DEFENISI
Istilah hipertrofi prostat sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya ialah hiperplasia kelenjar periuretral. Dalam hal ini sel-sel glandular dan sel-sel interstisial mengalami hiperplasia (sel-sel bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak ke perifer, menjadi gepeng dan menjadi simpai bedah (kapsul surgikal).
ANATOMI
Kelenjar prostat adalah suatu kelenjar fibromuskular yang mengalami bladder neck dan bagian proksimal uretra. Beratnya pada orang dewasa kira-kira 220 gram dengan ukuran rata-rata panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm dan tebal 2,6 cm.
Pada potongan melintang setinggi uretra pars posterior kelenjar prostat terdiri dari:
1. Kapsul anatomi
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskular
3. Jaringan kelenjar yang terdiri atas 3 kelompok bagian:
a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya
b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatous zone
c. Disekitar uretra disebut periurethral gland
Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatorius kommunis yang bermuara ke dalam uretra.
Mc Neal (1976) membagi prostat dalam beberapa zona antara lain : zona perifer, zona central dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional.
ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesa menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron yang didalam sel-sel kel prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. DHT inilah yang kemudian akan diikat oleh reseptor yang berada dalam sitopalsma sel prostat sehingga membentuk DHT reseptor Kompleks, yang kemudian akan masuk kedalam inti sel dan secara langsung memacu m-RNA untuk mensintesis protein sehingga terjadi proliferasi sel.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
· Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
· Peranan dari growth factor sebagai pemacu pertumbuhan struma kelenjar prostat
· Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
· Teori sel sterm menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel sterm sehingga menyebabkan produksi sel struma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat diidentifikasi pada pria usia 30 – 40 taun, dan apabila terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi, yang pada pria usia 50 tahun pada autopsi angka kejadiannya sekitar 50% dan pada usia 80 tahun menjadi 80% sekitar 50% dari angka tersebut akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
PATOGENESIS
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini akan menyebakan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut. Kontraksi yang terus-menerus ini akan menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur buli-buli dirasakn oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract simptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatimus.
Tekanan intravesikal yang tinggi akan diteruskan keseluruh bagian buli-buli, tak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsug terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat jatuh kedalam gagal ginjal.
PATOFISIOLOGI
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi jalam kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi (hesitency), miksi terputus (intermittency), menetes pada akhir miksi (terminal dribbling), pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekwensi miksi (frequency), nokturia, miksi sulit ditahan (urgency), dan nyeri pada waktu miksi (disuria).
Gejala obstruksi terjadi oleh karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi oleh karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan ransangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini di beri skor untuk menentukan keluhan klinik.
Apabila vesika menjadi dekompensasi akan terjadi resistensi urine. Apabila tekanan vesika menjadi labih tinggi dari pada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontenensia paradoks. Retensi kronik akan menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan akan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih, yang akan menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistisis dan bila terjadi refluks dapat terejadi pielonefritis.
GAMBARAN KLINIK
Pada pemeriksaan colok dubur dari pembesaran prostat benigna menunjukan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Dapat pula diketahui adanya batu prostat bila teraba krepitasi.
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan, dengan mengukur urine yang masih dapat keluar dengan kateterisasi ataupun ultrasonografi. Sisa urine lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hipertrofi prostat. Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urine pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri.
Derajad berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinik :
Derajat
|
Colok dubur
|
Sisa
|
I
|
Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba
|
<>
|
II
|
Penonjolan prostat jelas, batas atas mudah dicapai
|
50-100 ml
|
III
|
Batas atas prostat tidak dapat diraba
|
> 100 ml
|
IV
|
retensi urin totaL
|
PENCITRAAN
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kenih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadang kala dapat menunjukan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang menunjukan tanda dari suatu resistensi urine.
Pemeriksaan pielografi intravena dapat menerangkan kemungkinan adanya:
1. Kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis
2. Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditujukan oleh adanya indentasi prostat atau ureter di sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)
3. Penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli
Pemeriksaan ultrasonografi transrektal dimaksudkan untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai guidance (petunjuk) untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan jumlah residual urine dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam buli-buli.
DIAGNOSA BANDING
Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor di bawah :
1. Kelemahan detrusor kandung kemih
· Ganguan neurologik
- kelainan medula spinals
- neuropatia diabetes mellitus
- pasca bedah radikal di pelvis
- farmakologik ( obat penenang, penghanbat alfa, parasimpatolitik)
2. Kekakuan lehar kandung kemih
· fibrosis
3. Resistensi uretra
· hipertrofi prostat ganas atau jinak
· kelainan yang menyumbat uretra
· uretrolitiasis
· uretritis akut dan kronik
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli. WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS dibawah 15 dan terapi bedah bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
Penderita derajat 1 biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif. Misalnya dengan penghambat adenoreseptor alfa (α1) seperti alfazosin, prazosin, doksazosin, dan terazosin. Bahkan telah ditemukan penghambat adenoreseptor alfa yang lebih selektif terhadap otot polos prostat yaitu α1a (tamsulosin). Golongan obat ini mengurangi resistensi buli-buli. Sedangkan obat yang menurunkan kadar dehidrotestosteron seperti finasteride, merupakan penghambat 5 α reduktase yang mencegah terjadinya perubahan testosteron menjadi DHT, sehingga penurunan kadar DHT menyebabkan mengecilnya ukuran prostat.
Derajat II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan, biasanya dianjurkan dengan eseksi endoskopik melalui uretra (TUR P = Trans Urethral Resection of Prostate). Kadang-kadang derajat ini dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.
Derajat III apabila diperkirakan pembesaran prostat sudah cukup besar, sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka melalui transvesikal,retropublik atau perineal.
Pada penderita derajat IV, tindakan pertama yang harus dilakukan ialah pembebasan penderita dari resistensi urine total dengan memasang kateter atau sistostomi. Kemudian terapi defenitif dengan TUR P atau pembedahan terbuka.
Pengobatan lain yang invasif minimal terutama ditujukan untuk pasien yang mempunyai resiko tinggi terhadap pembedahan, antara lain dengan cara:
· TUMT ( Trans Urethral Microwave Thermotherapy)
· TULIP ( Trans Urethral Ultrasound guided Laser Induced Prostatectomy)
· TUBD ( Trans Urethral Balloon Dilatation)
· TUNA ( Trans Urethral Needle Ablation)
· Pemasangan stent urethtral atau prostacath
Meskipun sudah banyak modalitas yang telah ditemukan untuk mengobati pembasaran prostat, sampai saat ini terapi yang memberikan hasil yang memuaskan adalah TUR P.
PROGNOSIS
Prognosis dari penyakit ini cukup baik bila penderita berobat dengan baik yaitu operatif. Tindakan pengobatan konservatif hanyalah menunda waktu operasi dan tidak menghilangkan kausanya.
DAFTAR RUJUKAN
1. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Hambatan Pasase Usus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta . 1997; 1059-64.
2. Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., Setiowulan W. Ileus Obstruktif. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Jakarta . 2000; 329-34