BAB I
PENDAHULUAN
Jamur yang bisa menyebabkan
penyakit pada manusia antara lain adalah dermatofita (dermatophyte,
bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan jamur serupa ragi
candida albican, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur superficial
pada kulit, rambut, kuku, dan selaput lendir. Jamur lainnya dapat
menembus jaringan hidup dan menyebabkan infeksi dibagian dalam. Jamur
yang berhasil masuk bisa tetap berada di tempat (misetoma) atau
menyebabkan penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis).1
Insidensi mikosis superfisial
sangat tinggi di Indonesia karena menyerang masyarakat luas, oleh karena
itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis profunda jarang
terdapat. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2: kelompok
dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus
dibedakan di sini dengan dermatomikosis. Dermatofitosis ialah penyakit
pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada
epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita.
Penyebabnya adalah dermatofita yang mana golongan jamur ini mempunyai
sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang
terbagi dalam genus, yaitu microsporum, trichophyton, dan
epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama di
antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik,
kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Hingga kini dikenal sekitar 40
spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies epidermophyton, 17 species
microsporum, dan 21 species trichophyton. Pada tahun-tahun terakhir
ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua
koloni yang berlainan “jenis kelaminnya”. Adanya bentuk sempurna ini
menyebabkan dermatofita dapat masuk kedalam family gymnoascaceae.
Dikenal genus Nannizzia dan arthroderma yang masing-masing dihubungkan
dengan genus microsporum dan tricophyton. 2
Penyakit infeksi jamur di kulit
mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh karena negara kita
beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah infeksi
jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai
kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai
penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru
dan kegagalan dalam penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan
secara klinis dan identifikasi laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan
secara topikal dan sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk
mengatasi dermatofitosis, baik dari golongan antifungal konvensional
atau antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan
daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen penyebab. Prevalensi di
Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian khusus dari
pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat
prevalensinya cukup tinggi.
Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain: 30% dan
pekerja penebang kayu di Palembang dan 11,8% dan pekerja perusahaan kayu
lapis menderita dermatitis kontak utama Wijaya (1972) menemukan 23,75%
dan pekerja pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis
akibat kerja, sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82%. Sumamur
(1986) memperkirakan bahwa 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja
adalah dermatofitosis akibat kerja. Dari data sekunder ini terlihat
bahwa dermatofitosis akibat kerja memang mempunyai prevalensi yang cukup
tinggi, walaupun jenis dermatofitosisnya tidak sama. Dan angka
insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah
Sakit Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari
persentase terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga persentase
tertinggi sebesar 82,6 % (Surakarta) dari seluruh kasus dermatomikosis.3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
DERMATOFITOSIS adalah setiap
infeksi fungal superfisial yang disebabkan oleh dermatofit dan mengenai
stratum korneum kulit, rambut dan kuku, termasuk onikomikosis dan
berbagai macam bentuk tinea. Disebut juga epidermomycosis dan
epidermophytosis. 4
Jamur dermatofit dinamai sesuai
dengan genusnya (mycrosporum, trichophyton, dan epidermophyton) dan
spesiesnya misalnya, microsporum canis, t. rubrum). Beberapanya hanya
menyerang manusia (antropofilik), dan yang lainya terutama menyerang
hewan (zoofilik), walau kadang bisa menyerang manusia. Apabila jamur
hewan menimbulkan lesi dikulit pada manusia, keberadaaan jamur tersebut
sering menyebabkan suatu reaksi inflamasi yang hebat (misalnya, cattle
ringworm).1
2.2 Etiologi
Berdasarkan sifat makro dan
mikro, dermatofita dibagi menjadi: microsporum, tricopyton, dan
epidermophyton. Yang paling terbanyak ditemukan di Indonesia adalah
T.rubrum. dermatofita lain adalah: E.floccosum, T.mentagrophytes, M.
