Tuesday, December 11, 2012

Proposal Tesis | Struktur dan Perasi Fungsional Yang Membangun Cerita Kisah-Kisah Al-Quran


BABI
 TINJAUAN PUSTAKA
Analis Kesehatan
A.  Nilai
1. Pengertian
Nilai merupakan realitas abstrak. Nilai kita rasakan dalam diri kita sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Oleh sebab itu, nilai menduduki tempat penting dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat. Nilai menjadi sesuatu yang abstrak dapat dilacak dari tiga realitas, yakni pola tingkah laku, pola berpikir, dan sikap-sikap (Ambroise dalam Kaswardi, 1993).
Titus (1984) mengemukakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhan serta keinginan manusia dan nilai dapat juga berupa kualitas dari sesuatu yang dapat menimbulkan respons penghargaan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Max Scheler (dalam Wahana 2004), bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya, nilai merupakan kualitas apriori yang dapat dirasakan oleh setiap manusia tanpa melalui pengalaman indrawi terlebih dahulu.
Keragaman pendapat para ahli dalam mendefinisikan tentang nilai, dirangkum oleh Mulyana (2004) dalam bukunya “Mengartikulasikan Pendidikan Nilai”. Adapun  pendapat para ahli tersebut, meliputi (1) nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya (Gordon Alport), (2) nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif (Kupperman), (3) nilai adalah sesuatu yang ditunjukkan dengan kata ‘ya’  (Hans Jonas) dan (4) nilai adalah konsepsi (tersurat atau tersirat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri kelompoknya) dari apa yang diinginkan mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara, dan tujuan akhir dari setiap tindakannya.
Dari beberapa pemahaman tentang pengertian nilai tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai tidak dapat terlepas dari manusia, ia selalu dikejar dan dipertahankan serta dicita-citakan dan didambakan dalam kehidupan ini sehingga selalu menjadi motivasi hampir pada setiap aktivitas manusia. Dengan demikian, setiap tindakan atau perbuatan manusia selalu digerakkan seta didasari oleh nilai, sehingga nilai diyakini dapat memberi arah bagi aktivitas manusia dalam meraih sejumlah tujuan yang hendak dicapai.
2. Jenis-jenis nilai
Nilai dapat dibedakan ats bebagai jenis, antara lain nilai etika/moral, nilai religius, nilai kultural, nilai edukatif, dan nilai filosofis. Berikut ini akan diuraikan secaran singkat mengenai konsep dari jenis-jenis nilai tersebut.
1)   Nilai etika/moral
Objek etika sebagai ilmu adalah manusia. Manusia dipandang dari segi baik buruk perilakunya, diukur dengan kriteria tertentu. Menurut Suseno (1987) bahwa etika adalah pemikiran sestematis tentang moralitas. Yang dihasilkan secara langsung, bukan hanya berupa kebaikan, melainkan sesuatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
Konsep etika menurut pandangan orang barat tidak sama dengan pandangan orang timur. Etika barat bersifat antroposentrik (berpusat pada manusia). Kebalikannya, etika timur bersifat teosentrik (berpusat pada Tuhan). Dalam etika timur, terutama sudut pandang agama Islam, menurut Musnamar (dalam Amin, 1975) bahwa suatu perbuatan selalu dihubungkan dengan amal saleh, pahala atau siksa, surga atau neraka, dan lain-lain. Hal tersebut bebeda dengan etika barat. Persoun (1985) menambahkan bahwa etika pada dasarnya adalah kemampuan menerobos teknik dan membuka suatu dimensi transenden, dimensi harapan, evolusi kritis, dan tanggung jawab.
Dinyatakan oleh Amin (1975) bahwa agama samawi dan kebudayaan, sebenarnya tidak saling melingkupi, tetapi saling berhubungan. Soal penentuan nilai baik atau buruk, tinggi atau rendah, indah atau jelek dan sebagainya, sebenarnya hanyalah persoalan yang bersifat nisbi, jika hal itu hanya didasarkan pada pengalaman, pengamatan, rasio, dan sejarah. Kebenaran hakiki atau penilaian yang mutlah telah ditentukan Allah. Manusia yang benar-benar mengenal dirinya sebagai hamba Allah tidak boleh menciptakan nilai tersebut, Manusia hanya berhak memilih.
2)   Nilai religius
Pengertian nilai religius dikemukakan oleh Dojosantoso (1986) dan Mangunwijaya (1988), bahwa nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan  hubungan manusia terhadap Tuhan sebagai penciptanya, dan nilai-nilai yang dimaksud adalah keseriusan hati nurani, kesalehan, ketelitian dan pertimbangan batin, dan sebagainya.
Sehubungan dengan nilai religius, Koentjaraningrat (1984) lebih lanjut menjelaskan bahwa emosi keagamaan menyebabkan manusia itu religius; suatu keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud alam gaib (supranatural) serta segala nilai dan ajaran dari religi yang bersangkutan.
3)   Nilai budaya
Menurut Koentjaraningrat (1984) nilai budaya pada dasarnya merupakan konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam kehidupan. Misalnya, konsep yang menganggap penting sikap tenggang rasa dan kepekaan.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas (gagasan, konsep, nilai, norma, pikiran manusia, dan peraturan) mewarnai perilaku kehidupan manusia. Kierkegaard (dalam Poespowardojo, 1993) mengungkapkan bahwa dari kenyataan menunjukkan, bahwa manusia pada hakikatnya membutuhkan budaya untuk berkarya. Oleh karena itu, dalam kehidupannya manusia banyak diwarnai oleh tiga aspek sebagai berikut; estetis, etis, dan religius.
4)   Nilai edukatif
Pendidikan adalah salah satu wahana untuk memberikan pencerahan pikiran dan batin manusia. Melalui pendidikan, pikiran manusia terbuka untuk mengetahui, memahami, dan mamaknai semua proses kehidupan yang dijalaninya. Melalui pendidikan, batin manusia tersentuh untuk merasakan, menikmati, menghayati, dan merenungkan semua proses kehidupan yang dijalaninya. Pendidikan sangat penting bagi kehidupan manusia, sebagaimana dikemukakan Indar (1994) bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan hal-hal yang meliputi: (1) salah satu kebutuhan hidup, (2) salah satu fungsi sosial, (3) bimbingan, (4) sarana pertumbuhan, dan (5) mempersiapkan, mengembangkan, dan membentuk kedisiplinan. Dengan demikian, secara singkat dapat dinyatakan bahwa melalui pendidikan manusia akan menjalani proses kemajuan dan perubahan dalam kehidupannya.
Menurut Barnadib (2002), setidaknya ada yang substansial dalam proses pendidikan, yaitu transformasi dan pengembangan. Transformasi dimaksudkan sebagai wujud pengalihan nilai dan pengembangan dimaksudkan sebagai pemanfaatan secara optimal potensi yang dimiliki untuk menerapkan nilai yang telah diperoleh.
