BABI
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nilai
1. Pengertian
Nilai merupakan realitas abstrak. Nilai
kita rasakan dalam diri kita sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip
yang menjadi pedoman dalam hidup. Oleh sebab itu, nilai menduduki
tempat penting dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat.
Nilai menjadi sesuatu yang abstrak dapat dilacak dari tiga realitas,
yakni pola tingkah laku, pola berpikir, dan sikap-sikap (Ambroise dalam
Kaswardi, 1993).
Titus (1984) mengemukakan bahwa nilai
adalah segala sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhan serta keinginan
manusia dan nilai dapat juga berupa kualitas dari sesuatu yang dapat
menimbulkan respons penghargaan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Max
Scheler (dalam Wahana 2004), bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang
tidak tergantung pada pembawanya, nilai merupakan kualitas apriori yang
dapat dirasakan oleh setiap manusia tanpa melalui pengalaman indrawi
terlebih dahulu.
Keragaman pendapat para ahli dalam
mendefinisikan tentang nilai, dirangkum oleh Mulyana (2004) dalam
bukunya “Mengartikulasikan Pendidikan Nilai”. Adapun pendapat para ahli
tersebut, meliputi (1) nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang
bertindak atas dasar pilihannya (Gordon Alport), (2) nilai adalah
patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya
di antara cara-cara tindakan alternatif (Kupperman), (3) nilai adalah
sesuatu yang ditunjukkan dengan kata ‘ya’ (Hans Jonas) dan (4) nilai
adalah konsepsi (tersurat atau tersirat, yang sifatnya membedakan
individu atau ciri kelompoknya) dari apa yang diinginkan mempengaruhi
pilihan terhadap cara, tujuan antara, dan tujuan akhir dari setiap
tindakannya.
Dari beberapa pemahaman tentang
pengertian nilai tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai
tidak dapat terlepas dari manusia, ia selalu dikejar dan dipertahankan
serta dicita-citakan dan didambakan dalam kehidupan ini sehingga selalu
menjadi motivasi hampir pada setiap aktivitas manusia. Dengan demikian,
setiap tindakan atau perbuatan manusia selalu digerakkan seta didasari
oleh nilai, sehingga nilai diyakini dapat memberi arah bagi aktivitas
manusia dalam meraih sejumlah tujuan yang hendak dicapai.
2. Jenis-jenis nilai
Nilai dapat dibedakan ats bebagai jenis,
antara lain nilai etika/moral, nilai religius, nilai kultural, nilai
edukatif, dan nilai filosofis. Berikut ini akan diuraikan secaran
singkat mengenai konsep dari jenis-jenis nilai tersebut.
1) Nilai etika/moral
Objek etika sebagai ilmu adalah manusia.
Manusia dipandang dari segi baik buruk perilakunya, diukur dengan
kriteria tertentu. Menurut Suseno (1987) bahwa etika adalah pemikiran
sestematis tentang moralitas. Yang dihasilkan secara langsung, bukan
hanya berupa kebaikan, melainkan sesuatu pengertian yang lebih mendasar
dan kritis.
Konsep etika menurut pandangan orang
barat tidak sama dengan pandangan orang timur. Etika barat bersifat
antroposentrik (berpusat pada manusia). Kebalikannya, etika timur
bersifat teosentrik (berpusat pada Tuhan). Dalam etika timur, terutama
sudut pandang agama Islam, menurut Musnamar (dalam Amin, 1975) bahwa
suatu perbuatan selalu dihubungkan dengan amal saleh, pahala atau siksa,
surga atau neraka, dan lain-lain. Hal tersebut bebeda dengan etika
barat. Persoun (1985) menambahkan bahwa etika pada dasarnya adalah
kemampuan menerobos teknik dan membuka suatu dimensi transenden, dimensi
harapan, evolusi kritis, dan tanggung jawab.
Dinyatakan oleh Amin (1975) bahwa agama
samawi dan kebudayaan, sebenarnya tidak saling melingkupi, tetapi saling
berhubungan. Soal penentuan nilai baik atau buruk, tinggi atau rendah,
indah atau jelek dan sebagainya, sebenarnya hanyalah persoalan yang
bersifat nisbi, jika hal itu hanya didasarkan pada pengalaman,
pengamatan, rasio, dan sejarah. Kebenaran hakiki atau penilaian yang
mutlah telah ditentukan Allah. Manusia yang benar-benar mengenal dirinya
sebagai hamba Allah tidak boleh menciptakan nilai tersebut, Manusia
hanya berhak memilih.
2) Nilai religius
Pengertian nilai religius dikemukakan
oleh Dojosantoso (1986) dan Mangunwijaya (1988), bahwa nilai religius
adalah nilai yang berkaitan dengan hubungan manusia terhadap Tuhan
sebagai penciptanya, dan nilai-nilai yang dimaksud adalah keseriusan
hati nurani, kesalehan, ketelitian dan pertimbangan batin, dan
sebagainya.
Sehubungan dengan nilai religius,
Koentjaraningrat (1984) lebih lanjut menjelaskan bahwa emosi keagamaan
menyebabkan manusia itu religius; suatu keyakinan yang mengandung segala
keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang
wujud alam gaib (supranatural) serta segala nilai dan ajaran dari religi
yang bersangkutan.
3) Nilai budaya
Menurut Koentjaraningrat (1984) nilai
budaya pada dasarnya merupakan konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus
mereka anggap amat bernilai dalam kehidupan. Misalnya, konsep yang
menganggap penting sikap tenggang rasa dan kepekaan.
Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleksitas (gagasan, konsep, nilai, norma, pikiran manusia, dan
peraturan) mewarnai perilaku kehidupan manusia. Kierkegaard (dalam
Poespowardojo, 1993) mengungkapkan bahwa dari kenyataan menunjukkan,
bahwa manusia pada hakikatnya membutuhkan budaya untuk berkarya. Oleh
karena itu, dalam kehidupannya manusia banyak diwarnai oleh tiga aspek
sebagai berikut; estetis, etis, dan religius.
4) Nilai edukatif
Pendidikan adalah salah satu wahana untuk
memberikan pencerahan pikiran dan batin manusia. Melalui pendidikan,
pikiran manusia terbuka untuk mengetahui, memahami, dan mamaknai semua
proses kehidupan yang dijalaninya. Melalui pendidikan, batin manusia
tersentuh untuk merasakan, menikmati, menghayati, dan merenungkan semua
proses kehidupan yang dijalaninya. Pendidikan sangat penting bagi
kehidupan manusia, sebagaimana dikemukakan Indar (1994) bahwa pendidikan
pada hakikatnya merupakan hal-hal yang meliputi: (1) salah satu
kebutuhan hidup, (2) salah satu fungsi sosial, (3) bimbingan, (4) sarana
pertumbuhan, dan (5) mempersiapkan, mengembangkan, dan membentuk
kedisiplinan. Dengan demikian, secara singkat dapat dinyatakan bahwa
melalui pendidikan manusia akan menjalani proses kemajuan dan perubahan
dalam kehidupannya.
Menurut Barnadib (2002), setidaknya ada
yang substansial dalam proses pendidikan, yaitu transformasi dan
pengembangan. Transformasi dimaksudkan sebagai wujud pengalihan nilai
dan pengembangan dimaksudkan sebagai pemanfaatan secara optimal potensi
yang dimiliki untuk menerapkan nilai yang telah diperoleh.
