi kadang-kadang hiposmia bila ada obstruksi dan bersifat temporer.3,9,10

Gambar 6. Sinusitis (dikutip dari: kepustakaan 10)

5.    Ozaena

    Disebut juga rhinitis chronica atrophicans cum foetida. Karakteristiknya adalah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya krusta yang berbau khas. Untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, karena derajat ozaena menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Adanya discharge yang berbau, bersifat bilateral, terdapat krusta kuning kehijau-hijauan. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita dari pada pria, terutama pada umur sekitar pubertas. Penderita sendiri mengalami anosmia, sedang orang lain tidak tahan baunya.3

6.    Nasofaringitis kronis

     Di nasofaring terdapat jaringan limpoid, kadang-kadang adenoid, dimana banyak tinggal bakteri-bakteri didalam kripti. Bila ada infeksi virus maka bakteri tersebut menjadi virulen dan dapat meluas ke semua arah. Pada kebanyakan kasus penyakit ini bersifat self limiting, bila daya tahan tubuh baik penyakit segera sembuh. Tetapi dapat juga penyakit menjadi kronis dan discharge nasofaring menjadi purulen serta mulai timbul bau, hal ini mulai dirasakan oleh penderita sendiri. Penderita sering berusaha mengeluarkan discharge di nasofaring yang dirasakan sangat mengganggu. Discharge pada nasofaringitis kronis bersifat bilateral.3

7.    Rinitis kaseosa

    Adalah perubahan kronis inflamatoar dalam hidung dengan adanya pembentukan jaringan granulasi dan akumulasi massa seperti keju yang menyerupai kolesteatoma. Ada banyak teori tentang etiologi penyakit ini, diantaranya bahwa penyakit ini adalah akibat radang kronis dan nasal stenosis sekunder yang menyumbat nasal discharge. Oleh perubahan mekanis dan kimiawi dan deskuamasi mukosa secara terus-menerus, terjadilah penumpukan massa seperti keju yang menyerupai kolesteatoma. Kebanyakan bersifat unilateral, dapat terjadi pada segala umur, tetapi terbanyak antara 30-40 tahun. Karena kelainan ini adalah akibat sinusitis, penderita sendiri membau (+), orang lain (+).3

8.    Radang kronis spesifik

a.    Sifilis tertier

Berupa gumma yang sering mengenai septum bagian tulang, yaitu pada vomer dan sering mencapai palatum durum. Bila terjadi nekrosis yang mengenai tulang dan meluas ke kartilago septum terjadilah perforasi septum. Foetor bersifat bilateral. Penyakit ini sekarang jarang dijumpai.3

b.    Tuberkulosis

 Dalam hidung sebagai tuberkuloma yang banyak mengenai septum bagian kartilago. Untuk membedakan sifilis tertier dari tuberkulosis lebih baik dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan biopsi. Pada tuberkulosis perlu dilakukan foto rontgen toraks dan nasal swab. Pada tuberkulosis, bila tuberkuloma pada septum bagian kartilago mengalami nekrosis, dapat juga terjadi perforasi septum, foetor dapat dirasakan bilateral. Penyakit itu sekarang juga jarang dijumpai.

9.    Neoplasma maligna

    Gejala yang menyolok ialah nasal obstruction yang bersifat unilateral dan nasal bleeding. Kadang-kadang ulserasi awal dan nasal bleeding terlihat lebih dulu sebelum nasal obstruction, terutama pada tumor kavum nasi yang anaplastik. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi yang diambil dari bagian yang tidak nekrotis. Perlu diagnosis sedini mungkin, maka bila ada kecurigaan kearah malignansi, biopsi perlu segera dilakukan.3