canis, M. gypseum, T.cocentricum, T.schoeleini dan T. tonsurans.5
2.2.1 Microsporum
Kelompok
dermatofita yang bersifat keratofilik, hidup pada tubuh manusia
(antropofilik) atau pada hewan (zoofilik). Merupakan bentuk aseksual
dari jamur. Terdiri dari 17 spesies, dan yang terbanyak adalah: 6
SPECIES
|
CLASSIFICATION (NATURAL RESERVOIR)
|
Microsporum audouinii
|
Anthropophilic
|
Microsporum canis
|
Zoophilic (Cats and dogs)
|
Microsporum cooeki
|
Geophilic (also isolated from furs of cats, dogs, and rodents)
|
Microsporum ferrugineum
|
Anthropophilic
|
Microsporum gallinae
|
Zoophilic (fowl)
|
Microsporum gypseum
|
Geophilic (also isolated from fur of rodents)
|
Microsporum nanum
|
Geophilic and zoophilic (swine)
|
Microsporum persicolor
|
Zoophilic (vole and field mouse)
|
Tabel 2.1 Spesies Microsporum.
Koloni mikrosporum adalah glabrous,
serbuk halus, seperti wool atau powder. Pertumbuhan pada agar Sabouraud
dextrose pada 25°C mungkin melambat atau sedikit cepat dan diameter dari
koloni bervariasi 1- 9 cm setelah 7 hari pengeraman. Warna dari koloni
bervariasi tergantung pada jenis itu. Mungkin saja putih seperti wol
halus yang masih putih atau menguning sampai cinamon.6
2.2.2 Epidermophyton
Jenis Epidermophyton terdiri dari dua
jenis; Epidermophyton floccosum dan Epidermophyton stockdaleae. E.
stockdaleae dikenal sebagai non-patogenik, sedangkan E. floccosum
satu-satunya jenis yang menyebabkan infeksi pada manusia. E. floccosum
adalah satu penyebab tersering dermatofitosis pada individu tidak
sehat. Menginfeksi kulit (tinea corporis, tinea cruris, tinea pedis) dan
kuku (onychomycosis). Infeksi terbatas kepada lapisan korneum kulit
luar.koloni E. floccosum tumbuh cepat dan matur dalam 10 hari.
Diikuti inkubasi pada suhu 25 ° C pada agar potato-dextrose, koloni
kuning kecoklat-coklatan
2.2.3 Tricophyton
Trichophyton adalah suatu dermatofita
yang hidup di tanah, binatang atau manusia. Berdasarkan tempat tinggal
terdiri atas anthropophilic, zoophilic, dan geophilic. Trichophyton
concentricum adalah endemic pulau Pacifik, Bagian tenggara Asia, dan
Amerika Pusat. Trichophyton adalah satu penyebab infeksi pada rambut,
kulit, dan kuku pada manusia.8
NATURAL HABITATS OF TRICHOPHYTON SPECIES
| |
Species
|
Natural Reservoir
|
Ajelloi
|
Geophilic
|
Concentricum
|
Anthropophilic
|
Equinum
|
zoophilic (horse)
|
Erinacei
|
zoophilic (hedgehog)
|
Flavescens
|
geophilic (feathers)
|
Gloriae
|
Geophilic
|
Interdigitale
|
Anthropophilic
|
Megnini
|
Anthropophilic
|
Mentagrophytes
|
zoophilic (rodents, rabbit) / anthropophilic
|
Phaseoliforme
|
Geophilic
|
Rubrum
|
Anthropophilic
|
Schoenleinii
|
Anthropophilic
|
Simii
|
zoophilic (monkey, fowl)
|
Soudanense
|
Anthropophilic
|
Terrestre
|
Geophilic
|
Tonsurans
|
Anthropophilic
|
Vanbreuseghemii
|
Geophilic
|
Verrucosum
|
zoophilic (cattle, horse)
|
Violaceum
|
Anthropophilic
|
Yaoundei
|
anthropophilic
|
Tabel 2.2 Spesies Trichophyton.
2.3 Insidensi
Indonesia termasuk wilayah yang baik
untuk pertumbuhan jamur, sehingga dapat ditemukan hampir di semua
tempat. Menurut Adiguna MS, insidensi penyakit jamur yang terjadi di
berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara
2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum.
Dermatomikosis atau mikosis
superfisialis cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Di Indonesia
angka yang tepat, berapa sesungguhnya insiden dermatomikosis belum ada.