5) Nilai filsafat
Pengertian filsafat menurut Leenhouwers
(1988), pada dasarnya merupakan pencarian citra manusia. Citra yang
dicari berupa visi tertentu tentang hidup manusia yang dapat
dipertanggungjawabkan. Visi itu harus menjurus dan menjewai tingkah
laku. Visi itu, misalnya, berupa jawaban atas pertanyaan bagaimana
membentuk diri yang semestinya, apa yang diharapkan manusia untuk masa
mendatang, di mana manusia harus mencari kebulatan, keutuhan dan
kesempurnaan hidup, dan sebagainya. Dari proses pencarian tersebut,
manusia dituntut untuk mengadakan perenungan guna menentukan, baik dan
buruknya sesuatu. Dengan demikian, filsafat mempunyai nilai yang pada
akhirnya membantu manusia untuk memecahkan masalah hidupnya.
Koentjaraningrat (1984) berpendapat bahwa
terdapat lima dasar dalam kehidupan, yaitu: (1) hakikat hidup manusia,
(2) hakikat karya manusia, (3) hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan
waktu, (4) hakikat hubungan manusia dengan alam, (5) hakikat hubungan
manusia dengan sesamanya.
2. Fungsi sastra
Luxemburg dkk. (1982) berpendapat bahwa
sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama
sebuah imitasi. Secara etimologi, sastra dalam bahasa Indonesia berasal
dari bahasa Sangsekerta, akar kata Sas-, yang berarti mengarahkan,
mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, sedangkan akhiran-tra
biasanya menunjukkan alat, sarana. Oleh karena itu, sastra dapat berarti
alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Sastra mempunyai manfaat yang sangat
berarti bagi kehidupan manusia. Manfaat sastra tidak terlepas dari
fungsi sastra, yaitu: (1) melatih keempat keterampilan berbahasa
(mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis), (2) menambah
pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia, (3) membantu mengembangkan
diri pribadi, (4) membantu pembentukan watak, (5) memberi kenyamanan,
keamanan, dan kepuasan, dan (6) meluaskan dimensi kehidupan dengan
pengalaman-pengalaman baru sehingga dapat melarikan diri sejenak dari
kehidupan yang sebenarnya (Wardani, 1981).
3. Kisah
a. Pengertian
Aristoteles (dalam Luxemburg 1991)
memberi definisi tentang pengertian “kisah” sebagai sebuah pokok dalam
suatu cerita, lakon, dan kadang-kadang sebuah sajak berkembang dalam
kurung waktu tertentu dari awal sampai suatu akhir.
Definisi Aristoteles lebih daripada hanya
pengamatan bahwa awal dan akhir merupakan bagian yang harus ada dalam
suatu kisah yang memiliki “tengah” sebagai bagian yang ketiga. Yang
paling penting ialah sesuatu yang tetap implisit: yaitu gerak dari awal
keakhir. Gerak itu makan waktu tetapi juga bersifat dinamis. Tokoh dan
pembaca digiring dari awal ke akhir. Akhir dapat dipandang sebagai
perubahan keadaan awal. Kalau keduanya dibandingkan maka diketahui apa
yang berubah, jadi apa yang telah terjadi.
Selanjutnya Luxemburg (1991) menyatakan
jika dibandingkan dengan, misalnya, deskripsi ruang yang menjadi ciri
khas kisah ialah bahwa rentetan kejadian mendugakan urutan waktu. Ciri
khas kedua ialah bahwa kisah bukan hanya penyebutan sejumlah gejala
lepas; dalam kisah kejadian-kejadian saling berkaitan. Ciri khas ketiga
membedakan kisah dari peristiwa alam: kejadian dalam kisah disebabkan
atau dialami oleh tokoh yang mempunyai tujuan. Secara sadar atau tak
sadar, eksplisit atau implisit kisah memperoleh dinamikannya karena
tokoh pelakunya mempunyai suatu tujuan.
Dalam kamus Al-Munawwir
(Al-Munawwiar;1986) kata kisah berasal dari kata qissah jamak dari kata
qisas yang berarti cerita atau hikayat
Asasuddin Sokah (1993) berpendapat bahwa
kata kisah berasal dari kata qissah atau jamaknya qassas yang disamakan
artinya dengan naba’ atau sejarah. Selanjutnya Ahmad Mahmud (dalam
Asasuddin Sokah;1993) mengatakan bahwa dengan mengetahui sejarah
orang-orang dahulu terutama riwayat hidup tokoh-tokoh penting seperti
para Nabi dan para Rasul, menimbulkan semangat bagi para pembacanya;
membangkitkan kemauan menyadarkan pribadi menjadi penyabar, kuat dan
teguh. Hal itu sesuai firman Allah dalam SurahHud ayat 120 yang artinya:
“dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan
hatimu…….” ( Depag, 1976).
Selanjutnya diterangkan dalam Surah Yusuf ayat 111 yang artinya sebagai berikut:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Alquran itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab)
yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk
dan rahmat bagi kaum yang beriman (Depag;1976)
Dari keterngan tersebut kisah merupakan
pengajaran atau “guru” dari kehidupan yang bertujuan sebagai kebenaran
yang pasti, pengajaran dan peringatan. Sayyid Qutub (dalam Sokah, 1993)
dalam bukunya seni penggambaran dalam Alquran merumuskan lima
macam tujuan kisah dalam Alquran yaitu: (1) untuk menetapkan adanya
wahyu dan kerasulan, (2) menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah,
(3) untuk menerangkan bahwa agama itu semuanya dasarnya satu, (4) cara
yang ditempuh oleh Nabi-nabi dalam berdakwah itu satu, dan sambutan kaum
mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa, dan (5) menerangkan dasar
yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan
Nabi-nabi sebelumnya.
Dalam Alquran kisah Nabi Adam tersebar
dalam beberapa Surah yaitu: al-Baqarah ayat 30-38, al-A’raf ayat 11-25,
Thaha ayat 116-123, al-Isra’ ayat 61-65,al-Hijr ayat 28-43,Shad ayat
71-84, al-Maidah ayat 31-35. Kisah Nabi Musa terdapat dalam surah-surah
dalam Alquran yaitu:al-Qasas 3-40, Thaha 9-99, asy-yura 10-68, al-A’raf
103-156 dan 160, Yunus 75-92, an-Naml 7-14, an-Nazi’at 15-26, Hud
96-101, Ibrahim 5-8, al-kahfi 60-82, mukminun 45-48, al-Isra’ 101-104,
Al-Baqarah 67-73. Sedangkan kisah Nabi Sulaiman terdapat dalam tujuh
Surah yaitu: al-An’am 84, al-Anbiya’ 78,79,81,82, Saba’ 12-14, an-Naml
15-44,al-Baqarah 102, Shad 30-40, al-Anbiya’ 78-82.
b. Peristiwa
Luxemburg dkk. (1991) berpendapat bahwa
peristiwa biasanya digambarkan sebagai peralihan dari suatu keadaan
kepada keadaan lain. Pengamatan apakah suatu peristiwa mempunyai akibat
menuntut kita membaca terus dan mengaitkan kelanjutannya. Hal ini
merupakan ciri kisah, karena peristiwa memang tidak berdiri lepas. Ini
juga menggiring pembaca agar ia membaca terus. Betapapun panjangnya
suatu buku, kita harus membaca sampai akhir: kalau tidak, kita tak dapat
memberi makna kepada seluruh rentetan kejadian.
