a)
8000 SM : Pengumpulan benih untuk ditanam semula. Bukti bahwa bangsa
Babilon, Mesir, dan Romawi melakukan praktik pengembangbiakan selektif
(seleksi artifisal) untuk meningkatkan kualiti ternak.
b) 6000 SM : Pembuatan bir, fermentasi anggur, membuat roti dengan bantuan ragi.
c) 4000 SM : Bangsa Tionghoa membuat yoghurt dan keju dengan bakteria asam laktat.
d) 1500 SM : Pengumpulan tumbuhan di seluruh dunia.
e) 1665 SM : Penemuan sel oleh Robert Hooke (Inggris) melalui mikroskop.
f) 1800 SM : Nikolai I. Vavilov menciptakan penelitian komprehensif tentang pengembangbiakan haiwan.
g) 1880 SM : Penemuan Mikroorganisme.
h) 1856 SM : Gregor Mendel mengawali genetika tumbuhan rekombinan.
i) 1865 SM : Gregor Mendel menemukan hukum-hukum dalam penyampaian sifat induk keturunannya.
j) 1919 SM : Karl Ereky, Jurutera Hongaria, orang pertama menggunakan perkataan bioteknologi.
k) 1970 SM : Peneliti di AS berhasil menemukan enzim pembatas yang digunakan untuk memotong gen-gen.
l) 1975 SM : Metode produksi antibodi monoklonal dikembangkan oleh Kohler & Milstein.
m)1978 SM : Para peneliti di AS berhasil membuat insulin dengan menggunakan bakteri yang terdapat pada usus besar.
n)
1980 SM : Bioteknologi modern dicirikan oleh teknologi DNA rekombinan.
Model prokariot-nya, E. coli, digunakan untuk memproduksi insulin dan
obat lain, dalam bentuk manusia. Sekitar 5% pengidap diabetes alergi
terhadap insulin hewan yang sebelumnya tersedia.
o) 1992 SM : FDA menyetujui makanan GM pertama dari Calgene: tomat “flavorsaver”
p) 2000 SM : Perampungan Human Genome Project.
Bioteknologi Dalam Bidang Pertanian
Rifai (2001) mengatakan, penggunaan bioteknologi untuk
menciptakan kultivar unggul seperti tanaman padi dan tanaman semusim
sangat berguna untuk pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia.
Karenanya, pengembangan bioteknologi diberbagai bidang perlu mendapat
perhatian serius. Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri akibat
ketertinggalan negara kita mengembangkan bioteknologi adalah
dimanfaatkannya plasma nutfah negara kita oleh negara lain. Durian
bangkok dan mangga berwarna keunguan dari Australia adalah sebagian
kecil contohnya.
Bioteknologi seperti transgenik dalam bidang
pertanian pada dasarnya telah mulai dikembangkan, namun
penolakan-penolakan dari berbagai pihak menyebabkan teknologi ini tidak
pesat perkembangannya. Tanaman-tanaman pertanian yang telah berhasil
meningkatkan produksi dan kualitas melalui transgenik antara lain kapas,
jagung, dan lain-lain.
Pro dan kontra penggunaan tanaman transgenik
ramai dibicarakan diberbagai media massa. Salah satu contohnya adalah
kapas transgenik. Pihak yang pro, terutama para petinggi dan wakil
petani yang tahu betul hasil uji coba di lapangan memandang kapas
transgenik sebagai mimpi yang dapat membuat kenyataan, sedangkan Pihak
yang kontra, sangat ekstrim mengungkapkan berbagai bahaya hipotetik
tanaman transgenik (Tajudin, 2001).
Selain kapas, Setyarini (2000)
memaparkan tentang kontroversi penggunaan tanaman jagung yang telah
direkayasa secara genetik untuk pakan unggas. Kekhawatiran yang muncul
adalah produk akhir unggas Indonesia akan mengandung genetically
modified organism ( GMO ). Masalah lain yang menjadi kekhawatiran
berbagai pihak adalah potensinya dalam mengganggu keseimbangan
lingkungan antara lain serbuk sari jagung dialam bebas dapat mengawini
gulma-gulma liar, sehingga menghasilkan gulma unggul yang sulit dibasmi.
Sebaliknya, kelompok masyarakat yang pro mengatakan bahwa dengan
jagung transgenik selain akan mempercepat swa sembada jagung, manfaat
lain adalah jagung yang dihasilkan mempunyai kualitas yang hebat, kebal
terhadap serangan hama sehingga petani tidak perlu menyemprot pestisida.
Bagaimana cara kita menyikapinya?, satu-satunya jalan adalah
dengan melakukan beberapa tahapan pengujian, studi kelayakan, serta
sistem pengawasan yang ketat oleh instansi yang berwenang. Disini,
pihak peneliti memegang peranan penting dalam mengungkap dan membuktikan
atau menyanggah berbagai kekhawatiran yang timbul.
