SEBENARNYA di Provinsi Sulut sudah ada Badan Perlindungan Perempuan dan Anak (BPPA) yang perannya sangat strategis untuk memberantas trafficking. Tapi, rasanya sulit berharap kepada badan tersebut. Mengapa?
Pertama, masalahnya terletak pada sumber daya di badan tersebut. Ketika Jawa Pos mewawancarai Elvie Wongkaren, Kabid Perlindungan Perempuan BPPA, hasilnya cukup mencengangkan. Boro-boro bicara tentang program, Elvie sendiri mengaku kurang paham apa itu trafficking.
''Ya, saya masih kurang memahami apa itu trafficking. Saya baru saja menjabat di sini,'' kilahnya saat diwawancarai akhir Maret lalu. Untuk itu, Elvie mengaku masih melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak dulu. Wawancara dengan Elvie dilakukan Jawa Pos setelah tiga kali usaha wawancara dengan Kepala BPPA Sulut Verra Logor gagal. Kebetulan Verra selalu ada acara di luar kota terus ketika didatangi Jawa Pos.
Selama wawancara itu, jawaban Elvie sangat standar. ''Sekarang ini kami masih melakukan sosialisasi mengenai trafficking ke masyarakat,'' jawab Elvie. Ketika ditanya lebih lanjut, sosialisasi semacam apa yang dilakukan dengan sasaran apa, Elvie mengatakan, pihaknya masih melakukan pendataan. ''Kami masih mendata jumlah korban,'' urainya.
Dia lantas menjelaskan, pada trisemester pertama pihaknya masih melakukan pendataan. Apa yang didata? ''Semuanya, baik permasalahan maupun korban-korbannya,'' tuturnya. Ketika ditanya apa yang akan dilakukan BPPA untuk memberantas trafficking, Elvie mengaku belum tahu. Sebab, dia memang belum tahu terlalu banyak.
Ini cukup ironis. Apalagi, anggaran untuk belanja langsung BPPA setiap tahun Rp 1,2 miliar.
Dari daftar belanja itu, masih banyak belanja yang tak terkait langsung dengan pemberantasan trafficking ataupun pemberdayaan wanita. Misalnya, hampir Rp 350 juta di antaranya habis untuk "membenahi" internal BPPA. Yang paling banyak, Rp 237,7 juta untuk program pelayanan administrasi perkantoran.
Yang langsung berkaitan dengan pemberdayaan perempuan adalah program peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan. Untuk program yang satu ini, BPPA menganggarkan Rp 129.862.500. Jumlahnya masih kalah dengan program pelayanan administrasi perkantoran.
Lagi-lagi ini cukup ironis, karena peran BPPA sebenarnya sangat penting untuk memberantas trafficking sejak awal. Salah satu kata kunci paling penting untuk mengurangi angka trafficking adalah "pemberdayaan". ''Sangat penting bagi para perempuan muda Minahasa maupun perempuan yang baru saja menjadi korban trafficking,'' kata Debby Momongan, salah satu aktivis yang berperan penting mengenai lahirnya perda antitrafficking tersebut.
Menurut wanita yang juga pemimpin di Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), what's next adalah pertanyaan yang selalu diajukan para perempuan, baik yang akan atau yang sudah menjadi korban trafficking. ''Kasarannya, setelah dipulangkan, terus mau apa? Tentu tak bisa hanya dipulangkan begitu saja, kan,'' kata Debby.
Debby mengatakan, bila tak ada kesempatan, harus ada upaya menguatkan mental para korban trafficking tersebut. Misalnya, pelatihan atau lebih baik jika diberi pekerjaan.
Ini memang beralasan. Sering terjadi di Sulut, dulu adalah korban trafficking, lalu keenakan (karena bisa mendapat uang dengan sangat cepat, Red) dan berbalik menjadi pelaku trafficking. ''Dalam hal ini adalah soal mental,'' tuturnya.
Debby mencontohkan kisah Ana (nama samaran), salah seorang korban trafficking yang pernah dia selamatkan. Pulang ke daerahnya di Minahasa Selatan, Ana sama sekali tak tahu apa yang harus dikerjakan. Dengan usia yang sudah 20 tahun, Ana malu kalau hanya menganggur. Padahal, keinginan mempunyai baju bagus, ponsel keluaran terbaru, dan bergaya masih kuat.
Bisa ditebak, Ana kemudian mencari sendiri sindikat trafficking. Untung saja, sindikat tersebut dibekuk polisi pada 2005. Untuk kali kedua Ana "terselamatkan". Untuk kali kedua ini, Ana bertemu Debby, yang kemudian dengan sangat pelan terus mendorong dirinya untuk "memberdayakan diri sendiri". Kini Ana sudah hidup berkecukupan, membuka salon, dan mempunyai suami dan dua anak.
Porsi-porsi seperti inilah yang harus diambil pemerintah daerah, khususnya BPPA. Namun, mengingat kinerja BPPA sendiri -yang hingga akhir Maret lalu masih mendata, sosialiasi, dan tak tahu apa yang harus dilakukan- tampaknya memberantas trafficking di Sulawesi Utara masih membutuhkan waktu lama.