5)   Nilai filsafat
Pengertian filsafat menurut Leenhouwers (1988), pada dasarnya merupakan pencarian citra manusia. Citra yang dicari berupa visi tertentu tentang hidup manusia yang dapat dipertanggungjawabkan. Visi itu harus menjurus dan menjewai tingkah laku. Visi itu, misalnya, berupa jawaban atas pertanyaan bagaimana membentuk diri yang semestinya, apa yang diharapkan manusia untuk masa mendatang, di mana manusia harus mencari kebulatan, keutuhan dan kesempurnaan hidup, dan sebagainya. Dari proses pencarian tersebut, manusia dituntut untuk mengadakan perenungan guna menentukan, baik dan buruknya sesuatu. Dengan demikian, filsafat mempunyai nilai yang pada akhirnya membantu manusia untuk memecahkan masalah hidupnya.
Koentjaraningrat (1984) berpendapat bahwa terdapat lima dasar dalam kehidupan, yaitu: (1) hakikat hidup manusia, (2) hakikat karya manusia, (3) hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakikat hubungan manusia dengan alam, (5) hakikat hubungan manusia dengan sesamanya.
2. Fungsi sastra
Luxemburg dkk. (1982) berpendapat bahwa sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Secara etimologi, sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sangsekerta, akar kata Sas-, yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, sedangkan akhiran-tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Oleh karena itu, sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Sastra mempunyai manfaat yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Manfaat sastra tidak terlepas dari fungsi sastra, yaitu: (1) melatih keempat keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis), (2) menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia, (3) membantu mengembangkan diri pribadi, (4) membantu pembentukan watak, (5) memberi kenyamanan, keamanan, dan kepuasan, dan (6) meluaskan dimensi kehidupan dengan pengalaman-pengalaman baru sehingga dapat melarikan diri sejenak dari kehidupan yang sebenarnya (Wardani, 1981).
3. Kisah
a. Pengertian
Aristoteles (dalam Luxemburg 1991) memberi definisi tentang pengertian “kisah” sebagai sebuah pokok dalam suatu cerita, lakon, dan kadang-kadang sebuah sajak berkembang dalam kurung waktu tertentu dari awal sampai suatu akhir.
Definisi Aristoteles lebih daripada hanya pengamatan bahwa awal dan akhir merupakan bagian yang harus ada dalam suatu kisah yang memiliki “tengah” sebagai bagian yang ketiga. Yang paling penting ialah sesuatu yang tetap implisit: yaitu gerak dari awal keakhir. Gerak itu makan waktu tetapi juga bersifat dinamis. Tokoh dan pembaca digiring dari awal ke akhir. Akhir dapat dipandang sebagai perubahan keadaan awal. Kalau keduanya dibandingkan maka diketahui apa yang berubah, jadi apa yang telah terjadi.
Selanjutnya Luxemburg (1991) menyatakan jika dibandingkan dengan, misalnya, deskripsi ruang yang menjadi ciri khas kisah ialah bahwa rentetan kejadian mendugakan urutan waktu. Ciri khas kedua ialah bahwa kisah bukan hanya penyebutan sejumlah gejala lepas; dalam kisah kejadian-kejadian saling berkaitan. Ciri khas ketiga membedakan kisah dari peristiwa alam: kejadian dalam kisah disebabkan atau dialami oleh tokoh yang mempunyai tujuan. Secara sadar atau tak sadar, eksplisit atau implisit kisah memperoleh dinamikannya karena  tokoh pelakunya mempunyai suatu tujuan.
Dalam kamus Al-Munawwir (Al-Munawwiar;1986) kata kisah berasal dari kata qissah jamak dari kata qisas yang berarti cerita atau hikayat
Asasuddin Sokah (1993) berpendapat bahwa kata kisah berasal dari kata qissah atau jamaknya qassas yang disamakan artinya dengan naba’ atau sejarah. Selanjutnya Ahmad Mahmud (dalam Asasuddin Sokah;1993) mengatakan bahwa dengan mengetahui sejarah orang-orang dahulu terutama riwayat hidup tokoh-tokoh penting seperti para Nabi dan para Rasul, menimbulkan semangat bagi para pembacanya; membangkitkan kemauan menyadarkan pribadi menjadi penyabar, kuat dan teguh. Hal itu sesuai firman Allah dalam SurahHud ayat 120 yang artinya: “dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu…….”                           ( Depag, 1976).
Selanjutnya diterangkan dalam Surah Yusuf ayat 111 yang artinya sebagai berikut:
Sesungguhnya  pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Alquran itu bukanlah cerita yang  dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman  (Depag;1976)
Dari keterngan tersebut kisah merupakan pengajaran atau “guru” dari kehidupan yang bertujuan sebagai kebenaran yang  pasti, pengajaran dan peringatan. Sayyid Qutub (dalam Sokah, 1993) dalam bukunya seni penggambaran dalam Alquran merumuskan lima macam tujuan kisah dalam Alquran yaitu: (1) untuk menetapkan adanya wahyu dan kerasulan, (2) menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah, (3) untuk menerangkan bahwa agama itu semuanya dasarnya satu, (4) cara yang ditempuh oleh Nabi-nabi dalam berdakwah itu satu, dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa, dan (5) menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan Nabi-nabi sebelumnya.
Dalam Alquran kisah Nabi Adam tersebar dalam beberapa Surah yaitu: al-Baqarah ayat 30-38, al-A’raf ayat 11-25, Thaha ayat 116-123, al-Isra’ ayat 61-65,al-Hijr ayat  28-43,Shad ayat 71-84, al-Maidah ayat 31-35. Kisah Nabi Musa terdapat dalam  surah-surah dalam Alquran yaitu:al-Qasas 3-40, Thaha 9-99, asy-yura 10-68, al-A’raf 103-156 dan 160, Yunus 75-92, an-Naml 7-14, an-Nazi’at 15-26, Hud 96-101, Ibrahim 5-8, al-kahfi 60-82, mukminun 45-48, al-Isra’ 101-104, Al-Baqarah 67-73. Sedangkan kisah Nabi Sulaiman terdapat dalam tujuh Surah yaitu: al-An’am 84, al-Anbiya’ 78,79,81,82, Saba’ 12-14, an-Naml 15-44,al-Baqarah 102, Shad 30-40, al-Anbiya’ 78-82.
b. Peristiwa
Luxemburg dkk. (1991) berpendapat bahwa peristiwa biasanya digambarkan sebagai peralihan dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Pengamatan apakah suatu peristiwa mempunyai akibat menuntut kita membaca terus dan mengaitkan kelanjutannya. Hal ini merupakan ciri kisah, karena peristiwa memang tidak berdiri lepas. Ini juga menggiring pembaca agar ia membaca terus. Betapapun panjangnya suatu buku, kita harus membaca sampai akhir: kalau tidak, kita tak dapat memberi makna kepada seluruh rentetan kejadian.