Di Denpasar, golongan penyakit ini menempati urutan kedua setelah
dermatitis. Angka insiden tersebut diperkirakan kurang lebih sama dengan
di kota-kota besar Indonesia lainnya. Di daerah pedalaman angka ini
mungkin akan meningkat dengan variasi penyakit yang berbeda.
Sebuah penelitian retrospektif
yang dilakukan pada penderita dermatomikosis yang dirawat di IRNA
Penyakit Kulit Dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya dalam kurun waktu
antara 2 Januari 1998 sampai dengan 31 Desember 2002. Dari pengamatan
selama 5 tahun didapatkan 19 penderita dermatomikosis. Kasus terbanyak
terjadi pada usia antara 15-24 tahun (26,3%), penderita wanita hampir
sebanding dengan laki-laki(10:9). Dermatomikosis terbanyak ialah Tinea
Kapitis, Aktinomisetoma, Tinea Kruris et Korporis, Kandidiasis Oral, dan
Kandidiasis Vulvovaginalis.
Jenis organisme penyebab
dermatomikosis yang berhasil dibiakkan pada beberapa rumah sakit
tersebut yakni: T.rubrum, T.mentagrophytes, M.canis, M.gypseum,
M.tonsurans, E.floccosum, Candida albicans, C.parapsilosis,
C.guilliermondii, Penicillium, dan Scopulariopsis. Menurut Rippon tahun
1974 ada 37 spesies dermatofita yang menyebabkan penyakit di dunia.9
Di luar seperti India,
berdasarkan penelitian di India yang mengambil sampel sebanyak 121 kasus
(98 pria & 23 perempuan), dermatomikosis menempati urutan pertama
untuk kasus penyakit kulit, 103 kasus (70,5%), diikuti candidiasis 30
kasus (20,5%) dan pitiriasis versikolor. Di Amerika endemik
dermatomikosis di daerah Utara dan barat Venezuela, brasil, dan beberapa
kasus di laporkan di Columbia dan argentina. Di Eropa infeksi tinea
adalah hal yang umum. Perkiraan insidensi penyakit ini sekitar 10-20%.
Di Eropa dermatomikosis merupakan penyakit kulit yang menempati urutan
kedua. Penyakit ini disebabkan oleh tinea pedis, tinea corporis, tinea
cruris, dan tinea rubrum. Tinea rubrum ditemukan pada 76,2% kasus
dermatomikosis melalui pemeriksaan sampel di Eropa.
Onset usia terjadi pada anak
kecil yang baru belajar berjalan (toddlers) dan anak usia sekolah.
Paling sering menyerang anak berusia 6-10 tahun dan juga pada usia
dewasa.9
Frekuensi infeksi pada spesies tertentu antara lain:
• Sekitar 58% dermatofita yang terisolasi adalah trichophyton rubrum
• 27% Trichophyton mentagrophytes
• 7% Trichophyton verrucosum
• 3% Trichophyton tonsurans
•
Kecil dari 1 % yang terisolasi: Epidermophyton floccosum, Microsporum
audouinii, Microsporum canis, Microsporum equinum, Microsporum nanum,
Microsporum versicolor, Trichophyton equinum, Trichophyton kanei,
Trichophyton raubitschekii, and Trichophyton violaceum.10
Klasifikasi yang paling sering dipakai oleh para spesialis kulit adalah berdasarkan lokasi:
a. Tinea kapitis, tinea pada kulit dan rambut kepala
b. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jengggot.
c. Tinea kruris, dermatofita pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
d. Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
e. Tinea unguium, tinea pada kuku kaki dan tangan.
f. Tinea facialis, tinea yang meliputi bagian wajah
g. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk 5 bentuk tinea diatas.
Selain 6 bentuk tinea di atas masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu:
a. Tinea imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang kosentris dan disebabkan oleh tricophyton concentricum.
b.
Tinea favosa atau favus: dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh
tricophyton schoenleini: secara klinis antara lain berbentuk skutula dan
berbau seperti tikus (mousy odor).
c. Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif dari morfologinya.
d. Tinea incognito: dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati dengan steroid topical kuat. 2
2.5 Gejala Klinis
2.5.1 Tinea Pedis
Infeksinya anthropophilic
dermatophytes biasanya disebabkan oleh adanya elemen hifa dari jamur
yang mampu menginfeksi kulit. Skala desquamasi kulit bisa terinfeksi di
lingkungan selama berbulan-bulan atau tahun. Oleh karena itu transmisi
bisa terjadi dengan kontak tidak langsung lama setelah infeksi terjadi.