Kategori peristiwa-berakibat atau
peristiwa fungsional bukanlah satu-satunya kategori. Ada pula kejadian
yang dimaksudkan untuk menghubungkan peristiwa fungsional . Banyak
kejadian yang tidak mempunyai fungsi langsung dalam jalannya lakuan
dalam kisah, atau tidak hanya berfungsi demikian. Kejadian tersebut
merujuk pada unsur-unsur lain pada cerita, yaitu melukiskan suasana,
sifat, serta latar tempat kisah berlaku.
c. Peristiwa dan tokoh
Luxemburg dkk.(1991) berpendapat bahwa
makna peristiwa bagi keseluruhan kisah tidak dapat dilihat lepas dari
tokoh. Ia mengemukakan bahwa tokoh dapat ditelaah dalam hubungan dengan
kisah. Tokoh mempunyai fungsi bagi lakuan. Apabila membicarakan tokoh,
kita menekankan bahwa lakuan mempunyai tujuan. Kita bertolak dari
anggapan bahwa pembaca sendiri membaca dengan terarah dan bahwa
pengamatan terhadap tokoh rekaan yang berlaku bertujuan merupakan
sesuatu yang dilakukan dengan sengang hati. Antara pembaca dan tokoh ada
jarak, tetapi ia sedikit banyak ikut menghayati petualangan mereka.
d. Struktur cerita
Menurut Culler (1975) cerita rekaan (termasuk kisahan) merupakan suatu sistem dan subsistem yang terpenting adalah alur (plot),
tokoh (penokohan), latar, serta tema dan amanat. Pendapat lebih lengkap
dikemukakan Semi (1988) bahwa unsur-unsur yang membentuk karya sastra,
seperti penokohan, tema, alur, pusat pengisahan, latar, dan gaya bahasa.
Setiap unsur memiliki peran dan fungsi sehingga tidak ada yang lebih
utama atau lebih penting antara satu dan lainnya. Tanpa bermaksud
mengabaikan subsistem yang lain, dalam penelitian ini hanya dikemukakan,
yaitu tema dan amanat, tokoh (penokohan) alur (plot) latar (setting), dan sudut pandang (point of vieuw)
1) Tema dan amanat
Menurut Zulfahnur (1996) bahwa tema
merupakan suatu dimensi yang amat penting dalam suatu cerita, karena
dengan dasar itu, pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya tentang
cerita yang akan dibuat. Jadi, tema adalah ide sentral yang mendasari
suatu cerita, tema mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai pedoman bagi
pengarang dalam menggarap cerita, sasaran/tujuan penggarapan cerita, dan
mengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alur.
Pradotokusumo (dalam Rapi Tang,2001) mengemukakan dua pengertian tema (Yunani: tema)
dalam dua makna: (1) tema adalah gagasan sentral atau gagasan dominan
didalam suatu karya sastra; dan (2) pesan atau nilai moral yang terdapat
secara implisit dalam karya sastra. Kedua batasan yang dikemukakan
tersebut, yang pertama tampaknya lebih mengacu pada batasan tema;
sedangkan yang kedua lebih sesuai dengan batasan amanat.
Menurut pendapat Sumardjo (1994) bahwa
pengarang dalam menulis karyanya bukan hanya sekedar mau bercerita,
melainkan juga ingin mengatakan sesuatu kepada pembaca atau pendengar.
Sesuatu yang ingin disampaikan itu adalah suatu masalah kehidupan,
pandangan hidup, atau dapat pula berarti komentar terhadap hidup ini.
Pandangan tersebut sejalan pendapat Hartoko dan Rahmanto (dalam
Nurgiantoro, 1998), bahwa tema yang merupakan gagasan dasar umum yang
menopang sebuah karya sastra yang terkandung didalam teks sebagai
struktur semantis dan menyangkut perasaan atau perbedaan.
2) Tokoh dan Penokohan
Sumardjo (1994) mengemukakan bahwa
penokohan berasal dari kata “toko” yang berarti pelaku, karena yang
dilukiskan mengenai watak tokoh atau pelaku cerita. Melalui tokoh,
pembaca dapat mengikuti jalannya dan mengalami berbagai pengalaman batin
seperti yang dialami tokoh cerita. Rapi Tang (2001) menyatakan bahwa
tokoh adalah individu rekaan yang beraksi atau mengalami berbagai bentuk
peristiwa dalam cerita, baik peristiwa yang bersifat fisik maupun yang
bersifat batiniah. Pradotokusumo (dalam Rapi Tang, 2001) Menjelaskan
Bahwa untuk memahami karya sastra itu secara menyeluruh. Alur dan tokoh
merupakan antar ketergantungan; tokoh adalah penentu peristiwa,
sedangkan peristiwa itu sendiri memberi gambaran tentang tokoh.
Tokoh dalam karya sastra adalah manusia
yang ditampilkan oleh pengaran dan memiliki safat-safat yang datafsirkan
dan dikenal pembacanya melalui apa yang mereka katakan atau apa yang
mereka lakukan. Forster (1980) Mengemukakan bahwa tokoh dalam sebuah
cerita biasanya manusia; hewan-hewan pun pernah diperkenalkan, tetapi
dengan tingkat keberhasilan yang terbatas karena tidak banyak yang dapat
dipahami menyangkut masalah psikologinya.
Menurut Wahid (2004) ada beberapa cara yang digunakan untuk memahami watak pelaku atau pribadi tokoh, yaitu:
1. Tuntutan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;
2. Gambarang yang diberikan pengarang lewat gambarang lingkungan kehidupannya;
3. Menunjukkan Bagaimana berikutnya;
4. Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tertangnya;
5. Memahami bagaimana cara pikirannya;
6. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya;
7. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya;
8. Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain memberikan reaksi terhadapnya;
9. Dan melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
3) Alur (plot)
Menurut Forster (1980) sebuah cerita sesungguhnya suatu narasi dari peristiwa-peristiwa yang disusun secara kronologis (time sequence);
dengan kata lain, cerita adalah suatu rantai motif-motif dalam ukuran
kronologis atau dalam hubungan waktu. Sedangkan alur merupakan suatu
narasi dari berbagai peristiwa akan tetapi dengan penekanan pada
penyebabnya. Forster memberi sebuah contoh “Raja meninggal dan kemudian
Ratu meninggal” ini adalah sebuah cerita. Contoh kedua, “Raja meninggal
dan kemudian Ratu meninggal karena sedih” ini adalah sebuah alur (plot).
Atau: “Ratu meninggal” tidak ada satu orang pun mengetahui mengapa,
sampai ditemukan bahwa kematian adalah akibat kesedihan karena
meninggalnya Raja, ini juga merupakan sebuah alur (plot). Yang mengandung misteri, yaitu suatu bentuk yang mungkin dikembangkan lebih jauh.
Semi (1988) menjelaskan bahwa alur (plot)
merupakan pengaduan unsur yang membangun cerita sehingga lebih tepat
disebut sebagai kerangka utama cerita. Dalam kaitannya dengan struktur
dan alur (plot) karya naratif, Pradotokusumo (dalam Rapi Tang
2001) mengemukakan bahwa motif menurut pandangan Kaum Formalis termasuk
salah satu unsur penting dalam analisis teks yang tergolong jenis epik.
Motif adalah suaru kesatuan struktural yang paling kecil berfungsi
sebagai penghubung unsur yang mendukung struktur cerita.