Kategori peristiwa-berakibat atau peristiwa fungsional bukanlah satu-satunya kategori. Ada pula kejadian yang dimaksudkan untuk menghubungkan peristiwa fungsional . Banyak kejadian yang tidak mempunyai fungsi langsung dalam jalannya lakuan dalam kisah, atau tidak hanya berfungsi demikian. Kejadian tersebut merujuk pada unsur-unsur lain pada cerita, yaitu melukiskan suasana, sifat, serta latar tempat kisah berlaku.
c. Peristiwa dan tokoh
Luxemburg dkk.(1991) berpendapat bahwa makna peristiwa bagi keseluruhan kisah tidak dapat dilihat lepas dari tokoh. Ia mengemukakan  bahwa tokoh dapat ditelaah dalam hubungan dengan kisah. Tokoh mempunyai fungsi bagi lakuan. Apabila membicarakan tokoh, kita menekankan bahwa lakuan mempunyai tujuan. Kita bertolak dari anggapan bahwa pembaca sendiri membaca dengan terarah dan bahwa pengamatan terhadap tokoh rekaan yang berlaku bertujuan merupakan sesuatu yang dilakukan dengan sengang hati. Antara pembaca dan tokoh ada jarak, tetapi ia sedikit banyak ikut menghayati petualangan mereka.
d. Struktur cerita
Menurut Culler (1975) cerita rekaan (termasuk kisahan) merupakan suatu sistem dan subsistem yang terpenting adalah alur (plot), tokoh (penokohan), latar, serta tema dan amanat. Pendapat lebih lengkap dikemukakan Semi (1988) bahwa unsur-unsur yang membentuk karya sastra, seperti penokohan, tema, alur, pusat pengisahan, latar, dan gaya bahasa. Setiap unsur memiliki peran dan fungsi sehingga tidak ada yang lebih utama atau lebih penting antara satu dan lainnya. Tanpa bermaksud mengabaikan subsistem yang lain, dalam penelitian ini hanya dikemukakan, yaitu tema dan amanat, tokoh (penokohan) alur (plot) latar (setting), dan sudut pandang (point of vieuw)
1)   Tema dan amanat
Menurut Zulfahnur (1996) bahwa tema merupakan suatu dimensi yang amat penting dalam suatu cerita, karena dengan dasar itu, pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya tentang cerita yang akan dibuat. Jadi, tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita, tema mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai pedoman bagi pengarang dalam menggarap cerita, sasaran/tujuan penggarapan cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alur.
Pradotokusumo (dalam Rapi Tang,2001) mengemukakan dua pengertian tema (Yunani: tema) dalam dua makna: (1) tema adalah gagasan sentral atau gagasan dominan didalam suatu karya sastra; dan (2) pesan atau nilai moral yang terdapat secara implisit dalam karya sastra. Kedua batasan yang dikemukakan tersebut, yang pertama tampaknya lebih mengacu pada batasan tema; sedangkan yang kedua lebih sesuai dengan batasan amanat.
Menurut pendapat Sumardjo (1994) bahwa pengarang dalam menulis karyanya bukan hanya sekedar mau bercerita, melainkan juga ingin mengatakan sesuatu kepada pembaca atau pendengar. Sesuatu yang ingin disampaikan itu adalah suatu masalah kehidupan, pandangan hidup, atau dapat pula berarti komentar terhadap hidup ini. Pandangan tersebut sejalan pendapat Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiantoro, 1998), bahwa tema yang merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung didalam teks sebagai struktur semantis dan menyangkut perasaan atau perbedaan.
2)   Tokoh dan Penokohan
Sumardjo (1994) mengemukakan bahwa penokohan berasal dari kata “toko” yang berarti pelaku, karena yang dilukiskan mengenai watak tokoh atau pelaku cerita. Melalui tokoh, pembaca dapat mengikuti jalannya dan mengalami berbagai pengalaman batin seperti yang dialami tokoh cerita. Rapi Tang (2001) menyatakan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang beraksi atau mengalami berbagai bentuk peristiwa dalam cerita, baik peristiwa yang bersifat fisik maupun yang bersifat batiniah. Pradotokusumo (dalam Rapi Tang, 2001) Menjelaskan Bahwa untuk memahami karya sastra itu secara menyeluruh. Alur dan tokoh merupakan antar ketergantungan; tokoh adalah penentu peristiwa, sedangkan peristiwa itu sendiri memberi gambaran tentang tokoh.
Tokoh dalam karya sastra adalah manusia yang ditampilkan oleh pengaran dan memiliki safat-safat yang datafsirkan dan dikenal pembacanya melalui apa yang mereka katakan atau apa yang mereka lakukan. Forster (1980) Mengemukakan bahwa tokoh dalam sebuah cerita biasanya manusia; hewan-hewan pun pernah diperkenalkan, tetapi dengan tingkat keberhasilan yang terbatas karena tidak banyak yang dapat dipahami menyangkut masalah psikologinya.
Menurut Wahid (2004) ada beberapa cara yang digunakan untuk memahami watak pelaku atau pribadi tokoh, yaitu:
1. Tuntutan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;
2. Gambarang yang diberikan pengarang lewat gambarang lingkungan kehidupannya;
3. Menunjukkan Bagaimana berikutnya;
4. Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tertangnya;
5. Memahami bagaimana cara pikirannya;
6. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya;
7. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya;
8. Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain  memberikan reaksi terhadapnya;
9. Dan melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
3)   Alur (plot)
Menurut Forster (1980) sebuah cerita sesungguhnya suatu narasi dari peristiwa-peristiwa yang disusun secara kronologis (time sequence); dengan kata lain, cerita adalah suatu rantai motif-motif dalam ukuran kronologis atau dalam hubungan waktu. Sedangkan alur merupakan suatu narasi dari berbagai peristiwa akan tetapi dengan penekanan pada penyebabnya. Forster memberi sebuah contoh “Raja meninggal dan kemudian Ratu meninggal” ini adalah sebuah cerita. Contoh kedua, “Raja meninggal dan kemudian Ratu meninggal karena sedih” ini adalah sebuah alur (plot). Atau: “Ratu meninggal” tidak ada satu orang pun  mengetahui mengapa, sampai ditemukan bahwa kematian adalah akibat kesedihan karena meninggalnya Raja, ini juga merupakan sebuah alur (plot). Yang mengandung misteri, yaitu suatu bentuk yang mungkin dikembangkan lebih jauh.
Semi (1988) menjelaskan bahwa alur (plot) merupakan pengaduan unsur yang membangun cerita sehingga lebih tepat disebut sebagai kerangka utama  cerita. Dalam kaitannya dengan struktur dan alur (plot) karya naratif, Pradotokusumo (dalam Rapi Tang 2001) mengemukakan bahwa motif menurut pandangan Kaum Formalis termasuk salah satu unsur penting dalam analisis teks yang tergolong jenis epik. Motif adalah suaru kesatuan struktural yang paling kecil berfungsi sebagai penghubung unsur yang mendukung struktur cerita.