Bahan
seperti karpet yang kontak dengan kulit vektor sempurna. Begitu,
transmisi dermatophytes suka Trichophyton rubrum, T. interdigitale dan
Epidermophyton floccosum yang biasnya pada kaki. infeksi di sini sering
kronis dan tidak menimbulkan keluhan selama beberapa tahun dan hanya
ketika menyebar kebagian lain, biasanya di kulit.11
2.5.2 Tinea unguium (dermatophytic onycomicosis, ringworm of the nail)
Trichophyton rubrum dan T. interdigitale adalah spesies yang sering menyebabkan tinea unguium.
Dermatofita
jenis unguium digolongkan menjadi dua bagian utama: (1). Superficial
white-onycomycosis yang menempel atau membuat lubang pada permukaan
kuku. (2). Invasif, subungual dermatofita yang lateral dari proximal
atau pun distal. Diikuti dengan menetapnya infeksi pada dasar kuku.
Onycomycosis subungual distal adalah bentuk umum dari onycomycosis
dermatofita. Jamur menyerang bagian distal bantalan jari yang
menyebabkan hiperkeratosis dari bantalan kuku dengan onycolisis dan
menyebabkan penebalan lempeng kuku.
Seperti
namanya onycomycosis subungual lateral dimulai dari bagian lateral kuku
dan sering menyebar melibatkan semua lempeng kuku. Pada onycomycosis
subungual proximal jamur menginvasi kebawah kutikula dan menginfeksi
bagian proximal daripada bagian distal karena spot yellow-white akan
menyerang lunula terlebih dahulu kemudian meluas ke lempeng kuku.11
2.5.3 Tinea kruris (eczema marginatum, dhobie itch, ringworm of the groin)
Tinea kruris adalah dermatofitosis
pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat
bersifat akut ataupun menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat berbatas pada daerah
genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus,
dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.11
Kelainan kulit yang tampak pada
sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih
nyata daripada daerah di tengahnya. Fluoresensi terdiri atas
bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfik). Bila
menahun dapat disertai bercak hitam dan bersisik. Erosi dan keluarnya
cairan terjadi akibat garukan. Dan tinea kruris merupakan bentuk klinis
tersering di Indonesia.2
Dermatofit T rubrum menjadi
penyebab yang paling umum untuk tinea cruris. T rubrum menjadi
dermatofit yang lazim 90% dari kasus tinea cruris, diikuti T tonsurans (
6%) dan T mentagrophytes ( 4%). Organisme lain, termasuk E floccosum
dan T verrucosum, menyebabkan suatu kondisi klinis yang serupa. Infeksi T
rubrum dan E floccosum lebih cenderung untuk menjadi kronis dan
non-inflamatori, sedangkan infeksi oleh T mentagrophytes sering
dihubungkan dengan suatu presentasi klinis merah, menyebabkan peradangan
akut.12
Agen yang pada umumnya menyebabkan tinea kruris antara lain: T. rubrum, T. interdigitale dan E. floccosum. 11
Tinea kapitis adalah kelainan pada
kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh spesies dermatofita.
Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan, alopesia
dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut
kerion. Ada tiga bentuk tinea kapitis:
1.
Gray patch ring-worm, merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan
oleh genus microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit
mulai dengan papul merah yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar
dan membentuk bercak, yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan
penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak
berkilat lagi. Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya sehingga
mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah
tersebut terserang oleh jamur dan menyebabkan alopesia setempat.