3.5 Pedoman Diagnostik

Pada anak-anak

1.    Korpus alienum: discharge  unilateral.

2.    Difteria hidung: discharge sanguinous bilateral.

3.    Sinusitis: discharge profuse bilateral. 3

Dewasa

1.    Sinusitis: discharge bilateral, penderita (+), orang lain (+)

2.    Ozaena: discharge bilateral, Penderita (-), orang lain (+)

3.    Nasofaringitis kronis: discharge postnasal bilateral, penderita (+), orang lain (-)

4.    Rinitis kaseosa: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+)

5.    Sifilis tertier: discharge bilateral, septum bagian tulang, penderita (+), orang lain (+)

6.    Tuberkulosis: discharge bilateral, septum bagian kartilago, penderita (+), orang lain (+)

7.    Neoplasma maligna: discharge uni/bilateral, penderita (+), orang lain (+).

8.    Rinolit: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+).3

Pedoman diagnostik tersebut diatas akan mempermudah penentuan diagnosis secara klinis. Bila diagnosis masih meragukan dilakukan pemeriksaan khusus dan laboratorium. 3

3.6 Terapi

Terapi yang diberikan tergantung dari diagnosis :

a.    Korpus alienum/ rinolit

Terapinya ialah mengangkat korpus alienum atau rinolit.

b.    Nasal difteria

Diberikan antibiotika, Anti Difteri Serum (ADS), dan salep antibiotika untuk mencegah dermatitis akibat nasal discharge.

c.    Sinusitis dan rinitis kaseosa

Prinsip terapi ialah membersihkan discharge, memperbaiki ventilasi dan drainase, pemberian antibiotika yang sesuai, dan bila tidak berhasil baru dilakukan operasi.

d.    Ozaena

Terapi konservatif atau kombinasi dengan operatif.

e.    Nasofaringitis kronis

Terapi ialah dengan mengisap discharge yang lengket di nasofaring, pemberian antibiotika dan obat tetes hidung.

f.    Sifilis tertier dan tuberkulosis

Terapinya sesuai dengan terapi spesifik untuk sifiilis dan tuberkulosis pada    umumnya.

g.    Neoplasma maligna

Terapi operasi, radiasi atau kombinasi operasi dan radiasi. 3

3.7 Prognosis

Prognosis untuk korpus alienum dan rinolit setelah pengangkatan korpus alienum dan rinolit pada umumnya baik. Prognosis untuk radang pada umumnya baik. Adanya bermacam-macam antibiotika dapat memperkecil insidens, komplikasi dan mortalitas.3

Khusus untuk ozaena, prognosis tergantung dari derajat ozaena sebelum diobati.3

•    Ozaena ringan, dengan terapi konservatif atau kombinasi konservatif dan operatif, prognosis baik, dapat sembuh 100%.

•    Ozaena sedang, dengan terapi kombinasi konservatif dan operatif sekitar 75% - 83% berhasil baik, dapat residif.

•    Ozaena berat, dengan terapi konservatif maupun operatif tidak berhasil, atau hasilnya 0%. Oleh sebab itu dianjurkan untuk tidak melakukan operasi pada ozaena berat.

2.4.8 Pencegahan

Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya foetor ex nasi adalah dengan:

a.    menjaga kebersihan

b.    mempertinggi daya tahan tubuh agar tidak mudah terkena infeksi

c.    mencegah terjadinya infeksi kronis 3

DAFTAR PUSTAKA

1.    Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2001;130.

2.    Leopold DA. Disorder of Taste and Smell. http://www.emedicine.com. [diakses tanggal 14 Februari 2009].

3.    Soedarjatni. Foetor ex nasi. Maj Cermin Dunia Kedokt. 1977;21-24.

4.    Ballenger JJ. Hidung dan Sinus Paranasal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara,1994;1-2.

5.    Encarta. Anatomy of The Nose. http://www.encarta.msn.com/Anatomy of The Nose.html. [diakses tanggal 19 Februari 2009].

6.    Hilger PA. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.1997;174-176.

7.    Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India: Elsevier. 2007;131.

8.    Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sumbatan Hidung dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2001;88-94.

9.    RS Dhillon, East CA. Ear Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2nd ed. London: Churchill Livingstone, 1999;32.

10.    Ghorayeb BY. Otolaryngology Houston. http://www.ghorayeb.com. [diakses tanggal 19 Februari 2009].

Read More