4)   Latar (setting)
Pada dasarnya, setiap karya sastra yang membentuk cerita selalu memiliki latar (setting). Latar adalah situasi tempat, ruang, dan waktu terjadinya cerita. Tercakup pula didalamnya lingkungan geografis, pekerjaan, benda-benda, dan alat-alat yang berkaitan dengan tempat terjadinya cerita, waktu, suasana, dan periode sejarah. Adanya penggunaan latar dalam sebuah cerita, membuat pembaca atau penikmat sastra seolah-olah dalam kehidupan sebenarnya. Menurut Abrams (1981) bahwa penggunaan latar sangat mendukung terciptanya karya sastra dan menarik perhatian para pembaca atau penikmat sastra. Latar atau setting disebut juga landas tumpu,menyarang pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa  yang diceritakan.
Menurut Sudjiman (1991) bahwa latar pada dasarnya mempunyai beberapa peranan, yaitu: (1) dapat memberikan informasi (tempat dan waktu), (2) sebagai proyeksi keadaan para toko, dan (3) menjadi metafor dari keadaan emosional dan spritual tokoh. Sejalan dengan uraian tersebut, Sumardjo (1994), memperjelas bahwa sebuah cerita seharusnya terjadi pada suatu tempat dan pada waktu tertentu, meskipun latar itu sendiri bukan hanya, sekedar beackground. Dalam pengertian yang luas itu, latar mencakup tempat, waktu, suasana, dan keadaan dalam suatu masyarakat terterntu.
Pentingnya latar dalam sebuah cerita, dikemukakan oleh Luxemburg dkk. (1986) bahwa pengarang melahirkan karyanya sesuai dengan kehadirannya sebagai warga masyarakat. Ia mencoba mengangkat hal-hal yang terdapat atau seringa terjadi ditengah-tengah masyarakat. Keadaan yang dilukiskan pengarang pada suatu kurung waktu tertentu dan adat-istiadat zaman tersebut.
Berkaitan dengan latar (setting) Rapi Tang (2001) menjelaskan bahwa kalau melihat dari aspek eksistensinya, maka latar dalam cerita dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu latar sosial dan latar fisik atau material. Latar sosial dapat memberi gambaran berbagai kehidupan sosial budaya suatu kolektif. Mungkin di dalamnya seorang pembaca dapat menemukan gambaran kondisi sosial suatu kelompok masyarakat; terutama menyangkut sikap dan perilakunya, adat-istiadat  atau tradisi yang mereka bina bersama yang kessemuanya itu turut melatari peristiwa dalam cerita. Selanjutnya, yang dimaksudkan latar fisik atau material adalah berbagai macam tempat atau ruang yang secara nyata dapat dibuktikan dalam wujud fisik. Dari latar fisik ini, pembaca akan mendapat gambaran mengenai suatu tempat, daerah, atau ruang dalam  suatu geduang dan sebagainya.
5)   Sudut pandang (point of vieuwi)
Sudut pandang adalah tempat penceritaan dalam hubungan dengan cerita, dari sudut mana pencerita menyampaikan kisahnya. Sudut pandang dilihat dari aspek posisi pengarang dan pusat pengisahan pada posisi penceritaan. Sudut pandang ada tiga macam, yaitu:
  1. Pengarang terlibat, pengarang ikut ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utam atau yang lain, mengisahkan tentang dirinya. Dalam cerita ini, pengarang menggunakan kata ganti orang pertama (aku atau saya);
  2. Pengarang sebagai pengamat, posisi pengarang sebagai pengamat yang mengisahkan pengamatan sebagai tokoh samping. Pengarang berada di luar cerita, dan menggunakan kat ganti orang ketiga (ia atau dia) di dalam ceritanya;
  3. Pengarang serba tahu, pengarang berada di luar cerita (impersonal), tetapi serba tahu apa yang dirasa dan diperkirakan oleh tokoh cerita. Dalam kisahan, pengarang memakai nama-nama orang dan dia (orang ketiga)
4. Alquran
Alquran adalah Kalam (perkataan) Allah swt. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jiberil dengan lafal dan maknanya (QS.26:192-195). Alquran sebagai kitab Allah menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran islam dan berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Alquran mempunyai 114 surah (urutan-urutannya sebagaimana ditetapkan oleh Rasulullah saw.) yang tidak sama panjang dan pendeknya, surat yang terpendek terdiri atas tiga ayat dan yang terpanjang terdiri atas  286 ayat. Semua surah, kecuali surah kesembilan (At-taubah) dimulai dengan kalimat bismi Alla ar-Rahman ar-Rahim. Setiap surah mempunyai nama yang diambil dari kata yang terdapat dipermulaan surah (seperti Yasin dan Taha) atau diambil dari kata yang menjadi tema pembicaraan dari surah yang bersangkutan (seperti Ali Imran Al-Baqarah, dan An-Nisa).
Alquran sebagai mukjizat merupakan tantangan bagi orang Arab setelah mereka memberikan persepsi yang keliru terhadap Alquran, untuk membuktikan siapa yang benar di antara mereka. Para ulama sepakat bahwa Alquran itu merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw. yang paling besar. Mukjizat Alquran dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan dari segi kandungan isi.
Dari segi bahasa, ulama sepakat bahwa Alquran memiliki uslub (gaya bahasa) yang tinggi, fasahah (ungkapan kata yang jelas), dan balaghah (kefasihan lidah) yang dapat mempengaruhi jiwa pembacanya dan pendengarnya yang mempunyai rasa bahasa Arab yang tinggi. Abu Bakar Muhammad Al-Baqillani menyebutkan bahwa sesungguhnya Alquran sangat indah susunan kata-katanya dan sangat unik serta istimewa susunannya. Syekh Muhammad Rasyid Rida berpendapat bahwa slah satu bukti ketinggian uslub Alquran ialah bahwa seluruh maksud Alquran itu bercampur baur dan terpencar dlam banyak surah baik yang pendek maupun yang panjang, dengan munasabah (hubungan atau kaitan) yang bebeda-beda sehingga menjadi ibarah (ungkapan) yang sempurna dan menyenangkan hati. Mukjizat Alquran dari segi bahasa ini hanya dapat dihayati oleh mereka yang mengetahui dan mendalami bahasa Arab.
Dari segi kandungan isi, mukjizat Alquran dapat dilihat dari tiga aspek.                 (1) merupakan isyarat ilmiah, (2) merupakan sumber hukum, dan (3) menerangkan suatu ibrah (teladan) dan kabar gaib, baik yang terjadi pada masa lalu, sekarang maupun yang akan datang. Alquran banyak mengandung berita-berita tentang  hal-hal yang gaib seperti surga, neraka, hari kiamat dan hari perhitungan. Selain itu, Alquran juga banyak mengungkapkan kisah-kisah para Nabi dan ummat lampau. Alquran banyak pula menyinggung masalah-masalah yang belum terjadi di masanya seperti kemenangan bangsa Romawi (QS.30:1-3).