4) Latar (setting)
Pada dasarnya, setiap karya sastra yang membentuk cerita selalu memiliki latar (setting).
Latar adalah situasi tempat, ruang, dan waktu terjadinya cerita.
Tercakup pula didalamnya lingkungan geografis, pekerjaan, benda-benda,
dan alat-alat yang berkaitan dengan tempat terjadinya cerita, waktu,
suasana, dan periode sejarah. Adanya penggunaan latar dalam sebuah
cerita, membuat pembaca atau penikmat sastra seolah-olah dalam kehidupan
sebenarnya. Menurut Abrams (1981) bahwa penggunaan latar sangat
mendukung terciptanya karya sastra dan menarik perhatian para pembaca
atau penikmat sastra. Latar atau setting disebut juga landas
tumpu,menyarang pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Menurut Sudjiman (1991) bahwa latar pada
dasarnya mempunyai beberapa peranan, yaitu: (1) dapat memberikan
informasi (tempat dan waktu), (2) sebagai proyeksi keadaan para toko,
dan (3) menjadi metafor dari keadaan emosional dan spritual tokoh.
Sejalan dengan uraian tersebut, Sumardjo (1994), memperjelas bahwa
sebuah cerita seharusnya terjadi pada suatu tempat dan pada waktu
tertentu, meskipun latar itu sendiri bukan hanya, sekedar beackground. Dalam pengertian yang luas itu, latar mencakup tempat, waktu, suasana, dan keadaan dalam suatu masyarakat terterntu.
Pentingnya latar dalam sebuah cerita,
dikemukakan oleh Luxemburg dkk. (1986) bahwa pengarang melahirkan
karyanya sesuai dengan kehadirannya sebagai warga masyarakat. Ia mencoba
mengangkat hal-hal yang terdapat atau seringa terjadi ditengah-tengah
masyarakat. Keadaan yang dilukiskan pengarang pada suatu kurung waktu
tertentu dan adat-istiadat zaman tersebut.
Berkaitan dengan latar (setting)
Rapi Tang (2001) menjelaskan bahwa kalau melihat dari aspek
eksistensinya, maka latar dalam cerita dapat dibagi ke dalam dua jenis,
yaitu latar sosial dan latar fisik atau material. Latar sosial dapat
memberi gambaran berbagai kehidupan sosial budaya suatu kolektif.
Mungkin di dalamnya seorang pembaca dapat menemukan gambaran kondisi
sosial suatu kelompok masyarakat; terutama menyangkut sikap dan
perilakunya, adat-istiadat atau tradisi yang mereka bina bersama yang
kessemuanya itu turut melatari peristiwa dalam cerita. Selanjutnya, yang
dimaksudkan latar fisik atau material adalah berbagai macam tempat atau
ruang yang secara nyata dapat dibuktikan dalam wujud fisik. Dari latar
fisik ini, pembaca akan mendapat gambaran mengenai suatu tempat, daerah,
atau ruang dalam suatu geduang dan sebagainya.
5) Sudut pandang (point of vieuwi)
Sudut pandang adalah tempat penceritaan
dalam hubungan dengan cerita, dari sudut mana pencerita menyampaikan
kisahnya. Sudut pandang dilihat dari aspek posisi pengarang dan pusat
pengisahan pada posisi penceritaan. Sudut pandang ada tiga macam, yaitu:
- Pengarang terlibat, pengarang ikut ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utam atau yang lain, mengisahkan tentang dirinya. Dalam cerita ini, pengarang menggunakan kata ganti orang pertama (aku atau saya);
- Pengarang sebagai pengamat, posisi pengarang sebagai pengamat yang mengisahkan pengamatan sebagai tokoh samping. Pengarang berada di luar cerita, dan menggunakan kat ganti orang ketiga (ia atau dia) di dalam ceritanya;
- Pengarang serba tahu, pengarang berada di luar cerita (impersonal), tetapi serba tahu apa yang dirasa dan diperkirakan oleh tokoh cerita. Dalam kisahan, pengarang memakai nama-nama orang dan dia (orang ketiga)
4. Alquran
Alquran adalah Kalam (perkataan) Allah
swt. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jiberil
dengan lafal dan maknanya (QS.26:192-195). Alquran sebagai kitab Allah
menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran
islam dan berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia
dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Alquran mempunyai 114 surah
(urutan-urutannya sebagaimana ditetapkan oleh Rasulullah saw.) yang
tidak sama panjang dan pendeknya, surat yang terpendek terdiri atas tiga
ayat dan yang terpanjang terdiri atas 286 ayat. Semua surah, kecuali
surah kesembilan (At-taubah) dimulai dengan kalimat bismi Alla ar-Rahman
ar-Rahim. Setiap surah mempunyai nama yang diambil dari kata yang
terdapat dipermulaan surah (seperti Yasin dan Taha) atau diambil dari
kata yang menjadi tema pembicaraan dari surah yang bersangkutan (seperti
Ali Imran Al-Baqarah, dan An-Nisa).
Alquran sebagai mukjizat merupakan
tantangan bagi orang Arab setelah mereka memberikan persepsi yang keliru
terhadap Alquran, untuk membuktikan siapa yang benar di antara mereka.
Para ulama sepakat bahwa Alquran itu merupakan mukjizat Nabi Muhammad
saw. yang paling besar. Mukjizat Alquran dapat dilihat dari dua segi,
yaitu dari segi bahasa dan dari segi kandungan isi.
Dari segi bahasa, ulama sepakat bahwa
Alquran memiliki uslub (gaya bahasa) yang tinggi, fasahah (ungkapan kata
yang jelas), dan balaghah (kefasihan lidah) yang dapat mempengaruhi
jiwa pembacanya dan pendengarnya yang mempunyai rasa bahasa Arab yang
tinggi. Abu Bakar Muhammad Al-Baqillani menyebutkan bahwa sesungguhnya
Alquran sangat indah susunan kata-katanya dan sangat unik serta istimewa
susunannya. Syekh Muhammad Rasyid Rida berpendapat bahwa slah satu
bukti ketinggian uslub Alquran ialah bahwa seluruh maksud Alquran itu
bercampur baur dan terpencar dlam banyak surah baik yang pendek maupun
yang panjang, dengan munasabah (hubungan atau kaitan) yang bebeda-beda
sehingga menjadi ibarah (ungkapan) yang sempurna dan menyenangkan hati.
Mukjizat Alquran dari segi bahasa ini hanya dapat dihayati oleh mereka
yang mengetahui dan mendalami bahasa Arab.
Dari segi kandungan isi, mukjizat Alquran
dapat dilihat dari tiga aspek. (1) merupakan isyarat
ilmiah, (2) merupakan sumber hukum, dan (3) menerangkan suatu ibrah
(teladan) dan kabar gaib, baik yang terjadi pada masa lalu, sekarang
maupun yang akan datang. Alquran banyak mengandung berita-berita
tentang hal-hal yang gaib seperti surga, neraka, hari kiamat dan hari
perhitungan. Selain itu, Alquran juga banyak mengungkapkan kisah-kisah
para Nabi dan ummat lampau. Alquran banyak pula menyinggung
masalah-masalah yang belum terjadi di masanya seperti kemenangan bangsa
Romawi (QS.30:1-3).