Tempat-tempat terlihat sebagai gray patch, yang pada klinik tidak
menunjukan batas daerah sakit dengan pasti. Pada pemeriksaan lampu wood
terlihat fluoresensi hijau kekuningan pada rambut yang sakit, melampaui
batas dari gray patch tersebut. Tinea kapitis disebabkan oleh
microsporum audouini biasanya disertai tanda peradangan, hanya sesekali
berbentuk kerion.2
2. Kerion,
merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Microsporum canis
(Mulyono, 1986). Bentuk yang disertai dengan reaksi peradangan yang
hebat. Lesi berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan sebukan
radang di sekitarnya. Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang
menetap.13
3. Black dot ring-worm,
merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Trichophyton
tonsurans dan Trichophyton violaceum (Mulyono, 1986). Gambaran klinis
berupa terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya
rambut yang terinfeksi tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah
dan penuh spora terlihat sebagai titik hitam. Diagnosis banding pada
tinea kapitis adalah alopesia areata, dermatitis seboroik dan psoriasis
(Siregar, 2005). 13
2.5.5 Tinea korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, scherende flechte, kurap, herpes sircine trichophytique)
Merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin).
1.
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atu lonjong,
berbatas tegas terdiri dari eritema, squama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul ditepi. Daerah tengah biasanya tenang. Kadang terlihat
erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan
bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Dapat terlihat sebagai
lesi dengan tepi polisiklik, karena beberapa lesi kulit menjadi satu.
2.
Tinea korporis yang menahun tanda radang yang mendadak biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan
bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalalm hal ini disebut
tinea korporis et kruris atau sebaliknya tinea kruris et korporis.
Bentuk menahun dari trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-sama
dengan tinea unguium.
3. Bentuk
khas dari tinea korporis yang disebabkan oleh trichophyton concentricum
disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata dimulai dengan bentuk papul
berwarna coklat, yang perlahan menjadi besar. Stratum korneum bagian
tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah
beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk
lingkaran-lingkaran berskuama yang kosentris.
4.
Bentuk tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea
favosa atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai dikepala sebagai titik
kecil di bawah kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi
krusta berbentuk cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut
biasanya tembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat
terlihat dasar yang cekung merah dan membasah. Rambut tidak berkilat
lagi dan terlepas. Bila tidak diobati, penyakit ini meluas keseluruh
kepala dan meninggalkan parut dan botak. Berlainan dengan tinea korporis
yang disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada usia akil
balik. Biasanya tercium bau tikus (mousy odor) pada para penderita
favus. Tiga spesies dermatofita yang menyebabkan favus, yaitu
trichophyton schoenleini, trichophyton violaceum, dan microsporum
gypseum. Berat ringan bentuk klinis yang tampak tidak bergantung pada
spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh
tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan penderita penderita.2
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Mikroskopik langsung
Sediaan
basah dibuat dengan meletakan bahan di atas gelas alas, kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi 10% untuk rambut dan untuk
kulit, dan untuk kuku 20%. Setelah sedian dicampur dengan KOH, tunggu
15-20 menit untuk melarutkan jaringan.untuk mempercepat pelarutan
dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pada saat mulai
keluar uap, pemanasan dihentikan. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata
dapat ditambahkan zat warna pada sedian KOH, misalnya tinta parker
superchroom blue black.2
Kerokan kulit, kuku, dan epitel rambut diuji dengan KOH 10% dan sediaan tinta Parker atau calcofluor -white.11
Kultur
Spesimen
akan diinokulasi ke dalam media isolasi primer, seperti agar
sabouraud’s dextrose yang terdiri dari sikloheksimid (actidione) dan
masa inkubasi 26-28o C selama 4 minggu. Pertumbuhannya signifikan pada
banyak dermatofita.11
Umumnya dermatofitosis pada kulit
memberikan morfologi yang khas yaitu bercak-bercak yang berbatas tegas
disertai efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga memberikan
kelainan-kelainan yang polimorfik, dengan bagian tepi yang aktif serta
berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang. Gejala objektif ini
selalu disertai dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk
maka papula-papula atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan
daerah yang erosit dan bila mengering jadi krusta dan skuama.