Dari keseluruhan isi Alquran terlihat bahwa Alquran memberikan porsi yang besar pada hal-hal yang bekenan dengan sejarah yang meliputi kisah-kisah para Rasul dan Nabi serta umat dimasa  lampau. Adapun ayat yang mengandung ketentuan hukum sedikit sekali. Menurut beberapa ulama, di antaranya Abdul Wahhab Khallaf(Guru Besar Hukum Islam Universitas Cairo), Ayat-ayat yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum mengenai iman, ibadah, dan hidup bermasyarakat ada sekitar 500 ayat atau kurang lebih delapan persen dari isi Alquran (Ensiklopedi Islam,2001).
5. Alquran dan sastra
            Pada waktu agama Islam turun, “Bahasa Arab Quraisy berada dalam masa jayannya. Disana sini muncul penyair ulung dan ahli pidato” (Hanafi, 1984:)
Jalaluddin Jawisy, dkk. (dalam Sugiono, 1993) mengatakan agama Islam dalam rangka menyampaikan ajarannya melalui kitab suci Alquran tidak sedikit menggunakan amsal (perumpamaan-perumpamaan), karena merupakan salah satu cara yang baik untuk menyatakan pikiran dalam kesusastraan.
Senada dengan itu, Sayyid Qutub (dalam Amin, 1975) menjelaskan bahwa keindahan adalah  ciri sastra yang paling jelas sedangkan keindahan berada dalam imajinasi yang halus, ilustrasi yang lembut, hubungan yang timbul antara dua hal dikarenakan adanya unsur persamaan, pengabstrakan yang konkret dan pengkonkretan yang abstrak.
Bahasa dan gaya Alquran juga telah memberikan pengaruh yang paling kuat pada pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan Arab. Kaum muslimin mula-mula mengembangkan doktrin yang tak tertandinginya Alquran, bahkan bagi orang Arab nonmuslim, Alquran tetap merupakan produk kesasteraan yang ideal hingga masa kini. Alquran dengan keras menolak dengan anggapan yang dilontarkan oleh lawan-lawan Muhammad kepada beliau, bahwa beliau adalah seorang penyair (poet) dan tak memberikan Alquran disebut puisi. Namun, dalam kedalam rasanya, dalam ekspresinya yang mengena dan iramanya yang efektif, Alquran tidaklah kurang derajatnya dari puisi paling tinggi sekalipun. Sesungguhnya kaum muslimin telah mengembangkan suatu seni khusus tentang pembacaan Alquran (tajwid), dan bila Alquran dibaca dengan cara demikian, maka pengaruhnya bahkan akan bisa dirasakan oleh mereka yang tidak mengenal bahasa Arab sekalipun. Tentu saja, kita tidak akan mempertahankan keindahan artistik dan keagungan Alquran melalui terjemahannya.
Syauqi Daif (dalam Sugiono, 1993) mengatakan suatu yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa Alquran telah menampilkan dirinya dengan ungkapan-ungkapan bijak melalui yang mudah dimengerti dan enak didengar serta lembut diucapkan, sehingga kedinamisan bahasa Alquran telah mampu menguak dan cita rasa negeri di sekitar Arab, bahasa yang menjadi ciri bangsa Arab dan umat Islam pada umumnya. Gaya bahasa yang sekali tampil dapat merasuk sukma dan menjadi tonggak sastra Arab selanjutnya, bahasa yang terus dilestarikan oleh para penulis, sastrawan dan pujangga Arab.
Selanjutnya Sayyid Qutub (dalam Sugiyono, 1993) berpendapat bahwa keserasian Qurani telah memadukan prosa dan puisi sekaligus. Ungkapannya telah lepas dari ikatan qafiyah dan taf’ilatnya, oleh karenanya menjadi lebih fleksibel untuk berbagai tujuan yang sifatnya lebih umum. Di satu saat dia menyerupai puisi yang berirama (nazam), ada fawasil yang mirip wazn, menjadikan Alquran mampu mencakup semua karakateristik yang dimiliki yang dimiliki oleh prosa maupun puisi. Taha Husain sendiri mengungkapkan pandangannya bahwa Alquran itu bukanlah puisi dan bukan pula prosa, melainkan dia itu Alquran. Kita tidak perlu merekayasa dengan ungkapan-ungkapan Alquran, sebab di satu sisi dia adalah sosok prosa manakala kita asumsikan demikian dengan kedudukannya dalam peristilahan Arab sebagaimana mestinya dia berlaku. Namun, di merupakan jenis prosa yang dicipta demikian indah, apik dan tiada duanya.
Alquran sendiri penuh dengan mukjizat seni dalam rupa ayat-ayat yang begitu indah tersusun, ungkapan-ungkapan kalimat dan susunan kata maupun hurup yang menyatu dalam bentuk dan irama yang indah. Di dalamnya ada gambaran-gambaran yang melukiskan keindahan alam dan kehidupan. Sorga yang penuh kenikmatan diakspresikan dengan ungkapan-ungkapan yang demikian menyejukkan hati, neraka yang penuh siksaan dan penderitaan dengan ungkapan-ungkapan dengan cukup menggetarkan hati. Ayat-ayat melukiskan alam dangan segala keserasian dan keindahannya, begitu menakjubkan, yang semuanya mengajak manusia untuk meresapi dan memperhatikan kebesaran dan keaguman ciptaan-Nya.
Sugiyono (1993) menjelaskan bahwa Alquran bukan sebuah karya sastra atau sekedar puisi, ilusi, khayal,dan fantasi yang tampa pijakan sehingga setiap saat dapat berubah. Metode Alquran bersifat tetap dan mapan (fixed) serta adanya interaksi dengan Sang Pencipta yang tidak berubah, serta terdapatnya dorongan agar manusia dekat dengan-Nya. Sementara puisi lebih merupakan ungkapan-ungkapan kerinduan manusia terhadap keindahan dan kesempurnaan, berbaur dengan keterbatasan manusia di dalamnya. Alquran dan puisi merupakan dua kutub yang tabiatnya berbeda, satu pihak berakar pada nubuwwat yang turun dari langit, sedangkan pihak yang lain berakar pada kerinduan (syauq) dan kegemaran (hawayah) yang muncul dari muka bumi.
a. Sastra dalam sudut pandang Islam
Tabiat Islam dalam konteks sastra ini merupakan suatu ekspresi dari suatu sistem kehidupan yang menyeluruh, diawali dari gerak jiwa yang kemudian diungkapkan dalam kehidupan nyata. Islam menghendaki agar manusia mampu dan sanggup menghadapi kenyataan dan bukan untuk mengingkarinya, kemudian lari menuju alam khayal. Seandainya kenyataan tersebut tidak atau belum sesuai dengan sistem dan metode yang digunakan, maka Islam berusaha mengubah metode tersebut ke arah yang lebih baik.
Selanjutnya Sayyid Qutub (dalam Sugiyono, 1990) mempertegas bahwa Islam tidak menolak ilmu sastra dan seni pada umumnya sebagaimana dipahami dari Alquran secara tekstual, tetapi menolak metode yang digunakan, yaitu metode yang mengedepankan perasaan dan emosi yang tidak punya pijikan , metode yang hanya mengandalkan impian, khayalan dan fantasi seseorang.