Pertama, masalahnya terletak pada sumber daya di badan tersebut. Ketika Jawa Pos mewawancarai Elvie Wongkaren, Kabid Perlindungan Perempuan BPPA, hasilnya cukup mencengangkan. Boro-boro bicara tentang program, Elvie sendiri mengaku kurang paham apa itu trafficking.
''Ya, saya masih kurang memahami apa itu trafficking. Saya baru saja menjabat di sini,'' kilahnya saat diwawancarai akhir Maret lalu. Untuk itu, Elvie mengaku masih melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak dulu. Wawancara dengan Elvie dilakukan Jawa Pos setelah tiga kali usaha wawancara dengan Kepala BPPA Sulut Verra Logor gagal. Kebetulan Verra selalu ada acara di luar kota terus ketika didatangi Jawa Pos.
Selama wawancara itu, jawaban Elvie sangat standar. ''Sekarang ini kami masih melakukan sosialisasi mengenai trafficking ke masyarakat,'' jawab Elvie. Ketika ditanya lebih lanjut, sosialisasi semacam apa yang dilakukan dengan sasaran apa, Elvie mengatakan, pihaknya masih melakukan pendataan. ''Kami masih mendata jumlah korban,'' urainya.
Dia lantas menjelaskan, pada trisemester pertama pihaknya masih melakukan pendataan. Apa yang didata? ''Semuanya, baik permasalahan maupun korban-korbannya,'' tuturnya. Ketika ditanya apa yang akan dilakukan BPPA untuk memberantas trafficking, Elvie mengaku belum tahu. Sebab, dia memang belum tahu terlalu banyak.
Ini cukup ironis. Apalagi, anggaran untuk belanja langsung BPPA setiap tahun Rp 1,2 miliar.
Dari daftar belanja itu, masih banyak belanja yang tak terkait langsung dengan pemberantasan trafficking ataupun pemberdayaan wanita. Misalnya, hampir Rp 350 juta di antaranya habis untuk "membenahi" internal BPPA. Yang paling banyak, Rp 237,7 juta untuk program pelayanan administrasi perkantoran.
Yang langsung berkaitan dengan pemberdayaan perempuan adalah program peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan. Untuk program yang satu ini, BPPA menganggarkan Rp 129.862.500. Jumlahnya masih kalah dengan program pelayanan administrasi perkantoran.
Lagi-lagi ini cukup ironis, karena peran BPPA sebenarnya sangat penting untuk memberantas trafficking sejak awal. Salah satu kata kunci paling penting untuk mengurangi angka trafficking adalah "pemberdayaan". ''Sangat penting bagi para perempuan muda Minahasa maupun perempuan yang baru saja menjadi korban trafficking,'' kata Debby Momongan, salah satu aktivis yang berperan penting mengenai lahirnya perda antitrafficking tersebut.
Menurut wanita yang juga pemimpin di Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), what's next adalah pertanyaan yang selalu diajukan para perempuan, baik yang akan atau yang sudah menjadi korban trafficking. ''Kasarannya, setelah dipulangkan, terus mau apa? Tentu tak bisa hanya dipulangkan begitu saja, kan,'' kata Debby.
Debby mengatakan, bila tak ada kesempatan, harus ada upaya menguatkan mental para korban trafficking tersebut. Misalnya, pelatihan atau lebih baik jika diberi pekerjaan.
Ini memang beralasan. Sering terjadi di Sulut, dulu adalah korban trafficking, lalu keenakan (karena bisa mendapat uang dengan sangat cepat, Red) dan berbalik menjadi pelaku trafficking. ''Dalam hal ini adalah soal mental,'' tuturnya.
Debby mencontohkan kisah Ana (nama samaran), salah seorang korban trafficking yang pernah dia selamatkan. Pulang ke daerahnya di Minahasa Selatan, Ana sama sekali tak tahu apa yang harus dikerjakan. Dengan usia yang sudah 20 tahun, Ana malu kalau hanya menganggur. Padahal, keinginan mempunyai baju bagus, ponsel keluaran terbaru, dan bergaya masih kuat.
Bisa ditebak, Ana kemudian mencari sendiri sindikat trafficking. Untung saja, sindikat tersebut dibekuk polisi pada 2005. Untuk kali kedua Ana "terselamatkan". Untuk kali kedua ini, Ana bertemu Debby, yang kemudian dengan sangat pelan terus mendorong dirinya untuk "memberdayakan diri sendiri". Kini Ana sudah hidup berkecukupan, membuka salon, dan mempunyai suami dan dua anak.
Porsi-porsi seperti inilah yang harus diambil pemerintah daerah, khususnya BPPA. Namun, mengingat kinerja BPPA sendiri -yang hingga akhir Maret lalu masih mendata, sosialiasi, dan tak tahu apa yang harus dilakukan- tampaknya memberantas trafficking di Sulawesi Utara masih membutuhkan waktu lama.