Kadang-kadang bentuknya menyerupai dermatitis (ekzema marginatum),
tetapi kadang-kadang hanya berupa makula yang berpigmentasi saja (Tinea
korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai gejala-gejala
pioderma (impetigenisasi).3
Pemeriksaan mikologik untuk
membantu menegakan diagnosa terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan
basah dan biakan. Pemeriksaan lain misalnya pemeriksaan histopatologik,
percobaan binatang, dan imunologik tidak diperlukan.2
2.8 Diagnosa Banding
Tinea pedis et manum harus dibedakan
dengan dermatitis, yang biasanya batasnya tidak jelas, bagian tepi lebih
aktif dari pada bagian tengah. Adanya vesikel-vesikel steril pada
jari-jari kaki dan tangan (pomfoliks) dapat merupakan reaksi id, yaitu
akibat setempat hasil reaksi antigen dengan zat anti pada tempat
tersebut.
Efek samping obat juga
dapat memberi gambaran serupa yang menyerupai ekzem atau dermatitis,
pertama-tama harus dipikirkan adanya suatu dermatitis kontak. Pada
hiperhidrosis terlihat kulit yang mengelupas (maserasi). Kalau hanya
terlihat vesikel-vesikel, biasanya terletak sangat dalam dan terbatas
pada telapak kaki dan tangan. Kelainan tidak meluas sampai di sela-sela
jari. 2
Penyakit lain yang harus
mendapat perhatian adalah kandidiosis, membedakannya dengan tinea pedis
murni kadang-kadang sangat sulit. Pemeriksaan sediaan langsung dengan
KOH dan pembiakan dapat menolong. Infeksi sekunder dengan spesies
candida atau bakteri lain sering menyertai tinea pedis, sehingga pada
kasus-kasus demikian diperlukan interpretasi bijaksana terhadap
hasil-hasil pemeriksaan laboraturium. Sifilis II dapat berupa kelainan
kulit di telapak tangan dan kaki. Lesi yang merah dan basah dapat
merupakan petunjuk. Dalalm hal ini tanda-tanda lain sifilis akan
terdapat misalnya: kondiloma lata, pembesaran kelenjar getah bening yang
menyeluruh, anamnesa tentang afek primer dan pemeriksaan serologi serta
lapangan gelap dapat menolong.
Tinea unguium yang disebabkan
oleh bermacam-macam dermatofita memberikan gambaran akhir yang sama.
Psoriasis yang menyerang kuku pun dapat berakhir dengan kelainan yang
sama. Lekukan-lekukan pada kuku (nail pits), yang terlihat pada
psoriasis tidak didapati pada tinea unguium. Lesi-lesi psoriasis pada
bagian lain badan dapat menolong membedakannya dengan tinea unguium.
Banyak penyakit kulit yang menyerang bagian dorsal jari-jari tangan dan
kaki dapat menyebabkan kelainan yang berakhir dengan distrofi kuku,
misalnya: Paronikia, yang etiologinya bermacam-macam ekzem/dermatitis,
akrodermatitis perstans.
Tidak begitu sukar menentukan
tinea korporis pada umumnya, namun ada beberapa penyakit kulit yang
dapat mericuhkan diagnosa itu, misalnya dermatitis seboroika, psoriasis,
dan pitiriasis rosea. Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain
dapat menyerupai tinea korporis, biasanya terlihat pada tempat-tempat
predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit ,
misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya. Psoriasis
dapat dikenal pada kelainan kulit pada tempat predileksinya, yaitu
daerah ekstensor misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala
berambut juga sering terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan-lekukan
pada kuku dapat pula menolong menentukan diagnosa. Ptiriasis rosea
distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada bagian tubuh dan
bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis.
Pemeriksaan laboraturiumlah yang dapat memastikan diagnosanya. Tinea
korporis kadang sukar dibedakan dengan dermatitis seboroik pada sela
paha. Lesi-lesi ditempat predileksi sangat menolong dalm menentukan
diagnosa. Psoriasis pada sela paha dapat menyerupai tinea kruris. Lesi
pada psoriasis lebih merah, skuama lebih banyak dan lamelar. Adanya lesi
psoriasis pada tempat lain dapat membantu menentukan diagnosa.
Kandidosis pada daerah lipat
paha mempunyai konfigurasi hen and chicken. Kelainan ini biasanya basah
dan berkrusta. Pada wanita ada tidaknya flour abus dapat membantu
pengarahan diagnosa. Pada penderita diabetes mellitus, kandidosis
merupakan penyakit yang sering dijumpai.