Pada sisi lain, Islam hendak mencuatkan semangat Islam (ruh Islamiy), dan melalui komitmen inilah kemudian diciptakan karya sastra atau seni selaras dengan kehidupan nyata. Alquran telah seringkali mengajak hati, akal, dan perasaan manusia untuk melihat dan menghayati keindahan ciptaan-Nya dengan ungkapan-ungkapan yang menyentuh, karena ungkapan-ungkapan tersebut dapat dijadikan sumber inspirasi bagi penciptaan sastra dan seni. Alquran cukup bijak di dalam menyikapi pujangga-pujangga yang beriman dan beramal salih, oleh sebab mereka dikecualikan dari penyair-penyair yang dicerca pada ayat 224-226 dari surat Asy-Syu’ara.
Sayyid Qutub (dalam Sugiyono, 1993) menjelaskan bahwa Islam itu cukup kaya untuk dijadikan sumber inspiratif bagi penggambaran dan pengungkapan seni dalam kehidupan manusia, dalam berbagai bentuk dan corak yang selaras dengan pandangan Islam. Dengan demikian, semakin jelaslah sikap dan pandangan Islam tentang karya-karya sastra bangsa Arab baik dalam bentuk pepatah (hikmah) peribahasa (masal, proverb), pidato (khatabah), surat (risalah, epistle), riwayat, surat wasiat, kisah yang kesemuanya sangat dikenal dalam Islam di samping puisi itu sendiri.
b. Pengertian sastra Islam.
Dalam Islam terdapat penggambaran mengenai kehidupan ini, sehingga melahirkan nilai-nilai dan ide-ide yang terekspresikan dalam ungkapan yang tentunya berbeda esensinya dari ungkapan yang berakar dari nilai-nilai di luar Islam. Alquran telah menjadikan metode penggambaran (picturesque, taswir) sebagai sarana pilihan dalam mengungkapkan kondisi jiwa, perasaan, ide, dan tabiat manusia dalam bentuknya yang hidup, dinamis serta realistis.
Ketika Alquran mengandalkan metode “taswir” dalam gaya Qur’aninya, menjadi bukan sekedar menciptakan hiasan kata atau untaian kalimat yang indah, apik, dan menarik. Namun, lebih dari itu, cara penggambaran ini sudah menjadi aliran tetap, rancangan terpadu sudah merupakan metode baku yang dipakai dengan gaya bahasa ungkapan qur’ani berdasarkan kaidah taswir. Dalam Alquran, cakrawala taswir tersebut menjadi luas meliputi penggambaran warna, bentuk, gerak, irama, dalam konteks yang komunikatif dengan indera, ide, khayalan, dan perasaan.
Muhammad Qutub dalam salah satu bab dari bukunya Manhaj al-Fann al-Islami mengemukakan mengenai seni dan sastra Islam itu, ungkapan yang indah tentang alam, kehidupan, dan manusia di tengah-tengah penggambaran Islam tentang wujud ini.
c. Karakateristik sastra Islam
Alquran dan semangat Islam telah menjadi aset tersendiri bagi perkembangan, peradaban dan kebudayaan Islam dewasa ini, termasuk aneka ragam bentuk karya seni di antaranya karya sastra. Dalam sastra Islam, nilai-nilai keislaman semakin lekat dalam kedinamisan bentuk dan wajahnya. Ada beberapa karakateristik yang menandai sastra Islam antara lain:
1)   Komitmen terhadap landasan theisme-moralis
Berbeda dari aliran-aliran sastra yang lain semacam realism-socialism (al-waqi’iyah-alsytirakiyah), naturalism (an-naz’ah at-tabi’iyah), structralism (tarkibiyah) ataupun aliran exestentialism (wujudiyah), maka nilai moral dan akidah menjadi sendi utama dalam masyarakat Islam. Sastra yang ingin mengubah tatanan masyarakat bobrok ke arah yang berpegang teguh kepada sendi akidah dan moral.
2)   Teologis dan tujuan yang jelas
Di balik sebuah karya sastra, Islam memiliki tujuan dan misi yang jelas, oleh karena seorang sastrawan muslim hendaknya memelihara dirinya dari kata-kata dan ungkapan yang tidak memiliki dasar pijakan yang jelas. Dalam kapasitasnya sebagai sastrawan, seorang muslim dengan potensi yang dimiliki, mempunyai tanggung jawab yang besar bagi tujuan-tujuan kemanusiaan, tanggung jawab mana telah diamanatkan Tuhan:
“Maka apakah kalian mengira bahwa kalian Kami ciptakan dengan main-main………..” (Al-Mu’minun;115.
“Tiada satu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Surah Al-Qaf;18).
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna” (Al-Mu’minun;3).
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa sastra Islam tidak sekedar mengikuti aliran ‘seni untuk seni’ (al-fann lil fann), karena keindahan menjadi esensi sebuah karya seni, sekaligus menjadi tujuan karena adanya kenikmatan yang diperoleh.
3)   Daya cakup (universalitas) dan keterpaduan integratif
Islam memandang sosok manusia secara totalitas dari berbagai sisi, jasmaniah rohaniah secara seimbang dalam keserasian. Studi sastra sejauh ini tidak lebih dari memahami konvensi-konvensi struktural abstrak yang dalam konteks keilmuan terwujud dalam bentuk lingual saja. Dalam dunia seni, Islam tidak hanya mengikuti alur estetika yang berakar pada falsafah humanisme universal dari Barat yang telah mencekam pengaruhnya yang hebat dan menyeluruh. Kesusastraan Islam hendak menghadirkan estetika yang merambah segi-segi kemanusiaan yang saling berkaitan dan saling melengkapi, dan sebagaimana intuisi-intuisi lainnya, selalu berkaitan erat dengan dinamika masyarakat yang menghasilkannya. Di dalamnya mencakup ilmu jiwa, agama, sosial, ekonomi, dan politik, sebagaimana masing-masing kandungan tersebut mengandung yang lain. Manusia totalitas inilah yang dalam Islam menjadikannya sebagai makhluk penunjuk, baik dari segi kualitas, bentuk dan tanggung jawabnya dalam mengemban amanah Tuhan sebagai khalifah di bumi.
4    Realitas (waqi’iyah)
Dalam sastra Islam ada usaha untuk mencari kaitan antara sastra dengan kehidupan empirik dan yang benar-benar realistis. Maksud dari pada realistis bukan sebagaimana aliran realism pada sastra Barat yang masih terbatas pada realisasi segi-segi materi kehidupan dan kurang memperhatikan segi-segi inti yang maknawi. Islam memandang realita melalui kacamata yang lebih luas, yaitu kebenaran realitas humanisme yang mencakup segala peristiwa dalam kehidupan manusia, perkembangan sosial ekonomi, politik, intelektual dan moral. Sastra Islam memberlakukan objek (manusia) secara adil dan seimbang, baik kehidupan jasmani dan rohaninya, personal dan sosialnya menurut prinsip-prinsip kebenaran sesuai dengan jiwa dan pandangan Islam.