Bioteknologi dalam Bidang Peternakan dan Perikanan
Penggunaan bioteknologi guna meningkatkan produksi
peternakan meliputi : 1) teknologi produksi, seperti inseminasi buatan,
embrio transfer, kriopreservasi embrio, fertilisasi in vitro, sexing
sperma maupun embrio, cloning dan spliting. 2) rekayasa genetika,
seperti genome maps, masker asisted selection, transgenik, identifikasi
genetik, konservasi molekuler, 3) peningkatan efisiensi dan kualitas
pakan, seperti manipulasi mikroba rumen, dan 4) bioteknologi yang
berkaitan dengan bidang veteriner (Gordon, 1994; Niemann dan Kues,
2000).
Teknologi reproduksi yang telah banyak
dikembangkan adalah a) transfer embrio berupa teknik Multiple Ovulation
and Embrio Transfer (MOET). Teknik ini telah diaplikasikan secara luas
di Eropa, Jepang, Amerika dan Australia dalam dua dasawarsa terakhir
untuk menghasilkan anak (embrio) yang banyak dalam satu kali siklus
reproduksi. b) cloning telah dimulai sejak 1980an pada domba. Saat
ini pembelahan embrio secara fisik (spliting) mampu menghasilkan kembar
identik pada domba, sapi, babi dan kuda. c) produksi embrio secara in
vitro; teknologi In vitro Maturation (IVM), In Vitro Fertilisation
(IVF), In Vitro Culture (IVC), telah berkembang dengan pesat. Kelinci,
mencit, manusia, sapi, babi dan domba telah berhasil dilahirkan
melalui fertilisasi in vitro (Hafes, 1993).
Di Indonesia, transfer
embrio mulai dilakukan pada tahun 1987. Dengan teknik ini seekor sapi
betina, mampu menghasilkan 20-30 ekor anak sapi (pedet) pertahun.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa, menciptakan jenis ternak unggul
sudah bukan masalah lagi. Dengan teknologi transgenik, yakni dengan
jalan mengisolasi gen unggul, memanipulasi, dan kemudian memindahkan gen
tersebut dari satu organisme ke organisme lain, maka ternak unggul yang
diinginkan dapat diperoleh. Babi transgenik, di Princeton Amerika
Serikat kini sudah berhasil memproduksi hemoglobin manusia sebanyak 10 –
15 % dari total hemoglobin manusia, bahkan laporan terakhir mencatat
adanya peningkatan persentasi hemoglobin manusia yang dapat dihasilkan
oleh babi transgenik ini.
Dalam bidang perikanan,
kebutuhan adanya penerapan teknologi sangat dinantikan, mengingat
adanya penangkapan ikan yang melebihi potensi lestari (over fishing),
banyaknya terumbu karang yang rusak dan dengan adanya peningkatan
konsumsi ikan. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sarwono mengakui adanya
kebutuhan penerapan teknologi, tetapi ia juga mengakui adanya
ketakutan pada dampak penerapan teknologi tinggi.
Penelitian
bioteknologi dalam bidang perikanan, di utamakan pada tiga kelompok,
yaitu: akuakultur, pemanfaatan produksi alam, dan prosesing bahan
makanan yang bernilai ekonomi tinggi. Pengembangan bioteknologi dibidang
akuakultur meliputi seleksi, hibridasi, rekayasa kromosom, dan
pendekatan biologi molekuler seperti transgenik sangat dibutuhkan untuk
menyediakan benih dan induk ikan.
Pada akuakultur, program
peningkatan sistem kekebalan ikan telah dilakukan dengan menggunakan
vaksin, imunostimulan, probiotik, dan bioremediasi. Vaksin dapat memacu
produksi antibiotik specifik dan hanya efektif untuk mencegah satu
patogen tertentu. Imunostimulan merupakan teknik meningkatkan kekebalan
yang non specifik, misalnya lipopolysaccharide dan B-glucan yang
telah diterapkan untuk ikan dan udang di Indonesia. Probiotik
diaplikasikan pada pakan atau dalam lingkungan perairan budidaya sebagai
penyeimbang mikroba dalam pencernaan dan lingkungan perairan .
Pada
tahun 1980 penelitian transgenik pada ikan telah dimulai dengan
mengintroduksi gen tertentu kepada organisme hidup lainnya serta
mengamati fungsinya secara in vitro. Dalam teknik ini, gen asing hasil
isolasi di injeksi secara makro ke dalam telur untuk memproduksi galur
ikan yang mengandung gen asing tersebut. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan ikan transgenik, yaitu: 1) isolasi gen
(clone DNA) yang akan diinjeksi pada telur, 2) Identifikasi gen pada
anak ikan yang telah mendapatkan injeksi gen asing tadi, dan 3)
keragaman dari turunan ikan yang diinjeksi gen asing tersebut.