Eritrasma merupakan penyakit
yang tersering berlokasi di sela paha. Efloresensi yang sama yaitu
eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda-tanda khas dari
penyakit ini. Pemeriksaan dengan lampu wood dapat menolong dengan adanya
floresensi merah (coral red).
Tinea
barbe kadang sukar dibedakan dengan sikosis barbe, yang disebabkan oleh
piokokus. Pemeriksaan sediaan langsung dapat membedakan kedua penyakit
ini.2
2.9 Pengobatan
Pengobatan dermatofitosis sering
tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi tunggal pada kulit dapat
diterapi secara adekuat dengan antijamur topikal. walaupun pengobatan
topikal pada kulit kepala dan kuku sering tidak efektif dan biasanya
membutuhkan terapi sistemik untuk sembuh. Infeksi dermatofitosis yang
kronik atau luas, tinea dengan implamasi akut dan tipe "moccasin" atau
tipe kering jenis t.rubrum termasuk tapak kaki dan dorsum kaki biasanya
juga membutuhkan terapi sistemik. Idealnya, konfirmasi diagnosis
mikologi hendaknya diperoleh sebelum terapi sistemik antijamur dimulai.
Pengobatan oral, yang dipilih untuk dermatofitosis adalah:2,11
Infeksi
|
Rekomendasi
|
Alternatif
|
Tinea unguium (Onychomycosis)
|
Terbinafine 250 mg/hr 6 minggu untuk kuku jari tangan, 12 minggu untuk kuku jari kaki
|
Itraconazole 200 mg/hr /3-5 bulan atau 400 mg/hr seminggu per bulan selama 3-4 bulan berturut-turut.
Fluconazole 150-300 mg/ mgg s.d sembuh (6-12 bln) Griseofulvin 500-1000 mg/hr s.d sembuh (12-18 bulan) |
Tinea capitis
|
Griseofulvin 500mg/day
(≥ 10mg/kgBB/hari) sampai sembuh (6-8 minggu) |
Terbinafine 250 mg/hr/4 mgg
Itraconazole 100 mg/hr/4mgg Fluconazole 100 mg/hr/4 mgg |
Tinea corporis
|
Griseofulvin 500 mg/hr sampai sembuh (4-6 minggu), sering dikombinasikan dengan imidazol.
|
Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4 minggu Itraconazole 100 mg/hr selama 15 hr atau 200mg/hr selama 1 mgg. Fluconazole 150-300 mg/mggu selama 4 mgg.
|
Tinea cruris
|
Griseofulvin 500 mg/hr sampai sembuh (4-6 minggu)
|
Terbinafine
250 mg/hr selama 2-4 mgg Itraconazole 100 mg/hr selama 15 hr atau 200
mg/hr selama 1 mgg. Fluconazole 150-300 mg/hr selama 4 mgg.
|
Tinea pedis
|
Griseofulvin 500mg/hr sampai sembuh (4-6 minggu)
|
Terbinafine
250 mg/hr selama 2-4 mgg Itraconazole 100 mg/hr selama 15 hr atau
200mg/hr selama 1 mgg. Fluconazole 150-300 mg/mgg selama 4 mgg.
|
Chronic and/or
widespread non-responsive tinea. |
Terbinafine 250 mg/hr selama 4-6 minggu
|
Itraconazole 200 mg/hr selama 4-6 mgg. Griseofulvin 500-1000 mg/hr sampai sembuh (3-6 bulan).
|
Tabel 2.3 Pilihan terapi oral untuk infeksi jamur pada kulit11
Pada pengobatan kerion stadium dini
diberikan kortikosteroid sistemik sebagai antiinflamasi, yakni
prednisone 3x5 mg atau prednisolone 3x4 mg sehari selama dua minggu,
bersamaaan dengan pemberian grisiofulvine yang diberikan berlanjut 2
minggu setelah lesi hilang. Terbinafine juga diberikan sebagai pengganti
griseofulvine selama 2-3 minggu dosis 62,5-250 mg sehari tergantung
berat badan.
Efek samping griseofulvine
jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang
didapati pada 15% penderita. Efek samping lain berupa gangguan traktus
digestifus yaitu: nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut bersifat
fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.