5    Dinamis
Dalam pandangan Islam, manusia itu bersifat lemah namun pada dirinya ada potensi untuk tumbuh dan berkembang dalam rangka meningkatkan kualitas diri. Potensi inilah yang mendorong manusia mampu mengubah keadaan diri secara dinamis melawan kelemahan yang ada agar tidak terjerumus dalam jurang kerusakan jasmani maupun rohani dan pasrah kepada arus nasib.
Ada epistimologis baru dalam memandang dan mengapresiasi kesusastreraan. Kesusasteraan merupakan deskripsi pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan dalam dimensi personal maupun sosial, yang memiliki relasi dengan totalitas partisipannya dalam dimensi kultural dan kesejarahannya. Dengan demikian, sastra sebagai suatu gejala non scientific memiliki fungsi designation (penunjukan) suatu periode atau suatu model sosial tertentu.
Dijelaskan oleh Sugiyono (1993) bahwa kesusastreraan Islam dalam hal ini bukan sekedar mengekspersikan kenyataan yang ada pada suatu waktu atau generasi tertentu, atau sekedar berfungsi sebagi panunjukan suatu periode atau model sosial tertentu, melainkan berupaya mengubah satu keadaan menjadi lebih baik. Demikian itu, karena Islam datang untuk meningkatkan kehidupan manusia dan bukan sekedar menguak motivasi, kecenderungan ataupun ikatan-ikatan yang ada.
6. Landasan teoretis
Penelitian ini menggunakan landasan teoretis, yaitu teori struktural A.J Greimas dan teori semiotika. Teori struktural digunakan untuk menganalisis unsur kesastraan, sedangkan teori semiotika digunakan untuk menderkripsikan dan memaknai tanda.
a. Teori struktural A.J. Greimes
Greimas (dalam Teeuw, 1984) adalah salah seorang peneliti Prancis penganut teori struktural. Seperti halnya Propp, Levi-strauss, Bremond, dan Todorov, Greimas juga mengembangkan teorinya berdasarkan analogi-analogi struktural dalam linguistik yang berasal dari Saussure (Hawkes dalam Suwondo, 2003).
Suwondo (2003) menyatakan bahwa sesungguhnya yang pada awalnya mengembangkan teori struktural berdasarkan penelitian atas dongeng adalah Vladimir Propp seperti tampak dalam bukunya Morphology of the Folk Tale (1985,1968, 1975, edisi aslinya 1928 dalam bahasa Rusia) yang kemudian diterjemahkan oleh Noriah Taslim menjadi morfologi cerita rakyat (1987). Dalam buku itu Propp menelaah struktur cerita dengan mengandaikan bahwa struktur cerita analog dengan struktur sintakis yang memiliki konstruksi dasar subjek dan predikat.
Dijelaskan oleh Selden (dalam Suwondo, 2003) bahwa subjek dan predikat dalam sebuah kalimat ternyata dapat menjadi inti sebuah episode atau bahkan keseluruhan cerita. Atas dasar itulah Propp (1987:28-76) menerapkannya  dalam seratus dongeng Rusia, dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa seluruh korpus cerita dibangun atas perangkat dasar yang sama, yaitu 31 fungsi. Setiap fungsi adalah satuan dasar “bahasa” naratif dan  menerangkan kepada tindakan yang bermakna yang membentuk naratif. Tindakan ini mengikuti sebuah perturutan yang masuk akal, dan dalam setiap dongeng fungsi-fungsi itu selalu dalam perturutan yang tetap (Selden, 1991). Selain itu, Propp juga menjelaskan bahwa fungsi-fungsi itu dapat disederhanakan dan dikelompok-kelompokkan dalam tujuh “lingkaran tindakan” (spheres of action) karena pada kenyataannya banyak fungsi yang dapat bergabung secara logis dalam tindakan tertentu. Tujuh “lingkaran tindakan” itu masing-masing: (1) villain ‘penjahat’, (2) donor, provider’ pemberi bekal (3) helper ‘penolong’, (4) saught-for person and her father’ putri atau orang yang dicari dan ayahnya’, (5) dispatcher’  yang memberangkatkan’, (6) hero ‘pahlawan’, dan (7)  false hero ‘pahlawan palsu’.
Sebagai ganti atas tujuh spheres of action  yang diajukan oleh Proop, Greimas menawarkan three spheres of opposed yang meliputi enam actants (peran, pelaku), yaitu: (1) subject vs objects ‘ Subjek-objek’, (2) sender vs receiver (destinateur vs destinataire’) pengirim-penerima, dan (3) helper vs opponent (adjuvant vs opposant’ pembantu-penentang.
Jika disusun ke dalam sebuah bagan, tiga oposisi yang terdiri atas enam aktan itu tampak pada Gambar 1.
SENDER                                                      OBJECT                                   RECEIVER
SUBJECT
HELPER                                                                                                         OPPONENT
Gambar 1. Bagan aktan
            Sender’ pengirim’ adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan berfungsi sebagai penggerak cerita. Dialah yang menimbulkan keinginan bagi subjek atau pahlawan untuk mencapai objek. Object’objek’ adalah seseorang atau sesuatu yang diingini, dicari, dan diburu oleh pahlawan atas ide pengirim. Subject’subjek atau pahlawan adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi oleh pengiriman untuk mendapatkan  objek. Helper’penolong’ adalah seseorang atau sesuatu yang membantu atau mempermudah usaha pahlawan dalam mencapai objek. Opponent’penentang’ adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha pahlawan dalam mencari objek. Receiver’penerima’adalah seseorang atau sesuatu yang menerima objek hasil buruan subjek (Zaimar dalam Suwondo,2003).
Berkaitan dengan hal itu, di antara sender dengan receiver terdapat sebuah komunikasi, diantara sender dan object ada tujuan, di antara sender dan subject ada perjanjian, di antara subject dan object ada usaha, dan di antara helper atau opponent dan subjek terdapat bantuan atau tentangan. Aktan-aktan itu dalam struktur tertentu dapat menduduki fungsi ganda bergantung siapa yang menduduki fungsi subject.
            Selain menunjukkan bagan aktan, Greimas juga mengemukakan model cerita yang tetap sebagai alur (Zaimar dalam Suwondo,2003). Model itu dibangun oleh berbagi tindakan yang disebut fungsi. Model yang kemudian disebut model fungsional itu, menurutnya, memiliki cara kerja yang tetap karena memang sebuah cerita selalu bergerak dari situasi awal kesituasi akhir. Adapun opersi fungsionalnya dibagi menjadi tiga tahap seperti tampak dalam bagan berikut:


II

III
Situasi

Transformasi

Situasi
Awal
Tahap
Kecakapan
Tahap
Utama
Tahap
Kegemilangan
Akhir
Gambar 2. Model fungsional A.J. Greimas
            Situasi awal: cerita diawali dengan munculnya pernyataan adanya keinginan mendapatkan sesuatu. Di sini ada panggilan, perintah, atau persetujuan.