Dari keseluruhan isi Alquran terlihat
bahwa Alquran memberikan porsi yang besar pada hal-hal yang bekenan
dengan sejarah yang meliputi kisah-kisah para Rasul dan Nabi serta umat
dimasa lampau. Adapun ayat yang mengandung ketentuan hukum sedikit
sekali. Menurut beberapa ulama, di antaranya Abdul Wahhab Khallaf(Guru
Besar Hukum Islam Universitas Cairo), Ayat-ayat yang mengandung
ketentuan-ketentuan hukum mengenai iman, ibadah, dan hidup bermasyarakat
ada sekitar 500 ayat atau kurang lebih delapan persen dari isi Alquran
(Ensiklopedi Islam,2001).
5. Alquran dan sastra
Pada waktu
agama Islam turun, “Bahasa Arab Quraisy berada dalam masa jayannya.
Disana sini muncul penyair ulung dan ahli pidato” (Hanafi, 1984:)
Jalaluddin Jawisy, dkk. (dalam Sugiono,
1993) mengatakan agama Islam dalam rangka menyampaikan ajarannya melalui
kitab suci Alquran tidak sedikit menggunakan amsal
(perumpamaan-perumpamaan), karena merupakan salah satu cara yang baik
untuk menyatakan pikiran dalam kesusastraan.
Senada dengan itu, Sayyid Qutub (dalam
Amin, 1975) menjelaskan bahwa keindahan adalah ciri sastra yang paling
jelas sedangkan keindahan berada dalam imajinasi yang halus, ilustrasi
yang lembut, hubungan yang timbul antara dua hal dikarenakan adanya
unsur persamaan, pengabstrakan yang konkret dan pengkonkretan yang
abstrak.
Bahasa dan gaya Alquran juga telah
memberikan pengaruh yang paling kuat pada pertumbuhan dan perkembangan
kesusastraan Arab. Kaum muslimin mula-mula mengembangkan doktrin yang
tak tertandinginya Alquran, bahkan bagi orang Arab nonmuslim, Alquran
tetap merupakan produk kesasteraan yang ideal hingga masa kini. Alquran
dengan keras menolak dengan anggapan yang dilontarkan oleh lawan-lawan
Muhammad kepada beliau, bahwa beliau adalah seorang penyair (poet)
dan tak memberikan Alquran disebut puisi. Namun, dalam kedalam rasanya,
dalam ekspresinya yang mengena dan iramanya yang efektif, Alquran
tidaklah kurang derajatnya dari puisi paling tinggi sekalipun.
Sesungguhnya kaum muslimin telah mengembangkan suatu seni khusus tentang
pembacaan Alquran (tajwid), dan bila Alquran dibaca dengan
cara demikian, maka pengaruhnya bahkan akan bisa dirasakan oleh mereka
yang tidak mengenal bahasa Arab sekalipun. Tentu saja, kita tidak akan
mempertahankan keindahan artistik dan keagungan Alquran melalui
terjemahannya.
Syauqi Daif (dalam Sugiono, 1993)
mengatakan suatu yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa Alquran telah
menampilkan dirinya dengan ungkapan-ungkapan bijak melalui yang mudah
dimengerti dan enak didengar serta lembut diucapkan, sehingga
kedinamisan bahasa Alquran telah mampu menguak dan cita rasa negeri di
sekitar Arab, bahasa yang menjadi ciri bangsa Arab dan umat Islam pada
umumnya. Gaya bahasa yang sekali tampil dapat merasuk sukma dan menjadi
tonggak sastra Arab selanjutnya, bahasa yang terus dilestarikan oleh
para penulis, sastrawan dan pujangga Arab.
Selanjutnya Sayyid Qutub (dalam Sugiyono,
1993) berpendapat bahwa keserasian Qurani telah memadukan prosa dan
puisi sekaligus. Ungkapannya telah lepas dari ikatan qafiyah dan taf’ilatnya,
oleh karenanya menjadi lebih fleksibel untuk berbagai tujuan yang
sifatnya lebih umum. Di satu saat dia menyerupai puisi yang berirama
(nazam), ada fawasil yang mirip wazn, menjadikan Alquran mampu mencakup
semua karakateristik yang dimiliki yang dimiliki oleh prosa maupun
puisi. Taha Husain sendiri mengungkapkan pandangannya bahwa Alquran itu
bukanlah puisi dan bukan pula prosa, melainkan dia itu Alquran. Kita
tidak perlu merekayasa dengan ungkapan-ungkapan Alquran, sebab di satu
sisi dia adalah sosok prosa manakala kita asumsikan demikian dengan
kedudukannya dalam peristilahan Arab sebagaimana mestinya dia berlaku.
Namun, di merupakan jenis prosa yang dicipta demikian indah, apik dan
tiada duanya.
Alquran sendiri penuh dengan mukjizat
seni dalam rupa ayat-ayat yang begitu indah tersusun, ungkapan-ungkapan
kalimat dan susunan kata maupun hurup yang menyatu dalam bentuk dan
irama yang indah. Di dalamnya ada gambaran-gambaran yang melukiskan
keindahan alam dan kehidupan. Sorga yang penuh kenikmatan diakspresikan
dengan ungkapan-ungkapan yang demikian menyejukkan hati, neraka yang
penuh siksaan dan penderitaan dengan ungkapan-ungkapan dengan cukup
menggetarkan hati. Ayat-ayat melukiskan alam dangan segala keserasian
dan keindahannya, begitu menakjubkan, yang semuanya mengajak manusia
untuk meresapi dan memperhatikan kebesaran dan keaguman ciptaan-Nya.
Sugiyono (1993) menjelaskan bahwa Alquran
bukan sebuah karya sastra atau sekedar puisi, ilusi, khayal,dan fantasi
yang tampa pijakan sehingga setiap saat dapat berubah. Metode Alquran
bersifat tetap dan mapan (fixed) serta adanya interaksi dengan
Sang Pencipta yang tidak berubah, serta terdapatnya dorongan agar
manusia dekat dengan-Nya. Sementara puisi lebih merupakan
ungkapan-ungkapan kerinduan manusia terhadap keindahan dan kesempurnaan,
berbaur dengan keterbatasan manusia di dalamnya. Alquran dan puisi
merupakan dua kutub yang tabiatnya berbeda, satu pihak berakar pada nubuwwat yang turun dari langit, sedangkan pihak yang lain berakar pada kerinduan (syauq) dan kegemaran (hawayah) yang muncul dari muka bumi.
a. Sastra dalam sudut pandang Islam
Tabiat Islam dalam konteks sastra ini
merupakan suatu ekspresi dari suatu sistem kehidupan yang menyeluruh,
diawali dari gerak jiwa yang kemudian diungkapkan dalam kehidupan nyata.
Islam menghendaki agar manusia mampu dan sanggup menghadapi kenyataan
dan bukan untuk mengingkarinya, kemudian lari menuju alam khayal.
Seandainya kenyataan tersebut tidak atau belum sesuai dengan sistem dan
metode yang digunakan, maka Islam berusaha mengubah metode tersebut ke
arah yang lebih baik.
Selanjutnya Sayyid Qutub (dalam Sugiyono,
1990) mempertegas bahwa Islam tidak menolak ilmu sastra dan seni pada
umumnya sebagaimana dipahami dari Alquran secara tekstual, tetapi
menolak metode yang digunakan, yaitu metode yang mengedepankan perasaan
dan emosi yang tidak punya pijikan , metode yang hanya mengandalkan
impian, khayalan dan fantasi seseorang.