Efek samping terbinafine
ditemukan kira-kira 10% penderita, yang tersering gangguan
gastrointestinal diantaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diarea,
konstipasi, umumnya ringan. Efek samping lain berupa ganguan pengecapan,
persentasinya kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau keseluruhan
setelah beberapa minggu minum obat dan hanya bersifat sementara.
Sefalgia ringan dilaporrkan pula 3,3%-7% kasus.
Pada
kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan ketokonazol
sebagai terapi sistemik 200 mg per hari selam 10 hari sampai 2 minggu
pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol kontraindikasi untuk kelainan
hepar.2
BAB III
KESIMPULAN
Dermatofitosis adalah setiap
infeksi fungal superfisial yang disebabkan oleh dermatofit dan mengenai
stratum korneum kulit, rambut dan kuku, termasuk onikomikosis dan
berbagai macam bentuk tinea.
Dermatofita
dibagi menjadi : microsporum, tricopyton, dan epidermophyton. Yang
paling terbanyak ditemukan di Indonesia adalah T.rubrum. dermatofita
lain adalah: E.floccosum, T.mentagrophytes, M. canis, M. gypseum,
T.cocentricum, T.schoeleini dan T. tonsurans.
Insidensi Indonesia termasuk
wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur, sehingga dapat ditemukan
hampir di semua tempat. Menurut Adiguna MS, insidensi penyakit jamur
yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi
antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi
umum.
Klasifikasi yang sering dipakai oleh para specialis kulit yi berdasarkan lokasi:
a. Tinea kapitis, tinea pada kulit dan rambut kepala
b. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jengggot.
c. Tinea kruris, dermatofita pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
d. Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
e. Tinea unguium, tinea pada kuku kaki dan tangan.
f. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk 5 bentuk tinea diatas.
Umumnya dermatofitosis pada
kulit memberikan morfologi yang khas yaitu bercak bercak yang berbatas
tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga memberikan
kelainan-kelainan yang polimorf, dengan bagian tepi yang aktif serta
berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang. Gejala objektif ini
selalu disertai dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk
maka papula-papula atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan
daerah yang erosit dan bila mengering jadi krusta dan skuama.
Kadang-kadang bentuknya menyerupai dermatitis (ekzema marginatum),
tetapi kadang-kadang hanya berupa makula yang berpigmentasi saja (Tinea
korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai gejala-gejala
pioderma (impetigenisasi).
Tinea pedis et manum dibedakan
dengan dermatitis, hiperhidrosis karena (pengelupasan kulit). Tinea
pedis murni dan kandidosis sangat sulit dibedakan, biasanya pemeriksaan
dengan KOH membantu diagnosa. Dengan sifilis sekunder akan dibedakan
dengan gejala lain pada sifilis seperti pembesaran kelenjar getah
bening, adanya kondiloma lata, afek primer dan sebagainya membantu dalm
mendiagnosa. Tinea unguium juga harus dibedakan denga psoriasis pada
kuku dan dengan kandidosis unguium. Sedangkan tinea korporis harus
dibedakan dengan dermatitis seboroik, psoriasis, ptiriasis rosea,
eritrasma, dan kandidosis kutis. Begitu pula dengan tinea kapitis.
Semuanya dibandingkan tidak hanya berdasarkan lesi tetapi juga
berdasarkan predileksi.
Pengobatan dermatophytosis
sering tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi tunggal pada kulit
dapat diterapi secara adekuat dengan antijamur topikal. Walaupun
pengobatan topikal pada kulit kepala dan kuku sering tidak efektif dan
biasanya membutuhkan terapi sistemik untuk sembuh. Pilihan terapi oral
yaitu grisiofulfin atau itrakonazol atau ketokonazol bila terdapat
resistensi terhadap griseofulvin. Lama penggunaan juga disesuaikan
dengan keadaan klinis.
DAFTAR PUSTAKA SILAHKAN AMBIL DI BAWAH
AMBIL DISINI
ATAU JIKA DIATA TIDAK BISA COBA YANG DIBAWAH
ATAU JIKA DIATA TIDAK BISA COBA YANG DIBAWAH