Transformasi: (1) tahap kecakapan, yaitu adanya keberangkatan subjek atau pahlawan, munculnya penentang dan penolong, dan jika pahlawan tidak mampu mengatasi tantangannya akan didiskualifikasi sebagai pahlawan, (2) tahap utama, yaitu adanya pergeseran ruang dan waktu, dalam arti pahlawan  telah berhasil mengatasi tantangan dan melakukan  perjalanan kembali, dan (3) tahap kegemilangan, yaitu kedatangan pahlawan, eksisnya pahlawan asli, terbongkarnya tabir pahlawan palsu, hukuman bagi pahlawan palsu, dan jasa bagi pahlawan asli.
Situasi akhir:  objek telah diperoleh dan diterima oleh penerima, keseimbangan telah terjadi, berakhirnya keinginan terhadap sesuatu, dan berakhirlah sudah cerita itu.
1)   Pengertian
Karya sastra sebagai suatu konstruksi dari unsur tanda-tanda tidak dapat dipisahkan dari kajian semiotika. Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, seme, seperti dalam semeiotikas, yang berarti panafsir tanda. Sebagai suatu disiplin, semiotika berarti  ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Menurut Cobley dan Janisz (2002), bahwa semiotik (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang. Semion, bahasa Yunani (tanda), sistem-sistem lambang  dan proses-proses perlambangan.
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang berbeda pula. Orang tersebut adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) seorang ahli linguistik dan Charles Sander Pierce ( 1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotic). Kemudian nama itu sering dipergunakan breganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan semiologi untuk ilmu itu dan di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik.
Menurut Eco (dalam Fokkema & Kunne-Ibsch, 1998) bahwa penelitian semiotika terutama berurusan dengan tanda-tanda sebagai “ kekuatan sosial”. Pemahaman tanda-tanda dalam teks karya sastra sangat penting terutama dalam merekontruksi tanda tersebut menjadi makna. Sebagaimana pula dikemukakan Halliday (1978) bahwa suatu teks adalah suatu unit semantik dan menjadi unit dasar dari suatu proses semantik. Bagi Roland Barthes (dalam Kurniawan, 2001) bahwa suatu karya atau taks merupakan bentuk kontruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekontruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekontruksi, maka pertama-tama teks tersebut dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau satuan bacaan tertentu. Leksia itu dapat berupa satuan kata, beberapa kata, beberapa kalimat, sebuah paragrap, atau beberapa paragrap.
Lexemburg dkk. (1991) mengemukakan bahwa seperti halnya kata dan kalimat, teks juga mempunyai tanda makna tertentu. Hal inilah yang oleh holiday (1978) dinyatakan bahwa teks dapat di gambarkan sebagai perwujudan potensi suatu maksud dan makna. Menurut pierce ( dalam luxemburg dkk., 1986 ) ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang di tandai,dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si penerima. Oleh karena itu, teks dapat di lihat sebagai tanda ( bahasa ) atau sekumpulan tanda yang mencakup berbagai hubungan: antara tanda satu sama lain, antara tanda dan makna atau isi teks, dan antara tanda dan pemakai tanda.
2).  Teori tentang tanda
teori tentang analisis tanda dilakukan untuk mengkaji makna cerita melalui kajian simbol ( semiotik ) untuk menemukan ciri naratologi cerita secara intrinsik.
Ealeton (1983 ) menjelaskan teori pierce yang membedakan tiga jenis lambang, yaitu ‘iconc’ ( ikon ), yaitu lambang yang menyerupai benda yang di wakilinya ( misalnya, gambar foto/foto seseorang); kedua, ‘indexical’ (indeks), yaitu lambang yang melalui cara-cara tertentu dihubungkan atau dikaitkan dengan benda yang diwakilinya (misalnya asap dengan api, bintik dengan campak), ketiga’symbolic’ (simbol), yaitu mengacu pada suatu makna yang berupa konvensi yang dianut bersama.
Zoest (1990) menyatakan bahwa ikonisitas pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga macam, yaitu ikonisitas topologis yang dinilai berdasarkan tata ruang; ikonisitas diagramatis metaforis yang dinilai berdasarkan persamaan antara dua kenyataan yang didenotasikan secara sekaligus, baik langsung maupun secara tidak langsung. Teori ikonisitas yang dinyatakan oleh van Zoest ini juga didasarkan pada teori Pierce.
Teori mengenai ikon, indeks, dan simbol merupakan salah satu teori semiotik yang mencoba menganalisis berbagai tanda yang terdapat dalam karya sastra dalam kaitannya dengan faktor eksternal yang diduga memiliki relevansi dengan karya bersangkutan. Karya sastra dalam pandangan  semiotik tidak lain dari sebuah teks yang terwujud dari perpaduan berbagai tanda. Anggapan seperti ini juga dikemukakan oleh Zoest (1990) bahwa teks sastra pada umumnya merupakan tanda dengan semua cirinya: bagi pembaca teks sastra ini menantikan sesuatu yang lain yaitu dengan kenyataan yang dipanggil, yang fiksional.
Menurut Rapi Tang (2001) teks pertama-tama bukan merupakan bahasa, melainkan ia lebih sekadar suatu bangunan bahasa. Teks adalah suatu tanda yang dibangun dari tanda lain yang lebiih rendah, yang memiliki sifat kebahasaan, dan lain-lain. Tanda-tanda bahasa adalah yang paling banyak, paling mencolok, yang paling sering dipelajari. Sebaliknya mengabaikan tanda-tanda dan bahasa yang ikut membentuk teks tidaklah benar. Aturan bagaimana yang harus dibuat untuk menetapkan bahwa urutan pengakuan tentang “sesuatu” adalah juga tanda? Semua hal memiliki kemungkinan menjadi tanda. Pada suatu hari nanti seseorang pembaca karya sastra tertentu yang jeli akan menemukan tanda-tanda lain, yang tidak kurang bermaknanya ; dan dia akan memberikan interpretasi baru tentang “sesuatu itu”. Pandangan seperti itu akhirnya memberi suatu keyakinan bahwa dalam kajian semiotik, tidak ada interpretasi yang definitif.
Berkaitan dengan hal itu, Halliday (1978) menyatakan bahwa dalam menginterpretasi sesuatu, perlu mempertimbangkan struktur semantik yang dihubungkan dengan situasi tertentu atau konteks sosial. Ada tiga dimensi struktur semiotik, yaitu aktivitas sosial yang terus-menerus dan berkelanjutan, aturan atau kaidah keterlibatan dan simbol jaringan retorika menurut Halliday (1978), konteks sosial dalam bentuk interaksi sosial biasanya berbentuk linguistik yang disebut tulisan. Tulisan adalah produksi dari sejumlah pilihan yang simultan arti dan tentang arti dan direalisasikan sebagai struktur leksikogramatikal. Daftar kata merupakan konteks situasi dalam suatu konstruksi semiotik.

Tulisan di atas berbentuk Karya Tulis ilmiah, anda dapat mendownloadnya dengan mengklik nama di bawah ini, namun sebelum itu anda dapat like facebook kami sebelum mendownload. Filenya. makasih sebelumnya.