Pada sisi lain, Islam hendak mencuatkan semangat Islam (ruh Islamiy),
dan melalui komitmen inilah kemudian diciptakan karya sastra atau seni
selaras dengan kehidupan nyata. Alquran telah seringkali mengajak hati,
akal, dan perasaan manusia untuk melihat dan menghayati keindahan
ciptaan-Nya dengan ungkapan-ungkapan yang menyentuh, karena
ungkapan-ungkapan tersebut dapat dijadikan sumber inspirasi bagi
penciptaan sastra dan seni. Alquran cukup bijak di dalam menyikapi
pujangga-pujangga yang beriman dan beramal salih, oleh sebab mereka
dikecualikan dari penyair-penyair yang dicerca pada ayat 224-226 dari
surat Asy-Syu’ara.
Sayyid Qutub (dalam Sugiyono, 1993)
menjelaskan bahwa Islam itu cukup kaya untuk dijadikan sumber inspiratif
bagi penggambaran dan pengungkapan seni dalam kehidupan manusia, dalam
berbagai bentuk dan corak yang selaras dengan pandangan Islam. Dengan
demikian, semakin jelaslah sikap dan pandangan Islam tentang karya-karya
sastra bangsa Arab baik dalam bentuk pepatah (hikmah) peribahasa (masal, proverb), pidato (khatabah), surat (risalah, epistle), riwayat, surat wasiat, kisah yang kesemuanya sangat dikenal dalam Islam di samping puisi itu sendiri.
b. Pengertian sastra Islam.
Dalam Islam terdapat penggambaran
mengenai kehidupan ini, sehingga melahirkan nilai-nilai dan ide-ide yang
terekspresikan dalam ungkapan yang tentunya berbeda esensinya dari
ungkapan yang berakar dari nilai-nilai di luar Islam. Alquran telah
menjadikan metode penggambaran (picturesque, taswir) sebagai
sarana pilihan dalam mengungkapkan kondisi jiwa, perasaan, ide, dan
tabiat manusia dalam bentuknya yang hidup, dinamis serta realistis.
Ketika Alquran mengandalkan metode
“taswir” dalam gaya Qur’aninya, menjadi bukan sekedar menciptakan hiasan
kata atau untaian kalimat yang indah, apik, dan menarik. Namun, lebih
dari itu, cara penggambaran ini sudah menjadi aliran tetap, rancangan
terpadu sudah merupakan metode baku yang dipakai dengan gaya bahasa
ungkapan qur’ani berdasarkan kaidah taswir. Dalam Alquran, cakrawala taswir
tersebut menjadi luas meliputi penggambaran warna, bentuk, gerak,
irama, dalam konteks yang komunikatif dengan indera, ide, khayalan, dan
perasaan.
Muhammad Qutub dalam salah satu bab dari bukunya Manhaj al-Fann al-Islami
mengemukakan mengenai seni dan sastra Islam itu, ungkapan yang indah
tentang alam, kehidupan, dan manusia di tengah-tengah penggambaran Islam
tentang wujud ini.
c. Karakateristik sastra Islam
Alquran dan semangat Islam telah menjadi
aset tersendiri bagi perkembangan, peradaban dan kebudayaan Islam dewasa
ini, termasuk aneka ragam bentuk karya seni di antaranya karya sastra.
Dalam sastra Islam, nilai-nilai keislaman semakin lekat dalam
kedinamisan bentuk dan wajahnya. Ada beberapa karakateristik yang
menandai sastra Islam antara lain:
1) Komitmen terhadap landasan theisme-moralis
Berbeda dari aliran-aliran sastra yang lain semacam realism-socialism (al-waqi’iyah-alsytirakiyah), naturalism (an-naz’ah at-tabi’iyah), structralism (tarkibiyah) ataupun aliran exestentialism (wujudiyah),
maka nilai moral dan akidah menjadi sendi utama dalam masyarakat Islam.
Sastra yang ingin mengubah tatanan masyarakat bobrok ke arah yang
berpegang teguh kepada sendi akidah dan moral.
2) Teologis dan tujuan yang jelas
Di balik sebuah karya sastra, Islam
memiliki tujuan dan misi yang jelas, oleh karena seorang sastrawan
muslim hendaknya memelihara dirinya dari kata-kata dan ungkapan yang
tidak memiliki dasar pijakan yang jelas. Dalam kapasitasnya sebagai
sastrawan, seorang muslim dengan potensi yang dimiliki, mempunyai
tanggung jawab yang besar bagi tujuan-tujuan kemanusiaan, tanggung jawab
mana telah diamanatkan Tuhan:
“Maka apakah kalian mengira bahwa kalian Kami ciptakan dengan main-main………..” (Al-Mu’minun;115.
“Tiada satu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Surah Al-Qaf;18).
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna” (Al-Mu’minun;3).
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami
bahwa sastra Islam tidak sekedar mengikuti aliran ‘seni untuk seni’
(al-fann lil fann), karena keindahan menjadi esensi sebuah karya seni,
sekaligus menjadi tujuan karena adanya kenikmatan yang diperoleh.
3) Daya cakup (universalitas) dan keterpaduan integratif
Islam memandang sosok manusia secara
totalitas dari berbagai sisi, jasmaniah rohaniah secara seimbang dalam
keserasian. Studi sastra sejauh ini tidak lebih dari memahami
konvensi-konvensi struktural abstrak yang dalam konteks keilmuan
terwujud dalam bentuk lingual saja. Dalam dunia seni, Islam tidak hanya
mengikuti alur estetika yang berakar pada falsafah humanisme universal
dari Barat yang telah mencekam pengaruhnya yang hebat dan menyeluruh.
Kesusastraan Islam hendak menghadirkan estetika yang merambah segi-segi
kemanusiaan yang saling berkaitan dan saling melengkapi, dan sebagaimana
intuisi-intuisi lainnya, selalu berkaitan erat dengan dinamika
masyarakat yang menghasilkannya. Di dalamnya mencakup ilmu jiwa, agama,
sosial, ekonomi, dan politik, sebagaimana masing-masing kandungan
tersebut mengandung yang lain. Manusia totalitas inilah yang dalam Islam
menjadikannya sebagai makhluk penunjuk, baik dari segi kualitas, bentuk
dan tanggung jawabnya dalam mengemban amanah Tuhan sebagai khalifah di bumi.
4 Realitas (waqi’iyah)
Dalam sastra Islam ada usaha untuk
mencari kaitan antara sastra dengan kehidupan empirik dan yang
benar-benar realistis. Maksud dari pada realistis bukan sebagaimana
aliran realism pada sastra Barat yang masih terbatas pada
realisasi segi-segi materi kehidupan dan kurang memperhatikan segi-segi
inti yang maknawi. Islam memandang realita melalui kacamata yang lebih
luas, yaitu kebenaran realitas humanisme yang mencakup segala peristiwa
dalam kehidupan manusia, perkembangan sosial ekonomi, politik,
intelektual dan moral. Sastra Islam memberlakukan objek (manusia) secara
adil dan seimbang, baik kehidupan jasmani dan rohaninya, personal dan
sosialnya menurut prinsip-prinsip kebenaran sesuai dengan jiwa dan
pandangan Islam.
5 Dinamis
Dalam pandangan Islam, manusia itu
bersifat lemah namun pada dirinya ada potensi untuk tumbuh dan
berkembang dalam rangka meningkatkan kualitas diri. Potensi inilah yang
mendorong manusia mampu mengubah keadaan diri secara dinamis melawan
kelemahan yang ada agar tidak terjerumus dalam jurang kerusakan jasmani
maupun rohani dan pasrah kepada arus nasib.
Ada epistimologis baru dalam memandang
dan mengapresiasi kesusastreraan. Kesusasteraan merupakan deskripsi
pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan dalam dimensi personal maupun
sosial, yang memiliki relasi dengan totalitas partisipannya dalam
dimensi kultural dan kesejarahannya. Dengan demikian, sastra sebagai
suatu gejala non scientific memiliki fungsi designation (penunjukan) suatu periode atau suatu model sosial tertentu.
Dijelaskan oleh Sugiyono (1993) bahwa
kesusastreraan Islam dalam hal ini bukan sekedar mengekspersikan
kenyataan yang ada pada suatu waktu atau generasi tertentu, atau sekedar
berfungsi sebagi panunjukan suatu periode atau model sosial tertentu,
melainkan berupaya mengubah satu keadaan menjadi lebih baik. Demikian
itu, karena Islam datang untuk meningkatkan kehidupan manusia dan bukan
sekedar menguak motivasi, kecenderungan ataupun ikatan-ikatan yang ada.
6. Landasan teoretis
Penelitian ini menggunakan landasan
teoretis, yaitu teori struktural A.J Greimas dan teori semiotika. Teori
struktural digunakan untuk menganalisis unsur kesastraan, sedangkan
teori semiotika digunakan untuk menderkripsikan dan memaknai tanda.
a. Teori struktural A.J. Greimes
Greimas (dalam Teeuw, 1984) adalah salah
seorang peneliti Prancis penganut teori struktural. Seperti halnya
Propp, Levi-strauss, Bremond, dan Todorov, Greimas juga mengembangkan
teorinya berdasarkan analogi-analogi struktural dalam linguistik yang
berasal dari Saussure (Hawkes dalam Suwondo, 2003).
Suwondo (2003) menyatakan bahwa
sesungguhnya yang pada awalnya mengembangkan teori struktural
berdasarkan penelitian atas dongeng adalah Vladimir Propp seperti tampak
dalam bukunya Morphology of the Folk Tale (1985,1968, 1975,
edisi aslinya 1928 dalam bahasa Rusia) yang kemudian diterjemahkan oleh
Noriah Taslim menjadi morfologi cerita rakyat (1987). Dalam buku itu
Propp menelaah struktur cerita dengan mengandaikan bahwa struktur cerita
analog dengan struktur sintakis yang memiliki konstruksi dasar subjek
dan predikat.
Dijelaskan oleh Selden (dalam Suwondo,
2003) bahwa subjek dan predikat dalam sebuah kalimat ternyata dapat
menjadi inti sebuah episode atau bahkan keseluruhan cerita. Atas dasar
itulah Propp (1987:28-76) menerapkannya dalam seratus dongeng Rusia,
dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa seluruh korpus cerita
dibangun atas perangkat dasar yang sama, yaitu 31 fungsi. Setiap fungsi
adalah satuan dasar “bahasa” naratif dan menerangkan kepada tindakan
yang bermakna yang membentuk naratif. Tindakan ini mengikuti sebuah
perturutan yang masuk akal, dan dalam setiap dongeng fungsi-fungsi itu
selalu dalam perturutan yang tetap (Selden, 1991). Selain itu, Propp
juga menjelaskan bahwa fungsi-fungsi itu dapat disederhanakan dan
dikelompok-kelompokkan dalam tujuh “lingkaran tindakan” (spheres of action)
karena pada kenyataannya banyak fungsi yang dapat bergabung secara
logis dalam tindakan tertentu. Tujuh “lingkaran tindakan” itu
masing-masing: (1) villain ‘penjahat’, (2) donor, provider’ pemberi bekal (3) helper ‘penolong’, (4) saught-for person and her father’ putri atau orang yang dicari dan ayahnya’, (5) dispatcher’ yang memberangkatkan’, (6) hero ‘pahlawan’, dan (7) false hero ‘pahlawan palsu’.
Sebagai ganti atas tujuh spheres of action yang diajukan oleh Proop, Greimas menawarkan three spheres of opposed yang meliputi enam actants (peran, pelaku), yaitu: (1) subject vs objects ‘ Subjek-objek’, (2) sender vs receiver (destinateur vs destinataire’) pengirim-penerima, dan (3) helper vs opponent (adjuvant vs opposant’ pembantu-penentang.
Jika disusun ke dalam sebuah bagan, tiga oposisi yang terdiri atas enam aktan itu tampak pada Gambar 1.
SENDER OBJECT RECEIVER
SUBJECT
HELPER OPPONENT
Gambar 1. Bagan aktan
Sender’ pengirim’
adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan berfungsi
sebagai penggerak cerita. Dialah yang menimbulkan keinginan bagi subjek
atau pahlawan untuk mencapai objek. Object’objek’ adalah seseorang atau sesuatu yang diingini, dicari, dan diburu oleh pahlawan atas ide pengirim. Subject’subjek
atau pahlawan adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi oleh
pengiriman untuk mendapatkan objek. Helper’penolong’ adalah seseorang
atau sesuatu yang membantu atau mempermudah usaha pahlawan dalam
mencapai objek. Opponent’penentang’ adalah seseorang atau
sesuatu yang menghalangi usaha pahlawan dalam mencari objek.
Receiver’penerima’adalah seseorang atau sesuatu yang menerima objek
hasil buruan subjek (Zaimar dalam Suwondo,2003).
Berkaitan dengan hal itu, di antara sender dengan receiver terdapat sebuah komunikasi, diantara sender dan object ada tujuan, di antara sender dan subject ada perjanjian, di antara subject dan object ada usaha, dan di antara helper atau opponent
dan subjek terdapat bantuan atau tentangan. Aktan-aktan itu dalam
struktur tertentu dapat menduduki fungsi ganda bergantung siapa yang
menduduki fungsi subject.
Selain
menunjukkan bagan aktan, Greimas juga mengemukakan model cerita yang
tetap sebagai alur (Zaimar dalam Suwondo,2003). Model itu dibangun oleh
berbagi tindakan yang disebut fungsi. Model yang kemudian disebut model
fungsional itu, menurutnya, memiliki cara kerja yang tetap karena memang
sebuah cerita selalu bergerak dari situasi awal kesituasi akhir. Adapun
opersi fungsionalnya dibagi menjadi tiga tahap seperti tampak dalam
bagan berikut:
II
|
III
|
|||
Situasi
|
Transformasi
|
Situasi
|
||
Awal
|
Tahap
Kecakapan
|
Tahap
Utama
|
Tahap
Kegemilangan
|
Akhir
|
Gambar 2. Model fungsional A.J. Greimas
Situasi awal: cerita
diawali dengan munculnya pernyataan adanya keinginan mendapatkan
sesuatu. Di sini ada panggilan, perintah, atau persetujuan.
Transformasi: (1) tahap kecakapan, yaitu
adanya keberangkatan subjek atau pahlawan, munculnya penentang dan
penolong, dan jika pahlawan tidak mampu mengatasi tantangannya akan
didiskualifikasi sebagai pahlawan, (2) tahap utama, yaitu adanya
pergeseran ruang dan waktu, dalam arti pahlawan telah berhasil
mengatasi tantangan dan melakukan perjalanan kembali, dan (3) tahap
kegemilangan, yaitu kedatangan pahlawan, eksisnya pahlawan asli,
terbongkarnya tabir pahlawan palsu, hukuman bagi pahlawan palsu, dan
jasa bagi pahlawan asli.
Situasi akhir: objek telah
diperoleh dan diterima oleh penerima, keseimbangan telah terjadi,
berakhirnya keinginan terhadap sesuatu, dan berakhirlah sudah cerita
itu.
1) Pengertian
Karya sastra sebagai suatu konstruksi
dari unsur tanda-tanda tidak dapat dipisahkan dari kajian semiotika.
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, seme, seperti dalam
semeiotikas, yang berarti panafsir tanda. Sebagai suatu disiplin,
semiotika berarti ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana
sistem penandaan berfungsi. Menurut Cobley dan Janisz (2002), bahwa
semiotik (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu yang
secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang. Semion,
bahasa Yunani (tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses
perlambangan.
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik
adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan
dalam lapangan yang berbeda pula. Orang tersebut adalah Ferdinand de
Saussure (1857-1913) seorang ahli linguistik dan Charles Sander Pierce (
1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi sedangkan
Pierce menyebutnya semiotik (semiotic). Kemudian nama itu
sering dipergunakan breganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di
Perancis dipergunakan semiologi untuk ilmu itu dan di Amerika lebih
banyak dipakai nama semiotik.
Menurut Eco (dalam Fokkema &
Kunne-Ibsch, 1998) bahwa penelitian semiotika terutama berurusan dengan
tanda-tanda sebagai “ kekuatan sosial”. Pemahaman tanda-tanda dalam teks
karya sastra sangat penting terutama dalam merekontruksi tanda tersebut
menjadi makna. Sebagaimana pula dikemukakan Halliday (1978) bahwa suatu
teks adalah suatu unit semantik dan menjadi unit dasar dari suatu
proses semantik. Bagi Roland Barthes (dalam Kurniawan, 2001) bahwa suatu
karya atau taks merupakan bentuk kontruksi belaka. Bila hendak
menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekontruksi dari
bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri.
Sebagai sebuah proyek rekontruksi, maka pertama-tama teks tersebut
dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau satuan
bacaan tertentu. Leksia itu dapat berupa satuan kata, beberapa kata,
beberapa kalimat, sebuah paragrap, atau beberapa paragrap.
Lexemburg dkk. (1991) mengemukakan bahwa
seperti halnya kata dan kalimat, teks juga mempunyai tanda makna
tertentu. Hal inilah yang oleh holiday (1978) dinyatakan bahwa teks
dapat di gambarkan sebagai perwujudan potensi suatu maksud dan makna.
Menurut pierce ( dalam luxemburg dkk., 1986 ) ada tiga faktor yang
menentukan adanya sebuah tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang di
tandai,dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si penerima. Oleh
karena itu, teks dapat di lihat sebagai tanda ( bahasa ) atau sekumpulan
tanda yang mencakup berbagai hubungan: antara tanda satu sama lain,
antara tanda dan makna atau isi teks, dan antara tanda dan pemakai
tanda.
2). Teori tentang tanda
teori tentang analisis tanda dilakukan
untuk mengkaji makna cerita melalui kajian simbol ( semiotik ) untuk
menemukan ciri naratologi cerita secara intrinsik.
Ealeton (1983 ) menjelaskan teori pierce yang membedakan tiga jenis lambang, yaitu ‘iconc’ ( ikon ), yaitu lambang yang menyerupai benda yang di wakilinya ( misalnya, gambar foto/foto seseorang); kedua, ‘indexical’
(indeks), yaitu lambang yang melalui cara-cara tertentu dihubungkan
atau dikaitkan dengan benda yang diwakilinya (misalnya asap dengan api,
bintik dengan campak), ketiga’symbolic’ (simbol), yaitu mengacu pada suatu makna yang berupa konvensi yang dianut bersama.
Zoest (1990) menyatakan bahwa ikonisitas
pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga macam, yaitu ikonisitas
topologis yang dinilai berdasarkan tata ruang; ikonisitas diagramatis
metaforis yang dinilai berdasarkan persamaan antara dua kenyataan yang
didenotasikan secara sekaligus, baik langsung maupun secara tidak
langsung. Teori ikonisitas yang dinyatakan oleh van Zoest ini juga
didasarkan pada teori Pierce.
Teori mengenai ikon, indeks, dan simbol
merupakan salah satu teori semiotik yang mencoba menganalisis berbagai
tanda yang terdapat dalam karya sastra dalam kaitannya dengan faktor
eksternal yang diduga memiliki relevansi dengan karya bersangkutan.
Karya sastra dalam pandangan semiotik tidak lain dari sebuah teks yang
terwujud dari perpaduan berbagai tanda. Anggapan seperti ini juga
dikemukakan oleh Zoest (1990) bahwa teks sastra pada umumnya merupakan
tanda dengan semua cirinya: bagi pembaca teks sastra ini menantikan
sesuatu yang lain yaitu dengan kenyataan yang dipanggil, yang fiksional.
Menurut Rapi Tang (2001) teks
pertama-tama bukan merupakan bahasa, melainkan ia lebih sekadar suatu
bangunan bahasa. Teks adalah suatu tanda yang dibangun dari tanda lain
yang lebiih rendah, yang memiliki sifat kebahasaan, dan lain-lain.
Tanda-tanda bahasa adalah yang paling banyak, paling mencolok, yang
paling sering dipelajari. Sebaliknya mengabaikan tanda-tanda dan bahasa
yang ikut membentuk teks tidaklah benar. Aturan bagaimana yang harus
dibuat untuk menetapkan bahwa urutan pengakuan tentang “sesuatu” adalah
juga tanda? Semua hal memiliki kemungkinan menjadi tanda. Pada suatu
hari nanti seseorang pembaca karya sastra tertentu yang jeli akan
menemukan tanda-tanda lain, yang tidak kurang bermaknanya ; dan dia akan
memberikan interpretasi baru tentang “sesuatu itu”. Pandangan seperti
itu akhirnya memberi suatu keyakinan bahwa dalam kajian semiotik, tidak
ada interpretasi yang definitif.
Berkaitan dengan hal itu, Halliday (1978)
menyatakan bahwa dalam menginterpretasi sesuatu, perlu mempertimbangkan
struktur semantik yang dihubungkan dengan situasi tertentu atau konteks
sosial. Ada tiga dimensi struktur semiotik, yaitu aktivitas sosial yang
terus-menerus dan berkelanjutan, aturan atau kaidah keterlibatan dan
simbol jaringan retorika menurut Halliday (1978), konteks sosial dalam
bentuk interaksi sosial biasanya berbentuk linguistik yang disebut
tulisan. Tulisan adalah produksi dari sejumlah pilihan yang simultan
arti dan tentang arti dan direalisasikan sebagai struktur
leksikogramatikal. Daftar kata merupakan konteks situasi dalam suatu
konstruksi semiotik.
Tulisan di atas berbentuk Karya Tulis ilmiah, anda dapat mendownloadnya dengan mengklik nama di bawah ini, namun sebelum itu anda dapat like facebook kami sebelum mendownload. Filenya. makasih sebelumnya.
Tulisan di atas berbentuk Karya Tulis ilmiah, anda dapat mendownloadnya dengan mengklik nama di bawah ini, namun sebelum itu anda dapat like facebook kami sebelum mendownload. Filenya. makasih sebelumnya.